Oleh: Ust. Muafa
Tidakkah kita melihat, manusia justru diuji dari apa yang paling diinginkannya?
Orang yang sangat ingin menikahi seseorang, justru dibuat sulit atau bahkan gagal total menikah dengannya. Sebaliknya, orang yang tidak terlalu berambisi justru “berhasil” menikah dengan seseorang yang diidamkan banyak orang.
Orang yang sangat ingin pekerjaan tertentu, justru dibuat sulit atau malah gagal total memperolehnya. Sebaliknya, orang yang rileks saja dalam berkeinginan tetapi tetap maksimal dalam keahlian justru berhasil dengan mudah memperoleh pekerjaan yang diidamkan banyak orang.
Orang tua yang sangat ingin mendapat “balas jasa” dari anak dengan menghitung hasil jerih payahnya membesarkan dan membuatnya pintar, justru diuji dengan anak yang tidak terlalu peduli atau bahkan durhaka. Sebaliknya, orang tua yang tidak pernah berpikir “menuntut balik modal” justru anak-anaknya yang “heboh” memuliakan dan mempersembahkan bakti terbaiknya untuk orang tuanya.
Pasutri yang sangat ingin punya anak karena sudah lama berumah tangga, justru sampai bertahun-tahun malah belum dikaruniai anak. Sebaliknya, dua orang pacaran yang pikirannya hanya berzina malah gampang sekali mendapatkan anak, sampai sang bayi diaborsi atau dibunuh hidup-hidup.
Dari 10 keinginan besar kita, mungkin hanya beberapa saja yang menjadi kenyataan.
Semuanya menunjukkan, kita dikuasai, bukan menguasai.
Diatur, bukan mengatur.
Diuji, bukan menguji.
Agar kita lebih bisa merenungi hakikat hidup ini, dari mana kita berasal, untuk apa hidup dan ke mana setelah mati.
Agar lebih mengenal Allah.
“Apakah manusia (selalu) memperoleh apa yang diangan-angankannya?” (An-Najm: 24)