Dijawab oleh: Ust. Muafa
Pertanyaan
Bisakah kita menikah secara hukum bila calon suami kita telah menikah, apa hukum Nikah Siri?
Nama : Alenia
Email : aleniakanahaya@yahoo.com
Alamat : Surabaya
Jawaban
Boleh hukumnya dalam Syariat Islam bagi seorang wanita untuk menikah dengan lelaki yang telah menikah/beristri. Hal itu dikarenakan, menikah dengan seorang lelaki yang telah beristri bermakna lelaki tersebut hendak melakukan poligami, sementara poligami dihalalkan oleh Islam. Allah berfirman;
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;3).
Perintah Allah untuk menikahi wanita manapun yang disenangi sebanyak dua,tiga dan empat adalah dalil jelas bahwa Allah mengizinkan lelaki menikah lebih dari satu, artinya Allah mengizinkan lelaki berpoligami.
Hanya saja, jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi adalah empat orang, karena ayat di atas membatasi jumlah wanita hanya sampai empat. Jika seorang lelaki menikahi wanita lebih dari empat, maka istri yang kelima, keenam dst itu pernikahannya tidak sah dan tidak bisa dihukumi sebagai istri yang Syar’i.
Tidak ada Syarat adil dalam poligami, dengan makna; suami hanya sah poligaminya jika sanggup adil kepada seluruh istri-istrinya termasuk dalam masalah kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri. Adil bukan Syarat sah poligami, tetapi adil adalah hukum syara yang menjadi Atsar (akibat/konsekuensi) dari Akad pernikahan poligami yang wajib dilakukan jika seorang lelaki berpoligami. Perbedaan antara Syarat dengan Atsar adalah; Syarat mempengaruhi keabsahan Akad, sementara Atsar adalah konsekuensi dari Akad. Ijab-Qobul misalnya, adalah Syarat sah Akad, sementara kewajiban memberi nafkah, kewajiban berbuat adil bagi lelaki yang poligami, kewajiban membayar mahar dll adalah contoh Atsar dari Akad nikah. Jadi, tidak ada Syarat adil bagi lelaki yang hendak berpoligami.
Adapun lanjutan ayat di atas yang berbunyi;
Kemudian Jika Kamu Takut Tidak Akan Dapat Berlaku Adil, Maka (Kawinilah) Seorang Saja
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa adil adalah Syarat sah poligami, tetapi hanya menunjukkan anjuran menikah dengan satu istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil.
Adil yang menjadi kewajiban lelaki berpoligami bukanlah keadilan mutlak yang meliputi segala hal, karena hal ini mustahil dilakukan. Keadilan yang dituntut adalah keadilan yang ada dalam batas kemanusiaan, misalnya dalam hal nafkah, waktu bermalam, ajakan keluar rumah dll. Adapun kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri, maka hal ini diluar kemampuan manusia, karena itu tidak ada tuntutan berbuat adil pada dua hal ini.
Dalam berpoligami juga tidak disyaratkan izin istri yang telah ada, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Poligami Rasulullah ﷺ juga menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan beliau tanpa meminta izin istri sebelumnya, bahkan hanya sekedar bermusyawarah atau meminta pertimbangan.
Demikianlah ketentuan poligami dalam Syariat Islam. Dengan mengaca pada sejarah dan biografi Rasulullah ﷺ dan para Shahabatnya, tampaklah bahwa poligami dimasa beliau bukan sesuatu yang aneh atau di anggap aib. Rasulullah ﷺ sendiri telah berpoligami. Sepeninggal Khadijah beliau menikah dengan Aisyah binti Abubakar,Saudah binti Zam’ah, Hafshoh binti ‘Umar, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Shofiyyah bintu Huyai, Maimunah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Juwairiyah binti Al-Harits. Semua wanita ini hidup bersama Rasulullah ﷺ karena beliau memang memiliki kekhususan boleh menikah lebih dari empat wanita.
Abu Bakar As-Shiddiq juga berpoligami. Beliau menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza (kemudian diceraikan), Ummu Ruman, Ummu Bakr, Habibah binti Kharijah, dan Asma binti ‘Umais.
Umar juga demikian, wanita-wanita yang tercatat pernah menjadi istrinya ; Zainab binti Madh’un, Ummu Kaltsum binti ‘Ali, Jamilah binti ‘Ashim, Mulaikah binti Jarwal, ‘Atikah binti Zaid, dan Ummu Hakim binti Al-Harits.
Utsman bin ‘Affan setelah menikah dengan putri Rasulullah ﷺ yaitu Ruqoyyah dan Ummu Kaltsum, beliau menikah dengan Fathimah binti Ghozwan, Fathimah binti Al-Walid, Ummul Banin binti ‘Uyainah, Romlah binti Syaibah, Nailah binti Al-Farafishah.
Ali bin Abi Thalib sepeninggal Fathimah putri Rasulullah SAW , menikahi Khoulah binti Iyas, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin binti Hizam, Asma binti Umais (dinikahi setelah Abubakar wafat), Umamah binti Abi Al-‘Ash, Ummu Sa’d binti ‘Urwah.
Jadi, Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpoligami. Bukan hanya mereka, Shahabat-Shahabat yang dijamin masuk surga yang lain juga dikenal berpoligami. Thalhah bin ‘Ubaidillah menikah dengan sembilan wanita, Az-Zubair bin Al-‘Awwam menikahi enam wanita, Sa’ad bin Abi Waqqosh menikahi sebelas wanita, bahkan Abdurrahman bin Auf pernah menikahi duapuluh wanita! Semua informasi ini bisa kita dapatkan dengan mudah dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) dan biografi seperti Tarikh At-Thobari, At-Thobaqot Al-Kubroa Ibnu Sa’ad, Siyaru A’lamin Nubala dll.Tentu saja jumlah istri Shahabat yang lebih dari empat tidak dihimpun dalam satu waktu. Jumlah istri yang dipoligami dalam satu waktu tetap tidak lebih dari empat. Hanya saja wanita yang tercatat pernah menikah dengan mereka lebih dari empat karena diantara mereka ada yang wafat dan adapula yang dicerai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa poligami dimasa Rasulullah ﷺ dan Shahabat adalah sesuatu yang biasa, wajar, tidak aneh dan bukan aib. Malah lebih dekat kepada Sunnah yaitu memperbanyak keturunan.
Poligami tidak bertentangan dengan ketakwaan, hidup zuhud, tugas dakwah dan semisalnya asalkan dilaksanakan dengan niat yang benar dan cara yang syar’i, bukan semata-mata pemuasan syahwat hewani.
Dalam sistem undang-undang dan hukum diindonesia, poligami juga tidak dilarang. Namun harus diakui poligami dalam sistem hukum di indonesia “ditekan” dan di izinkan tetapi dengan cara yang ketat apalagi para pegawai negeri (PNS). Aturan tentang poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1/ 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,dan surat Edaran kepala BAKN nomor 08/SE/1983 jo Surat Edaran kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Namun, dalam pandangan Syariat , semua ketentuan hukum di Indonesia ini tidak mengikat seorang Muslim sama sekali.
Adapun Nikah Siri /Nikah di bawah tangan, maka pernikahan ini juga sah secara Syar’i asalkan memenuhi Syarat dan Rukun Nikah. Hal itu dikarenakan pengertian Nikah Siri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA (kantor urusan agama) saja. Jadi, Nikah Siri adalah pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat oleh negara. Kelemahan Nikah Siri dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak pada tidak diperolehnya hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah, pengasuhan anak, dll jika persoalan rumah tangga diajukan ke pengadilan di Indonesia.
Namun, apabila yang dimaksud Nikah Siri adalah pernikahan tanpa Wali, padahal Wali masih ada dan hak perwaliannya tidak gugur, maka pernikahan Siri seperti itu Fasid (rusak) dan harus diulang. Kedudukannya sama dengan orang yang menikah tanpa saksi, atau menikahi wanita dalam masa Iddah. Wallahu’alam.
Sumber disini