Ali bin Nayif Asy-Syahud dalam kitabnya, “Al-Mufasshol Fi Fiqhi Ad-Dakwah” menyarankan agar para dai membekali diri dengan pengetahuan sejarah di samping ilmu-ilmu syar’i.
Sekilas saran ini terlihat sederhana. Namun, jika diperhatikan hal ihwal dakwah di dunia Islam akhir-akhir ini, nampaklah bahwa diabaikannya pengetahuan sejarah oleh sejumlah dai ternyata berdampak cukup serius dalam menimbulkan fitnah di kalangan awam dan orang-orang di luar Islam yang berpotensi diajak masuk Islam.
Bagaimana analsisisnya?
Mari kita perhatikan sejarah singkat Eropa.
Agama dan Sains di Eropa
Tidak bisa kita pungkiri, Barat di zaman sekarang tampil sebagai umat yang maju dalam bidang sains dan teknologi. Mereka menjadi mercusuar dunia. Dominasi kemajuan IPTEK ini membuat segala apa pun yang berasal dari Barat dianggap baik dan layak diadopsi, termasuk oleh negeri-negeri muslim.
Tetapi sebelum masa kemajuan itu, sesungguhnya Barat melalui masa pergulatan.
Pertarungan antara golongan agama dan golongan filosof-ilmuwan.
Sudah lama para filosof-ilmuwan itu meronta-ronta dari belenggu pemuka agama Kristen dan ingin membebaskan diri. Agama dianggap menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
Kasus Galileo Galilei adalah contoh telanjangnya. Hanya karena sang ilmuwan membuktikan bahwa matahari adalah pusat tata surya, maka dia dihukum gereja karena dianggap penganut aliran sesat, ahlul bid’ah (heresy),dan perusak agama.
Di saat seperti ini, Feuerbach masuk.
Filosof Jerman ini menggagas sebuah pemikiran yang menganalisis agama dihubungkan dengan kemajuan. Dia menyimpulkan bahwa sebenarnya semua doktrin agama hakikatnya hanyalah ide, bukan kenyataan. Konsepsi tuhan hanya ide, akhirat hanya ide, surga adalah ide, neraka hanya ide, takdir hanya ide, malaikat hanya ide, setan hanya ide, dan semua hal yang gaib adalah ide. Semuanya adalah ide yang diciptakan manusia. Mengapa manusia menciptakan ide-ide doktrin agama itu? Manusia menciptakan ide tentang doktrin agama untuk digunakan sebagai pelarian dan menghibur diri ketika manusia tidak sanggup menyelesaikan problematika kehidupannya.
Ketika dia dijajah lalu melawan lalu gagal, bangkit lagi melawan lalu gagal, bangkit lagi melawan lalu gagal, lama-lama dia putus asa kemudian mengatakan “Ya sudah, tidak mengapa aku dijajah. Aku sabar saja karena tuhan cinta orang-orang yang sabar. Biarlah penjajahku yang zalim itu nanti dimasukkan tuhan ke dalam neraka dan biarlah aku yang sabar ini dimasukkan tuhan ke dalam surga”. Kata Feuerbach, yang seperti ini adalah cerminan orang yang lari dari kenyataan lalu menghibur diri agar tetap bisa melanjutkan kehidupan dan tidak bunuh diri karena putus asa.
Ide Feuerbach ini disambut gegap gempita oleh umumnya ilmuwan dan filosof Eropa. Sejarah mencatat, Karl Marx mengagumi konsepsi bahwa “tuhan hanya ide” ini, lalu menempanya lebih tajam lagi sehingga lahir ateisme yang lebih filosofis di tangannya.
Eropa pada umumnya juga sepakat dengan ide ini. Meskipun tidak sekstrim Karl Marx, tetapi mereka mulai berusaha menyingkirkan peran agama dalam kehidupan. Akhirnya ditemukanlah bentuk komprominya: Sekulerisme. Ide ini seakan-akan mengatakan, “Kalau mau beragama silakan, tetapi batasi agamamu di ruang privat. Jangan bawa agama di ruang publik. Agama haram masuk dalam pembahasan Sains dan teknologi”.
Sejarah kemudian menyaksikan ledakan pengetahuan di Barat baik dalam bidang Sains/IPTEK maupun ilmu-ilmu sosial. Mereka semakin yakin, bahwa agama adalah biang kerok kemunduran mereka selama ini.
Andai saja kita imajinasikan mereka bernostalgia, kira-kira mereka akan mengatakan seperti ini,
“…Dulu, kami di masa kegelapan, setiap kali ada orang sakit kami selalu menuduh setan penyebabnya. Kami menganggap pasien dimasuki roh jahat, jin, iblis dan bangsa-bangsa gaib semisalnya. Akibatnya, kami selalu memanggil para pendeta untuk “meruqyah’ dan membacakan ayat-ayat injil untuk mengusir setan. Dengan begitu kami membuat tokoh-tokoh agama itu semakin kaya dan menumpuk emas. Setelah kami buang doktrin tentang agama, setelah kami tinggalkan kepercayaan tentang tuhan, setan, jin, surga, neraka, dan akhirat maka kami mulai berani menyelidiki hakikat sebenarnya mengapa orang sakit. Kami mulai melakukan eksperimen, penelitian, dan penyelidikan. Kami catat, kami tulis, kami bandingkan, kami diskusikan dan kami ujicobakan. Akhirnya, dengan penelitian-penelitian tersebut kami menjadi tahu bahwa penyebab orang sakit bukanlah jin dan juga bukan setan. Yang menyebabkan orang sakit adalah virus, bakteri, kuman, kolesterol menumpuk, kurang gizi dan seterusnya. Dengan cara ini maka ilmu kedokteran menjadi maju di dunia kami…”
Agama dan Sains di Dunia Islam
Kini, fitnah kebencian manusia di Eropa masa lalu terhadap Kristen akibat ulah pemuka-pemuka agamanya yang tidak memahami ajaran Nabi Isa hampir saja berulang di dunia Islam.
Ada sejumlah dai yang sangat bersemangat mengajak umat kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam segala lini kehidupan. Ini adalah semangat yang baik. Tidak perlu dimatikan. Hanya saja, jika seruan itu digiring ke arah anti sains dan teknologi kemudian distempel agama, pasti ini akan menimbulkan fitnah, bukan hanya bagi orang awam dan orang di luar Islam, tetapi juga bagi kalangan intelektualnya. Agama Islam akan dituduh sebagai biang kerok kemunduran, sehingga layak disekulerkan sebagaimana di Eropa, bahkan mungkin akan diarahkan untuk ditinggalkan karena karena dianggap ketinggalan zaman!
Ajaran Islam tidak pernah menghalangi kemajuan Sains dan IPTEK. Kisah penyerbukan kurma yang terjadi di zaman nabi, dan sabda Nabi yang bermakna, “kalian lebih tahu urusan dunia kalian” menunjukkan Sains dan IPTEK diserahkan sebebas-bebasnya kepada umat Islam untuk dikembangkan. Perintah nabi kepada Shahabat untuk belajar cara membuat Dabbabah (sejenis tank sederhana) juga menunjukkan Islam tidak anti teknologi. Oleh karena itu, dakwah tidak boleh memberi kesan bahwa ajaran Islam anti dengan Sains dan teknologi. Islam hanya menyaring anasir yang buruk, sementara hal yang jelas manfaatnya tidak perlu ditolak. Apalagi dengan alasan paranoid yang tidak berbasis data.
Selain fitnah yang saya sebutkan di atas, ada lagi fitnah yang lebih dahsyat yang saya sebut dengan istilah fitnah epistemologis.
Saat ini kemunduran umat Islam dalam segala bidang adalah kenyataan. Kemunduran ini memicu bangkitnya sejumlah pemikir yang ingin mengobati umat Islam agar kembali sebagai umat terbaik seperti di masa lalu. Para pemikir yang masih dekat dengan warisan pemikiran Islam, muncul dengan ide-ide kebangkitan dengan cara membuat gerakan-gerakan islami di dunia Islam. Tetapi sejumlah pemikir yang memang sulit dijadikan teladan dalam hal ilmu dan ketakwaan, akhirnya muncul dengan ide-ide yang bersifat liberal untuk membangkitkan umat ini. Mereka mempromosikan rasionalisme barat, humanisme barat, hermeneutika dan lain-lain. Semua ini dipupuk dan disuburkembangkan oleh sebagian dai yang mengambil sikap memusuhi sains dan teknologi. Tentu saja ini tidak menjadi kebaikan bagi umat Islam.
Pengetahuan sejarah umum memang tidak dimasukkan dalam deretan ilmu-ilmu syar’i, tetapi dengan memahami sejarah secara umum seorang dai akan menjadi lebih hakim (bijaksana) dan bashir (tajam dalam mengidentifikasi hakikat sesuatu). Dengan pengetahuan ini maka dia bisa menempatkan nash dengan tepat sesuai dengan obyek dakwah.
Al-Qur’an memerintahkan untuk banyak mengambil ibroh dari kisah umat-umat terdahulu. Hal ini secara implisit mengajarkan kepada kita agar memperhatikan ilmu sejarah agar bisa belajar dari kesalahan bangsa lain.
Stop mempertentangkan dien Islam dengan sains dan teknologi, karena ini bisa menimbulkan fitnah besar. Sains dan teknologi adalah urusan dunia. Meskipun lahir dari umat di luar Islam tidak masalah diterima selama tetap kritis. Jangan sampai umat jadi alergi dengan agama hanya karena kekeliruan penempatan dalil-dalil agama tidak pada tempatnya.
Wallahua’lam.