Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Untukmu yang saat ini tengah belajar ilmu kedokteran atau sudah menjadi dokter yang mahir,
Mungkin engkau pernah iri melihat mereka yang mendalami ilmu agama. Mungkin batinmu berkata, “Alangkah beruntungnya mereka karena belajar ilmu akhirat”, sementara dirimu ‘hanya’ belajar ilmu “dunia”. Engkau mungkin iri membayangkan betapa besarnya pahala jariyah yang mereka peroleh dan betapa mulianya kedudukan mereka di sisi Allah. Lalu bisa jadi terlintas di hatimu bahwa engkau merasa menyesal mendalami ilmu itu atau merasa hidupmu tak berguna karena mendalami ilmu “dunia”.
Jika engkau pernah punya perasaan seperti itu, saya katakan, “Jangan demikian!”
Tidak usah demikian.
Ilmu kedokteran tidak kurang pentingnya daripada ilmu dien. Malahan kata Asy-Syafi’i, ilmu itu intinya dua macam, yakni ilmu fikih dan ilmu kedokteran. Ilmu fikih untuk menjaga “kesehatan” dien sementara ilmu kedokteran untuk menjaga kesehatan badan.
Apa gunanya ilmu dien luas jika sakit-sakitan dan cepat mati? Bukankah tidak memberi manfaat kepada masyarakat luas?
Bisa dibayangkan jika ilmu kedokteran ditinggalkan. Bisa jadi akan banyak kematian bayi-bayi dan anak-anak di tengah-tengah kaum muslimin. Padahal di antara bayi-bayi itu bisa jadi akan ada yang muncul sebagai ulama, mujtahid besar, ilmuwan dan para mujahid. Jadi, diabaikannya ilmu kedokteran bisa berakibat musnahnya bibit-bibit unggul di tengah-tengah umat Islam.
Asy-Syafi’i berkata,
“Ilmu itu ada dua macam, ilmu fikih untuk din dan ilmu kedokteran untuk (kesehatan) badan” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 2 hlm 114)
Di tempat lain, Asy-Syafi’i menyesali kaum muslimin yang pada zamannya tidak memberi perhatian dalam ilmu kedokteran. Harmalah bin Yahya bertutur,
“Asy-Syafi’i menyesali sikap kaum muslimin (di zamannya) yang menyia-nyiakan ilmu kedokteran dan berkomentar, ‘Mereka menyia-nyiakan sepertiga ilmu dan menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 2 hlm 116)
Bayangkan. Ilmu kedokteran dikatakan Asy-Syafi’i sebagai sepertiga ilmu!
Tidak ada ilmu sains yang mendapatkan penghargaan sangat tinggi dari Asy-Syafi’i karena pengaruhnya yang luar biasa kepada orang salih dan kaum muslimin sampai disebut sepertiga ilmu selain ilmu kedokteran ini. Kalau begitu, bukankah dirimu adalah salah satu dari sekian manusia yang sangat beruntung itu?
Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakan amal salih hamba-Nya, termasuk amal mereka yang menyibukkan diri dengan ilmu kedokteran. Amal dalam ilmu kedokteran juga tidak kalah pentingnya dengan amal dalam ilmu dien. Manfaat memberi minum untuk anjing saja bisa membuat manusia masuk ke dalam surga, lalu bagaimana mungkin memberi manfaat dengan ilmu kedokteran kepada ribuan bahkan jutaan manusia lalu tidak dihitung Allah?
Oleh karena demikian pentingnya ilmu kedokteran, keliru juga arus yang memusuhi ilmu ini, meski atas nama memperjuangkan “Thibbun Nabawi” (kedokteran ala Nabi ﷺ). Ilmu kedokteran itu ilmu sains, tidak ada bedanya dengan ilmu cara menyerbuk kurma yang juga termasuk sains. Ilmu seperti itu diserahkan Rasulullah ﷺ kepada kaum muslimin untuk mengembangkannya setinggi-tingginya dan sehebat-hebatnya. Perintah Rasulullah ﷺ untuk berobat dan petunjuk beliau bahwa ilmu obat itu hanya akan dketahui pakarnya juga menunjukkan ilmu ini masuk wilayah sains. Bukti bahwa Aisyah belajar ilmu kedokteran Mesir sampai menjadi pakar juga jelas menunjukkan bahwa ilmu ini wilayah sains. Adapun ulama yang menyebut istilah “Thibbun Nabawi”, maka hal itu hanya menunjukkan teknik pengobatan yang biasa dipakai di zaman itu dan terbukti bermanfaat, tidak bermakna kaum muslimin harus terikat dengan cara pengobatan masa itu sampai hari kiamat. Cara pikir semacam ini hanya akan mematikan pengembangan ilmu kedokteran saja.
Kembali ke pokok pembicaraan, daripada iri yang tidak produktif dan sesal-menyesal yang tidak ada guna, lebih baik berfikir rasional dan memanfaatkan semua nikmat Allah untuk beramal sebaik-baiknya.
Misalnya, jika engkau adalah dokter/calon dokter wanita yang belum menikah, maka carilah suami yang salih dan berilmu. Dia bisa menjaga dienmu dan engkau bisa menjaga kesehatannya. Suamimu mendapatkan pahala amal jariyah karena mengajarimu dan mengajari kaum muslimin, sementara dirimu juga ikut mendapatkan amal jariyah karena menjaga kesehatan suamimu yang dengannya dia bisa beramal luas untuk masyarakat. Ini juga bisa dibalik jika engkau adalah dokter/calon dokter laki-laki.
Jika engkau sudah memiliki pasangan yang berilmu, maka “sempurna” sudah hidupmu. Tugasmu sekarang tinggal satu, yakni serius menjaga nikmat tersebut serta mensyukurinya. Lalu siap-siaplah mendapatkan ujian lain yang sesuai dengan kondisi kalian.
Jika engkau bukan dokter, maka tulisan ini bukan untuk mengecilkan peran kalian. Pesan dan ruhnya sebenarnya tetap sama. Seluruh ilmu dunia yang memberikan manfaat untuk manusia, jika diniatkan karena Allah maka akan bernilai amal salih. Apapun ilmu itu, entah matematika, fisika, kimia, biologi, teknik, ekonomi, komputer, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu pendidikan dan lain-lain. Intinya, amalmu sesuaikan dengan potensi yang diberikan Allah kepadamu tanpa berkecil hati, karena Allah paling tahu pemberian apa yang terbaik untuk hambaNya yang dengannya Allah menguji hamba tersebut. Allah berfirman,
Artinya,
“…agar Dia (Allah) menguji kalian melalui apa-apa yang diberikan-Nya kepada kalian..” (Al-Maidah; 48)