Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tanda pertama Lailatul Kadar yang utama dan terpenting yang dijelaskan Al-Qur’an adalah ketenangan. Yakni ketenangan suasana dan ketenangan hati. Allah berfirman,
﴿سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ﴾ [القدر: 5]
Artinya,
“Kedamaian di malam itu hingga terbit fajar” (Q.S. al-Qadr: 5)
Makna salām dalam ayat di atas adalah keselamatan, kedamaian, penghormatan, pujian dan kebaikan. Jadi, ketika Allah mensifati malam tersebut sebagai malam salām, maka unsur ketenangan, kebaikan dan kedamaian adalah hal yang sangat menonjol di malam itu.
Adapun mengapa malam itu sangat damai, maka hal itu dikarenakan banyak sekali kebaikan yang ada di dalamnya. Misalnya, diampuninya dosa-dosa, dimaafkannya kesalahan-kesalahan, dilipatgandakannya semua pahala amal saleh, dikabulkannya doa-doa dan lain-lain. Terutama sekali peristiwa gaib yang terjadi adalah turunnya jutaan, milyaran atau bahkan mungkin triliunan malaikat atau angka yang hanya diketahui Allah saja. Saat itu para malaikat turun dan di antara mereka ada Jibril alaihissalam. Allah berfirman,
﴿تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ﴾ [القدر: 4]
Artinya,
“Para malaikat dan Jibril di malan itu turun dengan izin Rabb mereka untuk melaksanakan berbagai urusan” (Q.S. al-Qadr: 4)
Rasulullah ﷺ menerangkan bahwa jumlah malaikat yang turun di malam itu lebih banyak daripada jumlah kerikil yang ada di muka bumi. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرُ فِي الْأَرْضِ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى». [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 332)]
Artinya,
“Sesungguhnya malaikat pada malam itu lebih banyak bilangannya daripada jumlah pasir di bumi” (H.R Ibnu Khuzaimah)
Para malaikat ini turun atas izin Allah untuk melaksanakan berbagai perintah Allah dan menetapkan semua takdir-takdir sampai satu tahun ke depan.
Dalam tafsir al-Jalālain disebutkan bahwa para malaikat itu setiap bertemu dengan mukmin, maka mereka akan memberikan salam kepada mukmin tersebut. Al-Maḥalli berkata,
«سَلَامًا لِكَثْرَةِ السَّلَام فِيهَا مِنْ الْمَلَائِكَة لا تَمُرّ بِمُؤْمِنٍ وَلَا بِمُؤْمِنَةٍ إِلَّا سَلَّمَتْ عَلَيْهِ». [«تفسير الجلالين» (ص816)]
Artinya,
“Malam itu penuh kedamaian karena banyaknya ucapan salam di dalamnya dari malaikat. Tidaklah mereka melewati seorang mukmin atau mukminah kecuali akan mengucapkan salam untuknya” (Tafsir al-Jalālain hlm 816)
Kata al-Sya‘bi, ucapan salam malaikat waktu itu berbunyi, “Assalāmu ‘alaika ayyuhal mu’min”
Jika seperti ini kondisinya, yakni banyaknya malaikat yang turun ke bumi dan banyaknya malaikat yang mengucapkan salam kebaikan untuk orang-orang mukmin, sementara kita tahu doa malaikat itu mustajab, maka wajar jika bumi dipenuhi suasana damai dan tenang. Suasana menjadi damai dan hatipun juga damai.
Demikian dominan pengaruh malaikat di malam itu sampai-sampai pengaruh setanpun kalah. Setan tidak kuasa memasuki hati mukmin yang menghidupkan malam tersebut. Wajar jika dada mereka terasa lapang, lega dan tidak ada yang mengganjal. Tidak ada dendam, benci, sakit hati dan semisalnya. Aḥmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« لَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“Tidak halal bagi setan keluar bersama malam itu pada hari itu” (H.R.Ahmad)
Riwayat senada ada juga dalam ṣaḥih Ibnu Ḥibbān,
«لَا يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيءَ فَجْرُهَا». [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 330)]
Artinya,
“Syetan tidak keluar di malam itu hingga tiba waktu fajar” (H.R.Ibnu Khuzaimah)
Mujāhid berkata,
« هِيَ لَيْلَةٌ سَالِمَةٌ لَا يَسْتَطِيعُ الشَّيْطَانُ أَنْ يَعْمَلَ فِيهَا سُوءًا وَلَا أَذًى». [«فتح القدير للشوكاني» (5/ 576)]
Artinya,
“Malam itu adalah malam yang damai dimana setan tidak mampu berbuat keburukan dan gangguan” (Fatḥu al-Qadir, juz 5 hlm 576)
Ketenangan suasana Lailatul Kadar juga dikuatkan dalam salah satu riwayat hadis. Diriwayatkan Rasulullah ﷺ bersabda,
« سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“(Lailatul Kadar itu) tenang nan stabil tidak ribut” (H.R.Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa hingga anginpun juga tenang. Al-Ṭabarāni meriwayatkan,
وَلَا رِيحَ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya,
“Tidak ada angin (ribut)” (H.R. Al-Ṭabarāni)
(bersambung)
20 Ramadan 1443 H/22 April 2022 pukul 14.49