oleh: ust. Muafa
Fakta menunjukkan bahwa naluri cinta adalah perasaan yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Di antara buktinya yakni telah banyak ribuan kata mutiara ditulis untuknya, misalnya: “Cinta membuat orang buta”, “Kisah cinta takkan pernah berakhir”, “Cinta tak harus memiliki”, “Hanya butuh beberapa detik untuk jatuh cinta, namun butuh seumur hidup untuk melupakannya”, “Cinta tanpa syarat adalah mencintai apa adanya”, “Cinta dalam diam adalah ketika tak berani mengungkapkan dan hanya menyebut namanya dalam doa”, “Wanita bisa menyembunyikan cintanya seumur hidup namun tidak sanggup menyimpan cemburu meski sesaat”, dan sebagainya. Dengan kata lain, dengan mengambil ungkapan yang agak puitis, secara fakta cinta adalah gelora dengan berjuta rasa. Adapun secara biologis, naluri cinta diperlukan sebagai media penarik agar laki-laki dan wanita bersedia secara sukarela melakukan aktivitas reproduksi yang akan menjamin kelangsungan spesies manusia.
Orang Arab memiliki hampir 60 kosakata untuk menyebut cinta[1]. Fakta ini menunjukkan bahwa makna cinta begitu mendalam di hati mereka sehingga diungkapkan dengan berbagai istilah untuk memberi tekanan makna yang berbeda satu sama lain. Di antara kosakata cinta dalam bahasa Arab yang cukup populer adalah mahabbah (الْمَحَبَّة), hawa (الْهَوَى), syaghof (الشَّغَف), ‘isyq (الْعِشْق), wudd (الْوُدّ), dan ta’abbud (التَّعَبُّد).
Mahabbah (الْمَحَبَّة) adalah cinta yang muncul karena perasaan natural maupun karena pemikiran/hikmah. Oleh karena itu, mahabbah bisa dipakai untuk konteks cinta kepada manusia, cinta kepada Rasulullah ﷺ , cinta melakukan amal salih dan semisalnya[2]. Wudd (الْوُدّ) adalah cinta yang muncul karena perasaan natural. Jadi, wudd hanya bisa dipakai untuk menyatakan cinta kepada manusia, tidak bisa untuk menyatakan cinta terhadap amal salat misalnya[3]. ‘Isyq (الْعِشْق) adalah perasaan rindu menggelora yang hebat yang ingin memperoleh sesuatu dari sesuatu yang dirindui. Ini bisa berlaku pada manusia atau barang yang dicandui misalnya khomr[4]. Hawa (الْهَوَى) adalah kecenderungan jiwa terhadap sesuatu. Dalam konteks cinta, hawa adalah cinta natural yang diekspresikan dengan cara yang tidak baik. Secara bebas boleh dimaknai cinta nafsu. Oleh karena itu, dalam nash, istilah hawa banyak digunakan untuk konteks celaan[5]. Syaghof (الشَّغَف) adalah cinta mendalam sampai seakan-akan telah mencapai selaput jantungnya. Dalam Al-Qur’an cinta jenis ini dipakai untuk menggambarkan betapa dalamnya cinta majikan perempuan Nabi Yusuf kepadanya[6]. Ta’abbud (التَّعَبُّد) adalah puncak cinta dan puncak penghinaan diri. Level cinta orang-orang Arab terhadap Al-‘Uzza sampai ditingkat ta’abbud ini[7].
Sejumlah ulama telah mengarang kitab yang secara khusus membahas masalah cinta untuk dikupas menurut pandangan Islam. Contohnya adalah kitab berjudul Thouqu Al-Hamamah (طَوْقُ الْحَمَامَة) karangan Ibnu Hazm, Roudhotu Al-Muhibbin wa Nuzhatu Al-Musytaqin (رَوْضَةُ الْمُحِبِّيْنَ وَنُزْهَةُ الْمُشْتَاقِيْنَ) karangan Ibnul Qoyyim, Ad-Da’ wa Ad-Dawa’ (الدَّاءُ وَالدَّوَاءُ) karangan Ibnul Qoyyim, dan Az-Zahroh (الزَّهْرَة) karangan Dawud Adh-Dhohiri.
Sebagai sesuatu yang alami dan natural, Islam tidak pernah melarang cinta secara mutlak. Cinta tidak dikekang, tetapi diatur, dikontrol dan diarahkan. Cinta dari segi cinta itu sendiri bukanlah aib dan juga bukan dosa. Cinta adalah hal yang manusiawi dan menjadi naluri yang ada secara alamiah pada setiap manusia normal. Nabi, orang suci, orang shalih, dan ulama mengalami jatuh cinta kepada lawan jenis sebagaimana manusia pada umumnya. Rasulullah ﷺ cinta kepada Khadijah dan Aisyah, Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma cinta kepada istrinya, Mughits cinta kepada Bariroh, dan lain-lain, yang semuanya adalah contoh bagaimana perasaan itu adalah perasaan yang normal, wajar, natural, dan biasa.
Hanya saja, Islam mengharuskan agar cinta tertinggi dan paling puncak hanya dipersembahkan untuk Allah saja. Tidak boleh ada cinta lain yang tertinggi selain hanya untuk Allah. Cinta puncak hanya untuk Allah karena inilah makna ibadah dan menyembah dalam arti yang sebenarnya. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah bermakna menjadikan Dia sebagai satu-satunya Dzat yang disembah/diibadahi.
Unsur penting dalam ibadah/menyembah adalah menjadikan puncak cinta yang tertinggi hanya kepada sesuatu yang disembah itu.
Adapun cinta kepada selain Allah ﷻ, maka ada cinta yang diperintahkan-Nya dan ada pula yang diizinkannya dengan syarat. Cinta yang diperintahkan-Nya adalah seperti mencintai Rasulullah ﷺ , mencintai para shahabat Nabi ﷺ dan orang-orang salih. Cinta yang dizinkan-Nya dengan syarat adalah seperti cinta kepada lawan jenis, anak, kendaraan, dan sebagainya. Cinta yang diizinkan ini syaratnya tidak boleh melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh menghalangi melakukan ketaatan kepada-Nya, dan tidak boleh mendorong melakukan kemaksiatan.
Jika seseorang diuji dengan jatuh cinta pada lawan jenisnya, maka solusi islami yang bisa ditempuh adalah melakukan pernikahan. Inilah solusi yang ditunjukkan Rasulullah ﷺ ketika beliau menyebut bahwa pernikahan adalah obat yang paling mujarab bagi dua orang yang saling mencintai. Ibnu Majah meriwayatkan:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kami belum pernah melihat (obat yang mujarab bagi ) dua orang yang saling mencintai sebagaimana sebuah pernikahan[8].’”
Jika menikah belum memungkinkan dan tertutup semua jalan/kemungkinan untuk menikahi, maka tidak ada jalan lain kecuali shobr (tabah hati). Hal itu dikarenakan Syara’ memerintahkan shobr pada semua bentuk musibah yang menyedihkan hati secara mutlak dan berjanji memberikan ganjaran yang besar atasnya. Shobr ini terus dilakukan sambil berdoa sampai Allah memberikan ganti yang lebih baik, atau Allah menghilangkan perasaan tersebut, atau Allah mewafatkannya. Dengan cara penyikapan seperti ini, maka seseorang akan senantiasa dalam keadaan beramal; Jika mendapat nikmat pasangan hidup, bisa beramal syukur, dan jika gagal, bisa beramal shobr. Semuanya adalah kebaikan baginya.
Semua pelampiasan cinta kepada lawan jenis yang tidak melalui pintu pernikahan adalah keliru, berdosa dan tidak islami.
Generasi muda di zaman sekarang tidak banyak yang mengetahui batas-batas ini. Umumnya mereka melampiaskan cinta dengan mengikuti arus zaman tanpa diseleksi dangan daya kritis dalam sudut pandang Islam. Salah satu contoh pelampiasan cinta yang tidak islami tetapi dianggap biasa dan sudah merajalela adalah fenomena yang disebut dengan istilah pacaran.
——–
Rujukan:
[1] Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakr, Roudhotu Al-Muhibbin wa Nuzhatu Al-Musytaqin, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1983, hal. 16.
[2] Al-‘Askari, Abu Hilal Al-Hasan bin Abdullah, Al-Furuq Al-Lughowiyyah, Dar Al-‘Ilmi wa Ats-Tsaqofah, Al-Qohiroh, 1980, juz 1 hal. 122.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal. 124.
[6] Az-Zabidi, Murtadho Abu Al-Faidh, Taj Al’Arus Min Jawahir Al-Qomus, Mathba’ah Hukumah Al-Kuwait, Kuwait, 1972, juz 23 hal. 518.
[7] Al-Jauziyyah, op. cit., hal. 52.
[8] Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, Beirut, 2009, juz 5, hal. 440.