Oleh Ust. Muafa
Selain Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, pakar hadis yang tidak bisa diremehkan jasanya dalam menyokong madzhab Asy-Syafi’i adalah Ibnu Al-Mulaqqin yang mengarang kitab berjudul Al-Badru Al-Munir.
Untuk memperoleh gambaran bagaimana peran kitab ini dalam mendukung madzhab Asy-Syafi’i , marilah kita ulas secara ringkas sejarah perkembangan dan pematangan madzhab Asy-Syafi’i.
Di masa hidup Asy-Syafi’i, kendati beliau adalah mujtahid muthlaq yang dalam membahas persoalan sangat detail, mendalam dan komprehensif (yang secara alami nantinya akan membentuk madzhab), tetapi persoalan-persoalan yang beliau bahas adalah persoalan yang terjadi di zaman itu atau yang diprediksikan terjadi sejauh kemampuan beliau dalam memprediksi.
Lalu ilmu Asy-Syafi’i diserap dan disebarkan murid-muridnya, baik yang berada di Baghdad maupun Mesir hingga ijtihad Asy-Syafi’i menyebar luas ke berbagai daerah.
Ulama-ulama yang menerima ijtihad dan metode istinbath Asy-Syafi’i kemudian memperluas pembahasan fikih pada persoalan-persoalan baru yang terjadi pada zamannya atau yang diprediksikan akan terjadi. Akhirnya muncullah ijtihad-ijtihad baru yang belum pernah dikemukakan Asy-Syafi’i, tetapi dimunculkan oleh ulama bermadzhab Asy-Syafi’i dengan memakai kaidah-kaidah istinbath rumusan Asy-Syafi’i. Ijtihad baru ini di masa belakangan diistilahkan dengan nama wajhun (الوجه) yang dijamakkan menjadi wujuh (الوجوه) atau aujuh (الأوجه).
Semakin hari semakin banyak dan kaya ijtihad-ijtihad baru ini, sampai membentuk dua aliran besar dalam madzhab Asy-Syafi’i, yakni aliran Baghdad/Irak (baghdadiyyun/iroqiyyun) dan aliran Khurosan (khurosaniyyun). Selengkapnya di artikel Dua Aliran Syafi’iyyah Khurosaniyyun dan Iraqiyyun
Tentu saja masing-masing ulama syafi’iyyah akan mengklaim bahwa ijtihad-ijtihad barunya adalah pendapat yang paling tepat atau paling mendekati dengan kaidah dan ushul istinbath Asy-Syafi’i. Bagi orang awam, jika mengkaji langsung tulisan-tulisan ulama syafi’iyah mutaqoddimin itu, bisa jadi mereka akan kebingungan karena berhadapan dengan kesimpangsiuran terkait mana pendapat madzhab yang paling benar.
Hal ini ditambah lagi kenyataan bahwa sebagian ulama syafi’iyyah meriwayatkan Asy-Syafi’i berpendapat A dalam satu kasus tertentu sementara ulama yang lain meriwayatkan B, C, dan seterusnya. Ini semakin membuat simpang siur dan membingungkan.
Maka, pada Abad ke-7 H bangkitlah salah satu ulama Syafi’iyyah bernama Ar-Rofi’i (wafat tahun 623 H) yang melakukan penelitian besar-besaran dan kajian serius untuk mengurai keruwetan tersebut. Beliau melakukan tahqiq, tanqih, taqrir, tahlil, dan tahrir dengan meneliti hampir seluruh karya-karya ulama syafi’iyyah mutaqoddimin untuk menemukan mana pendapat yang rajih/terkuat dan yang paling sesuai/mendekati ushul fikih Imam Asy-Syafi’i. Hasil penelitiannya ditulis dalam karya besarnya yang berjudul Al-Fathu Al-‘Aziz (الفتح العزيز) atau disebut juga Asy-Syarhu Al-Kabir (الشرح الكبير).
Kitab Al-Fathu Al-‘Aziz itu sendiri sebenarnya ditulis sebagai syarah kitab karya Al-Ghazzali yang bernama Al-Wajiz (الوجيز). Al-Wajiz adalah versi ringkas dari kitab Al-Ghazzali yang lain yang bernama Al-Wasith (الوسيط). Al-Wasith adalah versi ringkas dari kitab Al-Ghazzali yang lain yang bernama Al-Basith (البسيط). Al-Basith sendiri adalah bentuk ringkasan dari kitab Al-Juwaini yang bernama Nihayatu Al-Mathlab (نهاية المطلب). Nihayatu Al-Mathlab adalah syarah dari kitab Mukhtashor Al-Muzani karangan murid Asy-Syafi’i di Mesir yang bernama Al-Muzani. Mukhtashor Al-Muzani adalah ringaksan ilmu Asy-Syafi’i ketika Al-Muzani berguru kepada Asy-Syafi’i kira-kira selama 4 tahun.
Jadi kitab Al-Fathu Al-‘Aziz secara kasar bisa kita katakan adalah kitab yang merangkum hampir seluruh perkembangan ilmu dan ijtihad madzhab Asy-Syafi’i semenjak masa murid-murid Asy-Syafi’i sampai awal abad ke 7 H. Bukan hanya merangkum, tetapi kitab itu juga memberikan tarjih (pemilihan pendapat) jika menemukan ikhilaf internal di kalangan ulama Syafi’iyyah.
Hanya saja, kelemahan kitab-kitab fikih adalah fokus ke hukum sehingga penelitian validitas riwayat kadang tidak dilakukan mendalam. Karena itu wajar, pada kitab-kitab fikih besar seperti Nihayatu Al-Mathlab karangan Al-Juwaini atau Al-Hawi Al-Kabir karangan Al-Mawardi masih ditemukan riwayat-riwayat dhoif, bahkan yang tidak ada asalnya.
Di sinilah jasa Ibnu Al-Mulaqqin.
Beliau ambil kitab Al-Fathu Al-Aziz itu, beliau kumpulkan seluruh hadis yang ada di dalamnya, termasuk atsar-atsar, lalu beliau takhrij sedetail-detailnya sampai pada kesimpulan hukum apakah riwayat tersebut sahih, hasan, maudhu’ dan lain-lain.
Meskipun beliau bermadzhab Asy-Syafi’i, tetapi beliau membahasnya dengan penuh keobyektifan, keadilan, dan amanah ilmiah. Mana yang lemah beliau katakan lemah, mana yang kuat beliau katakan kuat.
Karya beliau inilah yang diberi nama Al-Badru Al-Munir Fi Takhriji Al-Ahadits Wa Al-Atsar Al-Waqi’ah Fi Syarhi Al-Kabir.
Karena itu, bagi pembelajar madzhab Asy-Syafi’i, jika Allah memberi kenikmatan mengkaji kitab-kitab fikih Syafi’iyyah yang sudah berisi penjelasan dalil (meskipun ringkas), semisal kitab Kifayatu Al-Akhyar karangan Al-Hishni atau At-Tadzhib Fi Adillati Matni Al-Ghoyah Wa At-Taqrib karangan Mushthofa Dib Al-Bugho, kemudian ingin mengetahui takhrij lengkap riwayat yang disebutkan dalam kitab tersebut, maka kitab Al-Badru Al-Munir karangan Ibnu Al-Mulaqqin ini adalah di antara rujukan yang direkomendasikan.
Wallahu a’lam