Oleh: Ust. Muafa
Muqoddimah
Pembahasan tentang Isbal dalam berbagai tulisan dan ceramah kadang disampaikan dengan cara yang membuat tercetaknya kesan yang kurang tepat dibenak kaum muslimin. Banyak yang menyangka bahwa semua ulama dalam berbagai zaman telah bersepakat satu hukum dalam topik ini. Bagi kalangan awam, hal ini bisa menimbulkan fitnah, paling tidak dalam cara penyikapan terhadap saudara sesama muslim yang cenderung “semena-mena” ketika melihat mereka berbeda dengan apa yang difahami. Oleh karena itu menjadi hal yang bermanfaat-Insya Allah- memaparkan seputar topik ini dengan pembahasan yang diusahakan sedekat mungkin dengan obyektifitas dan cara pembahasan yang ilmiah. Mudah-mudahan kaum Muslimin terinspirasi untuk lebih bersemangat dalam Tafaqquh Fiddin dan mengamalkan Islam dengan cara yang paling prima.
Pembahasan
Melakukan Isbal bagi lelaki Muslim, yakni mengulurkan pakaian melebihi mata kaki, hukumnya Mubah selama tidak disertai kesombongan tanpa membedakan apakah pakaian itu berupa gamis, sarung, celana, Jarit, Izar (seperti yang dipakai saat Ihram) dan sebagainya. Adapun jika Isbal itu disertai sombong, maka hukumnya Haram yang keharamannya berlaku bukan hanya pada Isbal pakaian tetapi pada semua penggunaan asesoris tubuh yang memicu kesombongan.
Melakukan Isbal bagi lelaki Muslim, yakni mengulurkan pakaian melebihi mata kaki, hukumnya Mubah selama tidak disertai kesombongan tanpa membedakan apakah pakaian itu berupa gamis, sarung, celana, Jarit, Izar (seperti yang dipakai saat Ihram) dan sebagainya. Adapun jika Isbal itu disertai sombong, maka hukumnya Haram yang keharamannya berlaku bukan hanya pada Isbal pakaian tetapi pada semua penggunaan asesoris tubuh yang memicu kesombongan.
Argumentasi yang menunjukkan bahwa Isbal yang tanpa disertai kesombongan hukumnya Mubah adalah hal-hal berikut;
Pertama; Nash-Nash yang melarang Isbal disertai keterangan yang menjadi penyebab dilarangnya Isbal yaitu kesombongan.
Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong.” (H.R.Bukhari)
dalam riwayat lain lafadznya berbunyi;
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Dari Az Zuhriy ,telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bercerita bahwa Nabi Shallallu ‘alaihi wa salam besabda: “Ada seorang laki-laki yang ketika dia menyeret pakaiannya karena kesombongan, ia dibenamkan ke dasar bumi, dan orang itu terus meronta-ronta hingga hari qiyamat”.(H.R.Bukhari)
dalam riwayat Ahmad lafadznya berbunyi;
عَنْ هُبَيْبِ بْنِ مُغْفِلٍ الْغِفَارِيِّ
أَنَّهُ رَأَى مُحَمَّدًا الْقُرَشِيَّ قَامَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَنَظَرَ إِلَيْهِ هُبَيْبٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَطِئَهُ خُيَلَاءَ وَطِئَهُ فِي النَّارِ
Artinya: “Dari Hubaib bin Mughfil salah seorang sahabat Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, dia melihat seorang laki-laki yang menyeret kainnya sampai kebelakangnya dan menginjaknya. Dia berkata; Maha Suci Allah, Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang menginjak kainnya karena sombong, dia akan menginjaknya di Neraka”. (H.R.Ahmad)
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal karena ada sebabnya yaitu kebiasaan sebagian orang yang mengulurkan dan menyeret pakaiannya karena angkuh nan sombong. Mafhumnya (makna implisitnya), jika Isbal tersebut dilakukan tidak karena sombong berarti tidak terkena celaan dan tidak termasuk ke dalam ancaman. Dengan kata lain Lafadz بَطَرًا (keangkuhan) dan خُيَلَاءَ (kesombongan) dalam riwayat-riwayat di atas menjadi Qoid (pengikat) dari syariat larangan Isbal. Selama Qoid tersebut ada, maka hukum berlaku, dan jika Qoid tersebut tidak ada, maka hukum larangan Isbal tidak bisa diterapkan. Lafadz بَطَرًا dan خُيَلَاءَ sama dengan lafadz خَطَأً dalam firman Allah berikut ini ;
Artinya: “Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya” (An-Nisa; 92)
Maknanya, pada kasus pembunuhan, hukum kewajiban membebaskan budak mukmin dan membayar diyat hanya berlaku jika pembunuhan tersebut terealisasi sifat خَطَأً (yakni dilakukan secara tidak sengaja). Jika pembunuhan tersebut disengaja, maka hukuman membebaskan budak dan membayar diyat tidak dapat diterapkan. Dalam masalah Isbal juga demikian. Jika terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal berlaku, namun jika tidak terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal tidak dapat diterapkan.
Contoh lain adalah lafadz ظُلْمًا dalam ayat berikut;
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka).” (An-Nisa; 10)
Maknanya, orang yang terancam memakan api di Neraka dalam perut-perut mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara ظُلْمًا (zalim). Mafhumnya, jika harta anak yatim itu dimakan dengan cara yang tidak zalim, misalnya karena pemberian sukarela dari anak yatim tersebut, maka orang tersebut tidak terkena ancaman. Hal yang sama berlaku pada Isbal. Jika Isbalnya dilakukan dengan cara sombong, maka pelakunya terkena ancaman, namun jika dilakukan bukan karena sombong misalnya yang Isbal para petani yang pergi ke sawah, maka orang tersebut tidak terkena ancaman.
Demikianlah. Ringkasnya; Nash-Nash yang menunjukkan larangan Isbal adalah Nash-Nash yang disertai Qoid (pengikat) hukum. Dengan kata lain , Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad diterapkan sesuai dengan Qoidnya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada Qoid yang disebutkan.
Nash-Nash yang menunjukkan larangan Isbal adalah Nash-Nash yang disertai Qoid (pengikat) hukum. Dengan kata lain , Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad diterapkan sesuai dengan Qoidnya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada Qoid yang disebutkan.
Yang menguatkan kesimpulan ini adalah adanya Nash yang melarang makan, minum, berpakaian, dan bersedekah disertai kesombongan. Nash yang seperti ini menunjukkan bahwa perhatian, celaan, larangan, dan ancaman Syara semuanya itu diarahkan pada aspek kesombongannya bukan semata-mata masalah mengulurkan pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan.” Ibnu Abbas berkata, “Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah apa yang engkau mau,” (H.R.Bukhari)
Ibnu Umar juga pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
Artinya: “Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata, “Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’ Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’” (Siyar A’lam Nubala’)
Riwayat ini juga menunjukkan bahwa perhatian shahabat dalam masalah berpakaian diantaranya yang terpenting adalah penggunaannya yang membuat hati terselipi rasa sombong.
Kedua; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbal dan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Artinya: “Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisah Isbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Artinya: “Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “ (H.R.Ibnu Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. Artinya Isbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbal beliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwa Isbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam larangan Isbal karena sombong.
Ketiga; Taqrir (sikap diam) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Isbal Abubakar.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendiamkan Abubakar melakukan Isbal. Bukhari meriwayatakan;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat”. Kemudian Abu Bakr berkata; “Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya) “. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong”. (H.R.Bukhari)
Riwayat lain berbunyi;
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Artinya: “Dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu Abu Bakar berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencela dan mengancam orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Ancamannya adalah tidak dilihat Allah pada hari kiamat, artinya tidak dikasihi dan dirahmati tetapi dibenci dengan kebencian yang amat sangat. Ancaman yang menakutkan ini membuat Abubakar menjadi khawatir jika larangan Isbal tersebut adalah larangan yang mutlak. Maka beliau menanyakan kondisi pakaiannya yag selalu terjulur/Isbal kecuali Abubakar benar-benar menjaganya. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena jika memang benar Isbal itu haram secara mutlak tentu kondisi apapun tidak akan ditoleransi. Jika memang Isbal memang haram secara mutlak, maka sengaja maupun tidak sengaja tetap haram sehingga harus dijauhi dan tidak boleh didekati. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan bahwa Abubakar melakukan Isbal itu tidak karena sombong. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Abubakar itu ketika melakukan Isbal, beliau tidak termasuk golongan yang melakukannya kerena sombong. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dua hal; pertama; Taqrir Nabi terhadap Isbal Abubakar, kedua; Isbal itu hanya dilarang karena sombong.
Riwayat yang kedua malah menunjukkan bahwa yang melakukan Isbal Mubah itu bukan hanya Abubakar tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Lafadz yang berbunyi;
Artinya: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Menunjukkan bahwa di zaman Nabi pelaku Isbal itu ada dua golongan yaitu; golongan yang melakukannya karena sombong dan golongan yang tidak melakukannya karena sombong. Hal itu dikarenakan Harf “Min” pada lafadz مِمَّنْ adalah Min Lit Tab’idh (Harf Min yang bermakna sebagian). Ketika Abubakar dikatakan bahwa beliau tidak termasuk diantara yang melakukannya karena sombong, berarti yang melakukannya tidak karena sombong bukan hanya Abubakar. Jika yang melakukannya hanya Abubakar maka tidak ada maknanya menyebut Harf Min tersebut. Penyebutan Harf Min Lit -Tab’idh menunjukkan bahwa pelaku Isbal yang tidak karena sombong bukan hanya Abubakar saja tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Abubakar didiamkan melakukan Isbal karena tidak termasuk golongan yang melakukannya karena sombong. Karena itu riwayat ini memberi penguatan lebih dalam tentang kebolehan Isbal yang tidak dilakukan karena sombong.
Tidak bisa mengatakan bahwa Isbal Abubakar itu dilakukan secara tidak sengaja sehingga Isbal tetap haram secara mutlak. Argumentasi ini tidak bisa diterima berdasarkan empat alasan;
Satu; Seandainya larangan Isbal bersifat mutlak seharusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersikukuh melarang secara mutlak sebagaimana bersikukuhnya beliau melarang jual beli lemak bangkai dalam riwayat berikut ini;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah bahwa saat ia sedang berada di Makkah ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat penaklukan Makkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, serta berhala.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak biasa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan menyalakan lampu?” Beliau bersabda: “Tidak boleh, karena ia adalah haram.” Beliau menambahkan: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, ketika Allah mengharamkan lemak, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (H.R.Abu Dawud)
Maknanya, jika memang sesuatu itu haram secara mutlak maka tidak ada alasan apapun untuk yang memberikan toleransi untuk dilanggar. Hal ini berbeda jika sesuatu itu dilarang tidak secara mutlak, tetapi dikecualikan hal/kondisi tertentu sebagaimana toleransi memotong “Idzkhir” pada hadis berikut ini;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari pebebasan kota Makkah: “Tidak ada lagi hijrah tetapi yang ada adalah jihad dan niat dan jika kalian diperintahkan berangkat perang maka berangkatlah. Sesungguhnya negeri ini telah Allah Ikrarkan kesucikannya sejak hari penciptaan langit dan bumi. Maka dia akan terus suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat sehingga tidak dibolehkan perang didalamnya buat seorangpun sebelum aku dan tidak dihalalkan pula buatku kecuali sesaat dalam suatu hari. Maka dia suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat, dan tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh dipotong rumputnya”. Berkata, Al ‘Abbas radliallahu ‘anhu: “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka dan rumah-rumah mereka”. Dia berkata,, maka Beliau bersabda: “Ya, kecuali pohon idzkhir”. (H.R.Bukhari)
Maknanya, persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Abubakar yang berisbal semakna dengan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepad Al-‘Abbas bahwa Idzkhir boleh dipotong, yang menunjukkan larangan Isbal bukan larangan mutlak sebagaimana larangan memotong tumbuhan Mekah bukan larangan mutlak.
Dua; Tidak bisa dibuktikan bahwa Abubakar tidak berisbal sepanjang hidupnya. Seandainya Isbal Abubakar adalah sebuah ketidaksengajaan maka seharusnya itu hanya terjadi sekali atau dua kali dalam hidupnya. Sesudah itu seharusnya ada riwayat yang jelas bahwa beliau tidak berisbal dan selalu menaikkan pakaiannya setinggi tengah betis
Tiga: Pembiaran Nabi atas Isbalnya Abubakar bukan disebabkan karena masalah sengaja atau tidak sengaja, tetapi sebabnya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dengan terang –seterang sinar matahari– bahwa sebabnya adalah karena Abubakar tidak melakukannya karena sombong. Seandainya kebolehan Isbal adalah karena masalah tidak sengaja seharusnya Nabi mengatakan; “Engkau melakukannya tanpa sengaja“. Namun bukan alasan itu yang diucapkan Nabi. Nabi malah menegaskan kebolehan Isbal terhadap Abubakar adalah karena ketiadaan sombong.
Empat; Dalam Thobaqot Ibnu sa’ad dinyatakan bahwa Isbal Abubakar adalah ciri pakaian beliau. Ibnu Sa’d menyatakan;
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
Artinya: ““Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm 1288)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Isbal Abubakar adalah sesatu yang menonjol dan menjadi ciri berpakaian beliau yang berkesan dalam memori orang yang melihatnya. Jika memang Isbal itu haram mutlak, mustahil Abubakar bermain-main dengan area yang dekat dengan kaharaman. Bukankah bukan suatu hal yang sulit jika Abubakar menaikkan ujung pakaiannya hingga tengah betis sehingga tidak perlu lagi berpayah-payah menjaga agar pakaiannya tidak Isbal?bukankah suatu hal yang tidak sulit memutuskan agar pakaian tdk terjulur dan tidak perlu selalu diawasi dengan cara memotongnya hingga tengah betis?
Tidak bisa pula Isbal Abubakar ini difahami Tazkiyah (penyucian) khusus dari Nabi kepada Abubakar. Klaim ini terbantahkan dengan riwayat yang berbunyi
Artinya: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
yang mana riwayat ini menunjukkan bahwa pelaku Isbal bukan hanya Abubakar tetapi juga sebagian kaum Muslimin yang lain. Hal iu dikarenakan Nabi menyebut Abubakar bukan satu-satunya yang berisbal tidak karena sombong, tetapi disebut Nabi tidak termasuk yang melakukannya karena sombong sehingga bermakna bahwa pelaku Isbal di zaman itu ada dua kelompok, pelaku yang melakukannya karena sombong dan pelaku yang melakukannya tidak karena sombong dan Abubakar termasuk golongan yang terakhir. Lagipula, syariat itu berlaku umum bagi seluruh umat, tidak bisa dikhususkan pada individu tertentu. Tidak bisa dikhususkan hanya kepada Abubakar dan tidak bisa pula dikhususkan kepada selainnya. Tambahan lagi, klaim bahwa hal itu Tazkiyah khusus terhadap Abubakar akan membuat Nash-Nash Muqoyyad terkait Isbal ini menjadi sia-sia.
Tidak bisa pula menuduh orang yang mengulurkan pakaian tidak karena sombong bahwa dia mensucikn dirinya sendiri. Tidak bisa dikatakan demikian, karena mensifati keadaan diri adalah sesuatu yang wajar sebagaimana orang yang mensifati dirinya “saya melompat-lompat karena gembira” atau “saya memukul kaca karena sedih” dan semisalnya. Orang yang sakit diabetes dan memiliki borok pada kakinya, kemudian berisbal untuk menutupi luka boroknya dari gangguan lalat tidak boleh dituduh secara semena-mena bahwa dia berisbal karena sombong dan mensucikan dirinya.
Aturan yang mengharuskan orang yang ingin berisbal maka harus ada yang mentazkiyah sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mentazkiyah Abubakar, maka aturan ini tidak bisa dipakai karena tidak diperintahkan Allah dan RasulNya, tidak terkandung dalam riwayat Isbal Abubakar baik secara implisit maupun eksplisit, dan bertentangan dengan mafhum riwayat Isbal Abubakr yang menunjukkan izin Isbal dar Nabi secara mutlak jika tidak dikarenkan karena sombong.
Alasan bahwa Abubakar diizinkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berisbal karena imannya tinggi juga tidak dapat diterima, karena jika sesuatu memang haram secara mutlak maka iman yang tinggi tidaklah mengubah status keharaman sesuatu tersebut. Zina yang hukumnya haram secara mutlak, keharamannya berlaku baik bagi orang yang imannya tinggi maupun rendah. Lagipula, izin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abubakar untuk berisbal bukan karena imannya yang tinggi karena tidak ada satu lafadzpun yang menunjukkan hal itu. Izin Isbal Abubakar adalah karena Isbal beliau dilakukan tidak karena sombong. Itulah yang dinyatakan dengan jelas oleh Nash.
Alasan bahwa izin Isbal yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepda Abubakar adalah termasuk Fadhoil (keutamaan) Abubakar juga tidak dapat diterima, karena ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada beliau dalam riwayat adalah dalam konteks menjelaskan hukum, bukan sedang memuji atau memberi kabar gembira kepada individu tertentu.
keempat (yakni argumentasi keempat yang menunjukkan Mubahnya Isbal tanpa sombong): Praktek sejumlah shahabat yang dikuatkan sejumlah Tabi’in besar.
Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Isbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Artinya: “Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki. Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash. Menafsirkan Isbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Artinya: “Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Artinya: “Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
Artinya: “hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya”
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbal yang melebihi mata kaki. Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri. Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya.
Di kalangan Tabi’in, yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
عَنْ عَمْرِو بْنِ مُهَاجِرٍ ، قَالَ : كَانَتْ قُمُصُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَثِيَابُهُ مَا بَيْنَ الْكَعْبِ وَالشِّرَاكِ.
Artinya: “Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Pakaian yang ujungnya berada di antara mata kaki dengan tali sandal menunjukkan dengan jelas bahwa pakaian Umar bin Abdul Aziz melewati mata kaki.
Tabi’in yang lain adalah Ibrohim An-Nakho’i. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ، عَنْ مُغِيرَةَ ، قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيمُ قَمِيصُهُ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ.
Artinya: “Dari Mughiroh, ia berkata, “Ibrohim An-Nakho’I, jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Tabi’in yang lain adalah Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani.
إسنادهٌ صحيحٌ .
Artinya: “Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal – riwayat putranya, Abdullah – nomor 841Suliman bin Harb memberitahu aku, Hammad bin Zaid berkata, “Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal.” (H.R.Ahmad dalam Al-‘Ilal)
Semua riwayat di atas semakin menguatkan bahwa Isbal yang dilakukan tidak karena sombong adalah Mubah dan dipraktekkan shahabat besar termasuk Tabi’in-Tabi’in yang keshalihannya tidak diragukan lagi.
Catatan Kritis Terhadap Dalil-Dalil Pendapat Yang Mengharamkan Isbal Secara Mutlak
Terdapat sejumlah dalil yang dipakai pendapat yang mengharomkan Isbal secara mutlak baik dilakukan kerena sombong maupun tidak karena sombong. Berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat yang mengharomkan Isbal secarara mutlak tersebut. Masing-masing dalil yang dipakai akan disajikan dan diulas secukupnya.
Pertama; Adanya Nash-Nash yang melarang Isbal secara mutlak.
Diantara Nash yang menunjukkan larangan Isbal secara mutlak adalah hadis riwayat Bukhari berikut;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Artinya: “Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya hingga di bawah mata kaki, maka tempatnya adalah Neraka.” (H.R.Bukhari)
juga hadis riwayat Muslim;
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang melakukan Isbal (memanjangkan pakaian), orang yang suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya’), dan orang yang membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (H.R.Muslim)
juga riwayat Ibnu Majah;
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ ».
Artinya: “Dari Al Mughirah bin Syu’bah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu memanjangkan kain sarung atau celana melebihi mata kaki, karena Allah membenci orang-orang yang memanjangkan kain sarung atau celananya melebihi mata kaki.” (H.R.Ibnu Majah)
juga riwayat At-Tirmidzi;
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَضَلَةِ سَاقِي أَوْ سَاقِهِ فَقَالَ هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
Artinya: “Dari Hudzaifah Rhadhiyallaahu ‘Anhu berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang betisku dan bersabda: “Ini adalah batas pakaian, jika engkau tidak mau (ingin menambah panjangnya) maka boleh dibawahnya sedikit, dan jika engkau tidak mau, maka tidak diperbolehkan pakaian melebihi mata kaki.” (H.R.At-Tirmidzi)
Dari riwayat-riwayat yang seperti ini dan yang semakna dengannya ditarik kesimpulan bahwa Isbal dilarang Nabi secara mutlak tanpa membedakan apakah dilakukan karena sombong ataukah dilakukkan tanpa disertai kesombongan. Hal itu dikarenakan lafadz yang menunjukkan larangan semuanya dinyatakan dalam bentuk mutlak tanpa disertai penjelasan sebabnya. Oleh karena lafadz larangan Isbal bersifat mutlak, hal itu bermakna keharaman Isbal tidak diikat kondisi tertentu, tetapi berlaku secara mutlak yang mencakup kondisi sombong maupun tidak sombong.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar ada lafadz-lafadz Muthlaq terkait larangan Isbal, namun juga tidak dapat diingkari adalnya lafadz-lafadz Muqoyyad (terikat) yang mengikat larangan Isbal dengan kondisi tertentu yaitu kesombongan. Dari sini berlaku kaidah ushul Fikih; Jika ada lafadz Muthlaq yang berhadapan dengan lafadz Muqoyyad sementara dua macam lafadz tersebut memiliki Hukum (الحُكْمُ) dan Sabab (السَّبَبُ) yang sama, maka diterapkanlah kaidah;
Artinya: ““Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Artinya, lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Kaidah ini dipakai untuk mengakomodasi penerapan kedua macam Nash tersebut. Hal itu dikarenakan jika hanya lafadz Muthlaq saja yang diterapkan maka hal itu bermakna diabaikannya lafadz Muqoyyad, namun jika lafadz Muqoyyad yang diterapkan, maka lafadz Muthlaq tetap terterapkan.
Contoh penerapannya adalah pada hadis kokokan ayam jantan berikut ini;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا
Artinya: “Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar suara kokok ayam mohonlah kepada Allah karunia-Nya karena saat itu ayam itu sedang melihat malaikat dan bila kalian mendengar ringkik suara keledai mohonlah perlindungan kepada Allah karena saat itu keledai itu sedang melihat setan”. (H.R.Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعْتُمْ نُهَاقَ الْحَمِيرِ بِاللَّيْلِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا فَإِنَّهَا رَأَتْ شَيْطَانًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ صُرَاخَ الدِّيَكَةِ بِاللَّيْلِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar ringkih keledai di malam hari maka berlindunglah kepada Allah dari kejelekannya karena sesungguhnya ia melihat setan, dan jika kalian mendengar ayam berkokok di malam hari maka mintalah kepada Allah akan karuinia-Nya karena sesungguhnya dia melihat malaikat.” (H.R.Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari di atas tidak ada keterangan waktu berkokoknya ayam jantan dan ringkikan keledai. Namun pada riwayat Ahmad terdapat keterangan waktu penjelasan hukum, yaitu di malam hari. Jadi, riwayat Bukhari termasuk lafadz Muthlaq, sementara riwayat Ahmad lafadz Muqoyyad. Oleh karena hukum pada dua riwayat ini sama, yaitu sunnahnya berdoa saat mendengar kokokan ayam jantan dan berta’awwudz saat mendengar ringkikan keledai, sementara Sabab hukumnya juga sama yaitu mendengar kokokan ayam atau keledai, maka berlakulah kaidah;
Artinya: “Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Yakni, lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Hal ini bermakna, hukum sunnahnya berdoa dan berta’awwudz saat mendengar kokokan ayam jantan dan ringkikan keledai adalah dalam kondisi kokokan dan ringkikan itu di dengar di malam hari. Jika kokokan dan ringkikan itu didengar di siang hari, maka hukum sunnah itu tidak berlaku.
Hal yang sama berlaku dalam maslah Isbal. Memang benar ada Nash-Nash Muthlaq, namun juga tidak dapat dibantah adanya Nash-Nash Muqoyyad. Oleh karena itu berlakulah kaidah;
Artinya: “Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
maknanya, lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Hal ini bermakna,haromnya Isbal adalah dalam kondisi dilakukan karena sombong. Jika dilakukan tidak karena sombong maka hukum haramnya Isbal tidak berlaku.
Adapun gugatan terhadap penggunaan kaidah ini, yakni klaim bahwa dalam kasus Isbal, hukum dan Sababnya berbeda dengan mengatakan; untuk Isbal hukumannya adalah Neraka sementara meyeret pakaian hukumannya adalah tidak dilihat Allah. Oleh karena Sabab dan Hukumnya berbeda maka kaidah maka;
Artinya: “Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf yang membuat hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal. Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman (العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai kesombongan.
Penerapan yang benar atas perbedaan Sabab yang membuat tidak bisa diterapkan kaidah
Adalah seperti dalam ayat berikut;
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak” (Al-Mujadilah; 3)
Artinya: “dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (An-Nisa; 92)
Hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat Al-Mujadilah di atas bersifat Muthlaq karena hanya diungkapkan dengan lafadz “Roqobah” (seorag budak) sementara hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat An-Nisa bersifat Muqoyyad karena diungkapkan dengan lafadz “Roqobah Mukminah” (seorang budak mukmin). Namun pada dua yat ini tidak bisa diterapkan kaidah
Karena Sabab hukumnya yang berbeda. Pada surat Al-Mujadilah Sabab hukumnya adalah perbuatan Dhihar, sementara pada suarat An-Nisa’ Sabab hukumnya adalah pembunuhan tidak sengaja. Oleh karena sabab hukumnya pada dua Nash ini berbeda, maka hukum Syara masing-masing diterapkan pada wilayahnya. Artinya, Nash Muthlaq dibiarkan dalam kemuthlaqannya dalam wilayah topik hukumnya sementara Nash Muqoyyad juga dibiarkan dalam kemuqoyyadannya dalam wilayah topik hukumnya. Kesimpulannya, Kaffarot untuk perbuatan Dhihar adalah membebaskan budak secara Muthlaq baik budak mukmin maupun budak kafir, sementara Kaffarot pembunuhan tidak sengaja adalah membebaskan budak mukmin saja dan tidak sah jika yang dibebaskan budak kafir.
Terdapat banyak ulama yang meyetujui bahwa kaidah
Dalam kasus Isbal ini bisa diterapkan. Mereka bukanlah ulama-ulama sembarangan, tetapi ulama-ulama yang memiliki reputasi tinggi dalam bahasa Arab dan ushul Fiqih. Justru menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada ulama kontemporer yang menolak penerapan kaidah ini pada kasus Isbal dengan alasan beda Hukum dan beda Sabab. Berikut kami daftarkan sejumlah statemen ulama salaf yang kredibel yang menunjukkan kaidah ini bisa diterima dalam Isbal.
Diantara mereka adalah imam As-Syafi’i. As-Syaukani berkata dalam Nail Al-Author;
قال البويطي في مختصره عن الشافعي : لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ولغيرها خفيف لقول النبي صلى الله عليه وآله وسلم لأبي بكر انتهى
Artinya: “Al-Buwaithi berkata dalam kitabnya Almukhtashor, dari as-Syafi’I, “Tidak boleh Isbal di dalam sholat dan di luar sholat dalam rangka sombong. Sementara untuk yang tidak sombong hal itu adalah sesuatu yang ringan (diperbolehkan) dengan dasar perkataan Nabi kepada Abu Bakr.” (Nail Al-Author, vol 2, hlm 112)
Termasuk juga Ibnu Taimiyyah dalam Syarhu Al-‘Umdah;
شرح العمدة (ص: 364)
وهذه منصوص صريحة في تحريم الإسبال على وجه المخيلة والمطلق منها محمول على المقيد وإنما أطلق ذلك لأن الغالب أن ذلك إنما يكون مخيلة
Artinya: “Ini adalah nash-Nash yang lugas tentang pengharaman Isbal terkait dengan kesombongan. Nash yang mutlak dibawa pada yang muqoyyad. Disebutkan demikian karena umumnya, Isbal itu adalah karena kesombongan.” (Syarhu Al-‘Umdah, hlm; 364)
Termasuk juga Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Bari;
فتح الباري – ابن حجر (10/ 263)
وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء
Artinya: “Adapun Isbal tanpa kesombongan, maka Dhohir hadits-hadits bermakna ia juga diharamkan. Akan tetapi bisa juga berdalil dengan adanya Taqyid pada hadis-hadis dengan kondisi sombong untuk disimpulkan bahwa larangan isbal yang ada saat mencela isbal dibawa apada nash yang Muqoyyad, sehingga tidaklah haram menyeret pakaian dan Isbal jika aman dari kesombongan.” (Fathu Al-Bari, vol.10, hlm 264)
Termasuk juga An-Nawawi dalam Syarah Shaih Muslim;
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين فى النار فالمراد بها ما كان للخيلاء لانه مطلق فوجب حمله على المقيد والله أعلم
Artinya: “Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan. Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa kepada yang muqoyyad.” (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol.14 hlm 63)
Termasuk juga As-Syaukani dalam Nail Al-Author;
نيل الأوطار (2/ 112)
وأما حديث أبي أمامة فغاية ما فيه التصريح بأن الله لا يحب المسبل وحديث الباب مقيد بالخيلاء وحمل المطلق على المقيد واجب
Artinya: “Adapun hadits Abu Umamah, maksimal maksudnya adalah penjelasan bahwasanya Allah tidak suka orang yang Isbal. Dan hadits dalam bab tersebut dibatasi dengan kesombongan. Sementara membawa yang mutlak kepada yang muqoyyad adalah wajib.” (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk juga Al-‘Iroqi dalam Thorhu At-Tatsrib;
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Artinya: “Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan. Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa kepada yang muqoyyad.” (Thorhu At-Tatsrib, vol.9 hlm 34)
Termasuk juga Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid;
التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد (3/ 244)
وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره من غير خيلاء ولا بطر أنه لا يلحقه الوعيد المذكور
Artinya: “Ibnu Abdil Barr berkata, “Pemahamannya adalah bahwa orang yang menyeret pakaian tanpa kesombongan tidak terkena oleh ancaman adzab.” (At-Tamhid, vol.3 hlm 244)
Ini adalah catatan kritis terhadap argumentasi pertama pendapat yang mengatakan Isbal haram secara mutlak yaitu; Adanya Nash-Nash yang melarang Isbal secara mutlak. Pembahasan dilanjutkan dengan catatan kritis atas argumentasi yang lain.
Kedua; Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid
Diantara argumen pendapat yang mengharamkan secara Muthlaq adalah memandang bahwa Nash-Nash Muqoyyad tentang larangan Isbal, semua Taqyidnya (pengikatnya) seperti lafadz “Khuyala” (kesombongan) atau “Bathor” (keangkuhan) adalah bentuk “Washf” (deskripsi) yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” (diungkapkan untuk menunjukkan kebiasaan pada umumnya). Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” dipandang tidak bisa menjadi Qoid (pengikat) yang membatasi kondisi keharaman Isbal sebagaimana lafadz ” Fii Hujurikum” dalam ayat berikut;
{وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ} [النساء: 23]
Artinya: “Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu -haram kau nikahi-.” (An-Nisa; 23)
tidak bisa menjadi Qoid keharaman anak tiri karana termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah; Qoid sombong terhadap larangan Isbal bukan termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”, tetapi Ta’lil (penjelasan alasan) yang dinyatakan lugas dalam riwayat Isbal Abubakar. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan alasan kebolehan Isbal Abubakar dengan lafadz;
Artinya: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Maka ini menjadi dalil yang jelas, bahwa larangan tersebut disebabkan karena sebab tertentu, yaitu kesombongan. Hal ini berbeda dengan ayat dalam surat An-Nisa diatas, karena pengasuhan bukanlah Ta’lil dari keharoman menikahi anak tiri.
Lagipula, kesombongan yang menjadi Qoid dalam larangan Isbal didapatkan dari Manthuq Nash, yakni ucapan Nabi yang berbunyi;
Artinya: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Bukan dari mafhumnya. Oleh karena itu argumen Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid tidak bisa diterima.
Tambahan lagi, memahami Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid sehingga Isbal haram secara mutlak bertentangan dengan praktek Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll.
Ketiga; mengompromikan Nash yang Muthlaq dengan Nash Muqoyyad dalam larangan Isbal adalah dengan memahami; Isbal tanpa sombong haram, jika dengan sombong maka lebih haram lagi.
Catatan terhadap argumen ini adalah; cara kompromi dengan teknik pembedaan seperti diatas tersebut tidak memiliki landasan Nash yang kokoh, karena larangan Isbal dalam Nash Muthlaq maupun Muqoyyad tidak dinyatakan dalam gradasi ancaman. Malah Nash-Nash yang ada menunjukkan adanya penyamaan. Ancaman dalam Nash Muthlaq adalah di Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat, sementara ancaman dalam Muqoyyad juga Neraka dan tidak dilihat Allah. Jadi pembedaan tersebut tidak bisa dipegang, kompromi yang tidak memuaskan, dan tidak mendapatkan dalil pengukuh untuk membuktikan kebenarannya. Lagipula, jika Isbal tanpa sombong memang harom maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll tidak akan berani melakukannya.
Kompromi yang lebih tepat terhadap Nash-Nash Muthlaq dan Muqoyyad dalam kasus larangan Isbal yang sesuai dengan Nash-Nash yang lain adalah menerapkan kaidah;
Artinya: “Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Keempat; Adanya Nash-Nash yang melarang individu tertentu melakukan Isbal yang menunjukkan larangan mutlak.
Terdapat sejumlah Nash yang mengesankan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang individu-individu tertentu melakukan Isbal secara mutlak tanpa membedakan apakah dlakukan dengan sombong ataukah tidak. Diantara riwayat jenis ini misalnya kisah lelaki Ahnaf (berkaki bengkok) berikut;
عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ قَالَ إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Artinya: “Dari Ya’qub bin Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang ,menyeret kainnya, maka beliau pun segera menyusulnya dan bersabda: “Angkatlah kainmu dan takutlah kepada Allah.” Laki-laki itu berkata, “Saya adalah seorang yang kaki dan kedua lututnya bengkok.” Beliau bersabda: “Angkatlah kainmu, karena setiap ciptaan Allah ‘azza wajalla adalah baik.” Maka laki-laki itu tidak pernah lagi dilihat, kecuali panjang kainnya hanya sebatas setengah betisnya hingga mati.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Isbal ibnu Umar berikut;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar ia berkata; “Aku pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain (pakaian) saya terjurai sampai ke tanah.” Maka beliau berkata; ‘Hai Abdullah, naikkan kainmu! ‘ lalu akupun langsung menaikkan kainku. Setelah itu Rasulullah berkata; ‘Naikkan lagi.’ Maka akupun menaikan lagi. Dan setelah itu aku selalu memperhatikan kainku. Sementara itu ada beberapa orang yang bertanya; ‘Sampai di mana batasnya? ‘ Ibnu Umar menjawab; ‘Sampai pertengahan kedua betis.” (H.R.Muslim)
Lafadz lain dalam Musnad Ahmad berbunyi;
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ زَيْدٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَآهُ وَعَلَيْهِ إِزَارٌ يَتَقَعْقَعُ يَعْنِي جَدِيدًا فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقُلْتُ أَنَا عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللَّهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ قَالَ فَرَفَعْتُهُ قَالَ زِدْ قَالَ فَرَفَعْتُهُ حَتَّى بَلَغَ نِصْفَ السَّاقِ قَالَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّهُ يَسْتَرْخِي إِزَارِي أَحْيَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِنْهُمْ
Artinya: “dari Zaid bin Aslam saya mendengar Ibnu Umar berkata, “Siapa yang menjulurkan kainnya melebihi mata kaki karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat.” Telah berkata Zaid, Ibnu Umar menceritakan kisah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah melihatnya memakai kain baru dan terdengar suara gemerisik kainnya. Kontan beliau berkata, “Siapakah ini?” Ibnu Umar menjawab, “Saya Abdullah bin Umar.” Beliau berkata, “Jika kamu benar-benar Abdullah bin Umar, angkatlah kainmu.” Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya.” Beliau berkata, “Tambah (angkat lagi).” Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya lagi hingga pertengahan betis.” Kemudian dia menoleh kepada Abu Bakar dan berkata, “Barangsiapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak melihatnya kelak pada hari kiamat.” Lalu Abu Bakar berkata, “, kainku terkadang merosot.” Maka Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kamu tidaklah termasuk dari mereka.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Khuroim Al-Asadi berikut;
قَالَ
ثُمَّ مَرَّ بِنَا يَوْمًا آخَرَ فَقَالَ لَهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ كَلِمَةً تَنْفَعُنَا وَلَا تَضُرُّكَ فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ لَوْلَا طُولُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ خُرَيْمًا فَجَعَلَ يَأْخُذُ شَفْرَةً يَقْطَعُ بِهَا شَعَرَهُ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ وَرَفَعَ إِزَارَهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
قَالَ فَأَخْبَرَنِي أَبِي قَالَ دَخَلْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَإِذَا عِنْدَهُ شَيْخٌ جُمَّتُهُ فَوْقَ أُذُنَيْهِ وَرِدَاؤُهُ إِلَى سَاقَيْهِ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوا هَذَا خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ
Artinya: “Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya, dari Sahal bin Amru; berkata, “Kemudian pada hari yang lain, (Ibnu Hanzhaliyah) melewati kami, maka Abu Darda berkata kepadanya, “(Berbicalah) satu kata yang bermanfaat bagi kami dan tidak memberikan mudlarat kepadamu.” Ibnu Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya bukan karena rambutnya yang panjang hingga bahu dan kain sarungnya yang Isbal, maka sebaik-baik lelaki adalah Khuraim Al Asadi.” Maka hal itu pun sampai kepada Khuraim, sehingga ia pun mengambil gunting dan memangkas rambutnya hingga pertengahan kedua telinganya dan memotong kainnya hingga setengah betisnya. Ia berkata, “Bapakku mengabarkan kepadaku, ia mengatakan, “Setelah itu aku menemui Mu’awiyah, ternyata di sisinya ada seorang syaikh yang panjang rambutnya di atas kedua telinganya, sedangkan kainnya terangkat hingga pertengahan kedua betisnya. Maka aku pun bertanya siapakah ia, orang-orang menjawab, “Ini adalah Khuraim Al Asadi.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah ‘Amr bin Zuroroh berikut;
عن أبي أمامة قال : بينما نحن رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ لحقنا عمرو بن زرارة الأنصاري في حلة إزار ورداء قد أسبل فجعل النبي صلى الله عليه و سلم يأخذ بناحية ثوبه ويتواضع لله ويقول : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك حتى سمعها عمرو بن زرارة فالتفت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله إني أحمس الساقين فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا عمرو بن زرارة إن الله عز و جل قد أحسن كل خلقه يا عمرو بن زرارة إن الله لا يحب المسبلين ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بكفه تحت ركبة نفسه فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار
Artinya: “Dari Abu Umamah, ia berkata “ketika kami bersama Rasulullah, tiba-tiba Amr bin Zuroroh al-Anshori menyusul kami dengan menggunakan sarung dan mantel yang Isbal. Lalu Nabi menggamit ujung pakaiannya dan merendahkan diri kepada Allah seraya berdoa’ Hingga Amr bin Zuroroh mendengarnya dan menoleh kepada Nabi lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku ini kecil betisnya.’ Rasulullah berkata, ‘Wahai Amr bin Zuroroh. Sesungguhnya Allah telah membaguskan setiap ciptaanNya. Wahai Amr bin Zuroroh, sungguh Allah tidak suka orang-orang yang Isbal. Kemudian meletakkan telapak tangannya dibawah lututnya Dan berkata ‘Wahai Amr bin Zuroroh. Inilah posisi sarung.’ Lalu mengangkatnya, dan meletakkannya di bawahnya.” (H.R.At-Thobaroni)
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Nash-Nash larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap individu-individu tertentu yang mengesankan larangan Isbal secara mutlak harus difahami bahwa larangan Nabi terhadap mereka untuk melakukan Isbal adalah dikarenakan Nabi tahu berdasrkan Qorinah bahwa mereka melakukannya karena sombong.
Kesombongan seseorang dalam gerak-geriknya memang bisa dibaca dari Qorinah yang tampak, misalnya tahunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atas kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri dalam hadis berikut;
إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Artinya: “Dari Iyas bin Salamah bin Al Akwa’; Bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda: “kalau begitu kamu benr-benar tidak akan bisa” dia menolaknya karena sombong. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (H.R.Muslim)
Jadi larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang berkaki bengkok, ibnu Umar, Khuroim al-Asadi, ‘Amr bin Zuroroh dan yang semisal dengan mereka adalah dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui selinapan rasa Khuyala yang ada pada mereka sebagimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri. Rasulullah melarang Isbal kepada orang-orang yang beliau ketahui sombong, tetapi membolehkan Isbal kepada orang yang beliau ketahui tidak melakukannya karena sombong. Pembedaan perlakuan ini sama seperti pembedaan beliau terhadap seorang pemuda dan orangtua dalam kisah yang disebutkan dalam hadis berikut;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ لِلصَّائِمِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ. فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ.
Artinya: “dari Abu Hurairah bahwa seoerang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenainya, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (H.R.Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan lalaki tua mencumbu istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu lelaki tua tersebut sanggup menahan syahwatnya sehingga tidak sampai jimak yang membatalkan puasa, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang seorang pemuda untuk mencumbu istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu sang pemuda tersebut tidak akan sanggup menahan syahwatnya sehingga tidak sampai jimak yang membatalkan puasa. Pembedaan perlakuan ini menunjukkan bahwa rekomendasi Nabi itu disebabkan karena pengetahuan terhadap kondisi mukallaf yang berbeda.
Dalam kasus Isbal ini juga bisa difahami demikian. Oleh karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu individu-individu tertentu melakukan Isbal karena sombong maka beliau melarangnya, semntara individu yang beliau tahu dia melakukannya tidak karena sombong, beliau membolehkannya.
Yang menguatkan hal ini adalah adanya Qorinah hal dalam sebagian riwayat tersebut yang menunjukkan pengetahuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa shahabat yang dilarang Isbal itu mereka melakukannya karena disisipi perasaan yang tidak benar. Misalnya ibnu umar yang masih remaja dan sedang memakai pakaian baru, atau Amr bin Zuroroh yang Nabi memagang sebagian pakaiannya sambil merendahkan diri.
Kelima; hadis Jabir bin Sulaim menunjukkan bahwa Isbal itu termasuk kesombongan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatakan Abu Dawud dari Jabir bin Sulaim yang memiliki redaksi sebagai berikut;
عَنْ أَبِي جُرَيٍّ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ
رَأَيْتُ رَجُلًا يَصْدُرُ النَّاسُ عَنْ رَأْيِهِ لَا يَقُولُ شَيْئًا إِلَّا صَدَرُوا عَنْهُ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ عَلَيْكَ السَّلَامُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ لَا تَقُلْ عَلَيْكَ السَّلَامُ فَإِنَّ عَلَيْكَ السَّلَامُ تَحِيَّةُ الْمَيِّتِ قُلْ السَّلَامُ عَلَيْكَ قَالَ قُلْتُ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَنَا رَسُولُ اللَّهِ الَّذِي إِذَا أَصَابَكَ ضُرٌّ فَدَعَوْتَهُ كَشَفَهُ عَنْكَ وَإِنْ أَصَابَكَ عَامُ سَنَةٍ فَدَعَوْتَهُ أَنْبَتَهَا لَكَ وَإِذَا كُنْتَ بِأَرْضٍ قَفْرَاءَ أَوْ فَلَاةٍ فَضَلَّتْ رَاحِلَتُكَ فَدَعَوْتَهُ رَدَّهَا عَلَيْكَ قَالَ قُلْتُ اعْهَدْ إِلَيَّ قَالَ لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا قَالَ فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلَا عَبْدًا وَلَا بَعِيرًا وَلَا شَاةً قَالَ وَلَا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنْ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنْ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلَا تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Abu Jurai Jabir bin Sulaim ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang fikirannya dijadikan sandaran oleh orang banyak, dan ia tidak mengatakan sesuatu kecuali orang-orang akan mengikutinya. Aku lalu bertanya, “Siapakah dia?” orang-orang menjawab, “Ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” maka aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, ‘Alaika As Salam (semoga keselamatan bersamamu) ‘ wahai Rasulullah, sebanyak dua kali. Beliau bersabda: “Jangan engkau ucapkan ‘Alaika As Salam’, karena ‘Alaika As Salam adalah penghormatan dan salam untuk mayit. Tetapi ucapkanlah ‘As Salamu ‘Alaika’.” Jabir bin Sulaim berkata, “Aku lalu bertanya, “Apakah engkau utusan Allah?” beliau menjawab: “Ya, aku adalah utusan Allah, Dzat yang jika engkau tertimpa musibah, lalu engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan menghilangkannya darimu. Jika kamu tertimpa paceklik, lalu engkau berdoa maka Dia akan menumbuhkan (tanaman) bagi kamu. Jika engkau berada di suatu tempat yang luas hingga kendaraanmu hilang, lalu engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikannya kepadamu.” Jabir bin Sulaim berkata, “Lalu aku berkata, “Berilah kami perjanjian.” Beliau bersabda: “Jangan sekali-kali engaku cela orang lain.” Jabir bin Sulaim berkata, “Setelah itu aku tidak pernah mencela seorang pun; orang merdeka atau budak, unta atau kambing.” Beliau bersabda lagi: “Janganlah engkau remehkan perkara ma’ruf, berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah yang penuh senyum dan berseri, sebab itu bagian dari perkara yang ma’ruf. Angkatlah sarungmu hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua mata kaki. Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong. Jika ada seseorang yang mencela dan memakimu karena cela yang ia ketahui darimu, maka janganlah engkau balas memaki karena cela yang engkau ketahui padanya, karena hal itu akan memberatkannya (pada hari kiamat).” (H.R.Abu Dawud)
lafadz yang berbunyi;
Artinya: “Angkatlah sarungmu hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua mata kaki. Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong.”
Difahami bahwa Isbal termasuk kesombongan, dengan makna; orang yang berisbal pasti sombong. Oleh karena itu Isbal berdasarkan hadis Jabir bin Sulaim ini difahami haram secara mutlak, karena meskipun dilakukan karena sombong Nabi sendiri menyebut Isbal sudah merupakan kesombongan.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa orang melakukan Isbal pasti sombong bertentangan dengan pemahaman yang sehat sebagaimana tidak bisa diterima oleh realitas. Hal ini mirip seperti ungkapan; orang yang menangis pasti bersedih padahal realitasnya tidak selalu demikian. Secara realita, ada sebagian orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong misalnya orang yang kakinya luka kemudian ditutupi dengan kain panjang, atau memakai kaki palsu, atau kaki cacat dan semisalnya. Secara Nash, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dan Abubakar juga melakukan Isbal. Seandainya Isbal pasti menimbulkan kesombongan, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abubakar termasuk shahabat-shahabat yang lain dan Tabi’in yang shalih adalah orang-orang yang jauh dari hal tersebut.
Statemen Nabi yang berbunyi;
Artinya: “Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong.”
Maknanya adalah; Umumnya Isbal itu didorong perasaan sombong. Sesuatu yang berlaku secara umum memang secara bahasa boleh diungkapkan secara mutlak untuk menunjukkan keberlakuannya yang terjadi secara merata dan umum. Sebagaimana Alah melaknat dan mencela orang Yahudi yang disebutkan secara umum, hal ini tidak bermakna seluruh keturunan Yahudi dilaknat Alah, karena ada orang-orang tertentu yang dikecualikan dari kondisi umum itu karena mereka berbeda dengan kondisi umum, yakni memilih beriman kepada Allah dan RasulNya seperti sejumlah Shahahabat yang berasal dari Yahudi: Abdullah bin Salam, Ubay bin Ka’ab, dll. Allah berfirman;
Artinya: “orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Al-Maidah; 64)
maknanya bukan semua Yahudi pasti mengucapkan perkataan keji tersebut, tetapi sebagian dari mereka.
Hal yang sama ketika Nabi mengatakan bahwa Isbal termasuk kesombongan. Maknanya; umumnya Isbal di zaman beliau adalah dilakukan karena sombong, jadi jangan mengikuti mereka.
Keenam; Hadis ‘Alal Khobir Saqoth-ta menunjukkan bahwa larangan Isbal tidak memebedakan antara yang Muthlaq dengan Muqoyyad.
Abu Dawud meriwayatakan Hadis yang mengandung lafadz ‘Alal Khobir Saqoth-ta sebagai berikut;
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَال عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Artinya: “Dari Al ‘Ala bin ‘Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata, “Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kain sarung seorang Muslim sebatas setengah betis, dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki. Adapun apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R.Abu Dawud)
Riwayat Imam Malik berbunyi;
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ
عَنْ الْإِزَارِ فَقَالَ أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya: “Dari Al ‘Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya berkata; Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudri tentang pakaian. Dia menjawab; “Aku akan mengabarkan kepadamu dengan berdasarkan ilmu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Panjang sarung seorang mukmin adalah setengah betisnya, dan tidak mengapa jika panjangnya antara betis hingga kedua mata kaki. Jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka, jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka. Pada hari kiamat Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan sarungnya karena sombong.” (H..Malik)
lafadz yang berbunyi;
Artinya: “apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Difahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan keharaman Isbal baik karena sombong maupun tidak, kerena lafadz;
Artinya: “apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka.”
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal secara mutlak termasuk Isbal tanpa sombong, sementara lafadz;
Artinya: “Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Menunjukkan ancaman Isbal karena sombong.
Disatukannya dua ancaman tersebut dalam satu lafadz difahami berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan celaan terhadap Isbal baik dilakukan karena sombong maupun tidak.
Jawaban atas argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Disatukannya lafadz;
Dengan lafadz;
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal secara mulak. Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama, artinya, lafadz;
Artinya: “Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Menjelaskan lafadz;
Artinya: “apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka”
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong. Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
Artinya: “dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman;19)
maknanya; lafadz;
Artinya: “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”
Menjelaskan lafadz;
Artinya: “lunakkanlah suaramu”
Yang melarang bersuara keras. Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua hal karena lafadz kedua menerangkan dan membuat lebih jalas lafadz sebelumnya.
Ketujuh; hadis Ummu Salamah menunjukkan Ummu Salamah memahami larang Isbal itu mutlak.
At-Tirmidzi meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: “Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?” beliau menjawab: “Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal.” Ummu Salamah kembali menyelah, “Kalau begitu kaki mereka akan terlihat!” beliau bersabda: “Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih.” Abu Isa berkata, “Hadits ini derajatnya hasan shahih.” (H.R.At-Tirmidzi)
Argumen yang dipakai dengan memahami hadis di atas; Sendainya larangan Isbal tidak secara mutlak, tidak ada maknanya Ummu Salamah meminta penjelasan panjang pakaian wanita. Pertanyaan Ummu Salamah menunjukkan bahwa beliau memahami larangan Isbal itu mutlak yang berlaku bagi lelaki maupun wanita.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Hadis Ummu Salamah tidak menunjukkan bahwa Nabi melarang Isbal secara mutlak,karena maksud pertanyaan Ummu Salamah adalah permintaan solusi terkait wanita yang berisbal karena sombong dikaitkan dengan perintah Syara untuk menjaga kehormatan wanita. Jadi ada dua problem yang ingin dipecahkan; menghilangkan kesombongan karena Isbal dan menjaga aurot. Solusi dari Nabi adalah memberi izin Isbal sejengkal dari tengah betis dan maksimal sedepa dari tengah betis. Yang menguatkan pemahaman ini adalah adanya lafadz “Khuyala” pada hadis tersebut. Oleh karena itu pertanyaan Ummu Salamah bermakna permintaan solusi terhadap wanita yang berisbal yang disisipi sombong sementara pada sisi yang lain dia juga harus menjaga kehormatannya sebagai wanita, dengan semaksimal mungkin berusaha menutupi tubuh.
Adapun alasan bahwa Isbal itu haram secara mutlak karena termasuk Madhinah Khuyala’ (area yang menjadi tempat dugaan adanya kesombongan), Isrof (melampaui batas) Madhinnah Najasat (area yang menjadi tempat dugaan adanya najis), dan Tasyabbuh terhadap wanita, maka alasan-alasan ini tidak bisa diterima karena bukan alasan yang dinyatakan oleh Nash terkait dengan topik Isbal, bukan yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Ta’lil yang tidak ditopang dalil, dan tidak sesuai dengan maksud Nash yang dijadikan dasar. Semua alasan ini terbantahkan dengan izin Isbal terhadap Abubakar dan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri, termasuk shahabat-shahabat dan Tabi’in besar yang lain.
Sampai disini, kembali pada kesimpulan awal, yakni; Isbal yang dilakukan tanpa sombong hukumnya Mubah berdasarkan sejumlah argumentasi yang telah dipaparkan di atas. Pendapat yang mengatakan Isbal haram secara mutlak meski tanpa sombong telah ditunjukkan sisi-sisi kelamahannya.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Makruh dengan mendasarkan hadis Abubakar, maka penjelasan ini sulit diterima, karena jika memang Isbal tanpa sombong hukumnya Makruh, tentu Nabi tidak akan merekomendasikan Makruh kepada Abubakar. Izin Nabi kepada Abubakar untuk berisbal tanpa sombong menunjukkan hukum Mubah bukan Makruh.
Demikian pula jika dalil yang dipakai adalah Hadis Jabir bin Sulaim untuk menunjukkan makruhnya Isbal tanpa sombong. Penjelasan ini juga sulit diterima, karena jika kita penerimaan kandungan hadis Jabir bin Sulaim jika difahami larangan Muthlaq, maka penerimaan tersebut mengharuskan penerimaan bahwa Isbal haram secara Muthlaq. Sementara jika memahami hadis tersebut adalah Nash Muthlaq yang ditaqyid kesombongan, maka hal ini mengharuskan penerimaan bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi Mubah bukan Makruh. Lagipula, memahami Makruh bertentangan dengan praktek yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll
Jika Isbal dilakukan karena sombong maka jelas tanpa ada perselisihan berdasarkan Nash-Nash sebelumnya hukumnya haram. Sebagian ulama seperti Ad-Dzahabi dalam Al-Kaba-ir, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathul Bari, dan Ibu Hajar Al-Haitami dalam Azzawajir ‘An Iqtirof Al-Kabair malah menggolongkannya dalam dosa besar (Al-Kaba-ir). Adapun yang berpendapat bahwa Isbal dengan sombong hanya Makruh saja, maka pendapat ini terbantahkan dengan ancaman Neraka yang begitu jelas dalam Nash yang tidak bermakna lain selain haram.
Isbal yang disertai kesombongan haram bukan hanya pada Izar (sarung/kain bawahan), tetapi berlaku juga pada gamis, sorban dan semua asesoris tubuh yan memicu munculnya perasaan sombong. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
قَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَغْرَبَهُ
Artinya: “Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim dari Ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Isbal itu terdapat juga pada kain sarung (celana), pakaian (gamis) dan surban. Barangsiapa memanjangkan sesuatu (seperti tadi) dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak.” Abu Bakar berkata; “Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas.” (H.R.Ibnu Majah)
Bukhari juga meriwayatkan;
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ لَقِيتُ مُحَارِبَ بْنَ دِثَارٍ عَلَى فَرَسٍ وَهُوَ يَأْتِي مَكَانَهُ الَّذِي يَقْضِي فِيهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَحَدَّثَنِي فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا قَمِيصًا
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; saya berjumpa Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu tanyaku kepada Muharib; “Apakah beliau menyebutkan kain sarung?” dia menjawab; “Beliau tidak mengkhususkan kain sarung ataukah jubah.” (H.R.Bukhari)
Pengecualian kebolehan bersikap sombong hanya dalam satu kondisi yaitu saat perang berdasarkan hadis berikut;
عَنِ ابْنِ جَابِرِ بْنِ عَتِيكٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَإِنَّ مِنْ الْخُيَلَاءِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ الَّتِي فِي الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ بِنَفْسِهِ عِنْدَ الْقِتَالِ وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَ الصَّدَقَةِ وَالْخُيَلَاءُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ فِي الْفَخْرِ وَالْبَغْيِ
Artinya: “Dari Ibnu Jabir bin ‘Atik dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah dan diantara sikap sombong itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah, cemburu yang disukai Allah adalah cemburu dalam keraguan dan yang dibenci Allah adalah cemburu diluar keraguan, sedangkan sikap sombong yang disukai Allah sombongnya seorang hamba untuk Allah saat perang dan sombong dengan sedekah, sedangkan sombong yang dibenci Allah adalah sombongnya seseorang dalam kebanggaan dan kekejian.” (H.R.Ahmad)
Ulama-Ulama Yang Berpendapat Isbal Tanpa Sombong Hukumnya Mubah
Berikut ini didaftarkan nama-nama ulama yang berpendapat bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Mubah. Diantara mereka adaah Abu Hanifah. Ibnu Muflih berkata dalam Al-Adab As-Syar’iyyah;
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ ، وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
Artinya: “Penulis kitab al Muhith dari ulama Hanafiyah menyatakan; telah diriwayatkan bahwasanya Abu Hanifah mengenakan mantel yang mahal seharga 400 dinar. Dan beliau memanjangkannya hingga terseret di atas tanah. Lalu ditanyakan kepadanya, “Bukankah kita dilarang untuk itu?” Ia berkata, “Larangan itu hanyalah untuk yang memiliki kesombongan. Dan kami bukan termasuk dari mereka.” Dan syaikh Taqiyuddin memilih ketiadaan pengharamannya. Beliau tidak berani untuk memakruhkannya maupun tidak memakruhkannya.” (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk juga (konon) Imam Ahmad dalam satu riwayat;
وَقَالَ-يقصد أحمد بن حنبل- فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَقَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا { مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ } لَا يَجُرُّ شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا التَّحْرِيمُ ، فَهَذِهِ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ
Artinya: “Ahmad bin Hanbal berkata dalam suatu riwayat Hanbal, “Menyeret sarung, jika tidak karena sombong, maka tidak mengapa.” Dan ini adalah perkataan yang jelas dari banyak dari para Ulama semadzhab. Ahmad berkata, “[Apa yang berada di bawah mata kaki, adalah di Neraka.] Maksudnya adalah tidak menyeret suatu apapun dari pakaiannya. Ini jelas pengharaman. Inilah tiga riwayat.” (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk pula Al-Baji, ulama bermadzhab maliki;
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ يَقْتَضِي تَعَلُّقَ هَذَا الْحُكْمِ بِمَنْ جَرَّهُ خُيَلَاءَ أَمَّا مَنْ جَرَّهُ لِطُولِ ثَوْبٍ لَا يَجِدُ غَيْرَهُ أَوْ عُذْرٍ مِنْ الْأَعْذَارِ فَإِنَّهُ لَا يَتَنَاوَلُهُ الْوَعِيدُ
Artinya: “Perkataan Nabi “Orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” meniscayakan kaitan antara hukum ini dengan orang yang melakukannya karena sombong. Adapun orang yang menyeretnya karena panjangnya pakaian karena tak punya pakaian selain itu, atau karena suatu udzur, maka ia tidak akan mendapat adzab.” (Al-Muntaqo, Syarah Al-Muwattho, vol.4 hlm.310)
Termasuk pula Ar-Ruhaibani;
( فَإِنْ أَسْبَلَ ) ثَوْبَهُ ( لِحَاجَةٍ : كَسِتْرِ ) سَاقٍ ( قَبِيحٍ ، وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ ) عَلَى النِّسَاءِ : ( أُبِيحَ )
Artinya: “(dan jika ia menjulurkan) pakaiannya (untuk kebutuhan tertentu: seperti menutupi) betis (yang buruk, tidak dalam rangka sombong atau menyembunyikan sesuatu) dari wanita: maka boleh.” (Matholib Uli An-Nuha, vol.2 hlm 363)
Termasuk pula Al-Hakim At-Tirmidzi;
وعامة الأحاديث التى جاءت عن جر الإزار، إنما تدل على أن النهى مع الشرط، قال:)من جر الإزار خيلاء(؛ فدل هذا على أن النهى عن جر الإزار إذا كان خيلاء.
Artinya: “Umumnya hadits yang ada terkait dengan menyeret sarung, hanyalah menunjukkan atas larangan dengan syarat [Barang siapa yang menyeret sarung karena sombong]. Dan ini menunjukkan bahwa larangan tersebut adalah larang untuk menyeret sarung jika dalam rangka kesombongan.” (Al-Manhiyyat, hlm 7)
Termasuk pula Abu ‘Awanah;
بيان الأخبار الناهية عن جر الرجل إزاره بطرا وخيلاء والتشديد فيه والدليل على أن من لم يرد به خيلاء لم تكن عليه تلك الشدة
Artinya: “Penjelasan hadits-hadits yang melarang para lelaki untuk menyeret sarungnya dalam rangka sombong dan angkuh serta penyangatan di dalam pelarangannya, menunjukkan bahwa orang yang melakukannya tidak dalam rangka sombong, tidak termasuk dalam pelarangan yang sangat tersebut” (Musnad Abu ‘Awanah, vol.5 hlm 244)
Termasuk Abu Hatim sang kritikus hadis;
قال أبو حاتم الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن بإسبال الإزار بأس
Artinya: “Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung.” (Shahih Ibnu Hibban)
Termasuk pula As-Syaukani;
وظاهر التقييد بقوله ( خيلاء ) يدل بمفهومه أن جر الثوب لغير الخيلاء لا يكون داخلا في هذا الوعيد
Artinya: “Pembatasan yang jelas dengan perkataan “kesombongan” menunjukkan bahwa pemahamannya adalah menyeret pakaian tanpa disertai kesombongan tidak termasuk dalam ancaman ini.” (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
وبهذا يحصل الجمع بين الأحاديث وعدم إهدار قيد الخيلاء المصرح به في الصحيحين
Artinya: “Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara hadits-hadits tanpa perlu menyia-nyiakan Qoid sombong yang dinyatakan dengan jelas dalam Shahih Bukhari dan Muslim” (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk pula Al-Munawi;
(والمسبل إزاره) الذي يطول ثوبه ويرسله إذا مشى تيها وفخرا (خيلاء) أي يقصد الخيلاء بخلافه لا بقصدها ولذلك رخص المصطفى صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء
Artinya: “(والمسبل إزاره) adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan menjulurkannya ketika ia berjalan dengan kesombongan dan kebanggaan.”
(خيلاء) maksudnya adalah melakukannya dengan sombong yang berbeda dengan tidak dalam rangka sombong, oleh karena itu Nabi telah memberikan keringanan kepada Abu Bakr ketika menyeretnya bukan karena kesombongan. (Faidh Al-Qodir, vol.3 hlm 436)
Termasuk pula Al-Iroqi;
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Aertinya: “Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwasanya apa yang di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka, maksudnya adalah selama itu dalam rangka kesombongan; Karena mutlak, maka harus dibawa kepada yang muqoyyad” (Thorhu At-Tatsrib, vol.9, hlm 34)
Termasuk pula Assindy;
لا يكلمهم الله الخ كناية عن عدم الالتفات إليهم بالرحمة والمغفرة المسبل من الإسبال بمعنى الارخاء عن الحد الذي ينبغي الوقوف عنده والمراد إذا كان عن مخيلة والله تعالى أعلم
Artinya: “Allah tidak mengajak bicara (hingga akhir hadits) merupakan kinayah tentang ketiadaan pandangan terhadap mereka dengan pandangan kasih sayang dan ampunan. Musbil adalah dari kata Isbal yang artinya penjuluran yang melebihi batas yang seharusnya. Maksudnya adalah jika hal itu karena kesombongan. Allahu a’lam.” (Hasyiyah As-Sindy, vol.5 hlm, 51)
Termasuk pula As-Suyuthi;
المسبل إزاره المرخي له الجار طرفيه خيلاء فهو مخصص بالحديث الآخر لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء وقد رخص صلى الله عليه وسلم في ذلك لابي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء
Artinya: “المسبل إزاره adalah yang menjulurkannya dan menyeret kedua ujungnya dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan oleh hadits yang lain “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” dan Rasulullah memberikan keringanan dalam hal itu untuk Abu Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan.” (Ad-Dibaj ‘Ala Muslim, vol.1 hlm 120)
Termasuk pula Abdurrahman Al-Bassam;
Artinya: “Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al bassam berkata, “Sesungguhnya Kaidah Ushul Hamlul Muthlaq ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. As–Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman.”(Taudhih Al-Ahkam min Bulughi Al-marom)
Demikian pula Bukhari sebagaimana tercermin dari penempatan judul khusus tentang Isbal tanpa sombong, Yusuf Al-Qordhowi, dll. Imam As-Syafi’I dan Ibnu Hajar memungkinkan pula ditafsiri condong dengan pendapat ini dilihat dari statemen beliau berdua.
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Mubah, dan jika disertai kesombongan maka termasuk haram bahkan dosa besar. Pendapat bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi Mubah dianut oleh sejumlah ulama besar yang termasuk bukan ulama sembarangan dan menjadi rujukan umat sepanjang masa.
Namun hal ini tidak berarti bolehnya mengejek pendapat yang mengatakan bahwa Isbal haram secara mutlak,karena pendapat ini juga dinyatakan oleh ulama-ulama berilmu juga seperti Ad-Dhohiry, Qodhi ‘Iyadh, Ibnu Al-‘Aroby, Ad-Dzahaby,As-Shon’ani yang diikuti oleh sejumlah ulama kontemporer bin Baz, Al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat yang mengharamkan Isbal secara mutlak harus dihormati sebagai salah satu ijtihad dalam ijtihad Fikih.
Penghormatan yang sama juga diberikan kepada yang berpendapat bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi makruh. Pendapat ini juga dinyatakan ulama-ulama besar seperti Ibnu Abdil Barr, An-Nawawi, Ibnu Qudamah dll.
Pendeknya, tidak ada celaan dalam ijtihad selama ijtihad itu dilakukan dengan kaidah-kaidah Istinbath (penggalian hukum) yang Shahih. Semua ijtihad terpuji meskipun salah. Namun ijtihad yang benar tetap lebih utama daripada ijtihad yang salah. Manapun dari penjelasn hukum tentang Isbal tanpa sombong yang benar di sisi Allah, baik yang berpendapat haram mutlak, makruh maupun Mubah semuanya terpuji dan setiap mukallaf hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya paling kuat dan paling dekat dengan kebenaran. Wallahua’lam.
Sumber disini
4 Comments
Yudhi
Dear admin,
Tolong untuk buatkan sebuah artikel tentang : kembali ke quran & sunnah , apa & bagaimana?
Syukran .
Admin
Terima kasih mas Yudhi telah mengunjungi Web kami
Semoga ada peristiwa yang membuat topik tersebut perlu segera diprioritaskan untuk didalami dan dikupas…
Qiqi
Assalamua’alaikum
Saya ingin bertanya, bagaimana dengan hukum tashwir (gambar makhluk hidup)? Saya pernah membaca artikel terjemahan fatwa yang berbeda dari 2 lembaga (mohon dikoreksi jika salah), lembaga fatwa dari Arab Saudi menyatakan bahwa mutlak haram (pengecualian untuk darurat), sedangkan satunya lagi lembaga fatwa Mesir menyatakan boleh dengan persyaratan tertentu. Bagaimana saya sebagai orang awam menyikapi fatwa dan pendapat ulama mengenai hukum tashwir ini?
Terima kasih.
Admin
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Silakan diikuti fatwa ulama yang dipandang lebih berilmu dan bertakwa di antara dua fatwa yang berbeda tadi.