Oleh: Ustadz Muafa
Di antara julukan kehormatan yang diberikan kaum muslimin kepada Al-Imam Asy-Syafi’i adalah gelar Nashir As-Sunnah (ناصر السنة) atau Nashir Al-Hadis (ناصر الحديث). Gelar ini secara harfiah bermakna penolong As-Sunnah/Al-Hadis.
Mengapa beliau digelari dengan julukan itu?
Jika kita perhatikan dengan seksama sejarah perjuangan Asy-Syafi’i yang gigih dalam memerangi semua aliran yang berusaha menolak As-Sunnah (baik penolakan secara total maupun penolakan bersyarat), maka kita akan memahami alasan pemberian gelar ini.
Di zaman Asy-Syafi’i hidup, ada aliran yang mengajak berhujjah dengan Al-Qur’an saja dan menolak As-Sunnah secara total, karena hanya Al-Qur’an saja yang dianggap sebagai sumber yang qoth’i/pasti/absolut sementara As-Sunnah dianggap dhonni/spekulatif. Di zaman sekarang, aliran ini dihidupkan kembali dan disebarkan oleh aliran Ingkar Sunnah yang kadang menyebut diri mereka dengan istilah Qur’aniyyun.
Ada pula aliran yang mengajak menolak As-Sunnah jika dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Aliran ini tidak mengajak menolak As-Sunnah secara total, tetapi mengajak menolak As-Sunnah yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan sengaja, orang-orang Zindiq dari aliran ini membuat hadis palsu sebagaimana yang dinukil Asy-Syaukani dalam kitabnya dengan lafaz seperti ini,
إذا روى عني حديث فاعرضوه على كتاب الله فإذا وافقه فاقبلوه وإن خالفه فردوه
“…(Rasulullah dikatakan secara dusta bersabda) jika diriwayatkan dariku sebuah hadis, maka bandingkan dengan kitabullah. Jika sesuai maka terimalah. Jika bertentangan maka tolaklah…(Al-Fawa-id Al-Majmu’ah Fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah hlm 291)
Ada pula aliran yang mengajak untuk berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi dibatasi pada As-Sunnah yang didukung oleh nash Al-Qur’an saja . Jika ada As-Sunnah yang tidak didukung nash Al-Qur’an maka wajib ditolak.
Ada pula aliran yang mengajak untuk menerima As-Sunnah yang mutawatir saja sebagai hujjah, sementara As-Sunnah yang dinukil berdasarkan khobar ahad ditolak.
Ada pula aliran yang mengajak mendahulukan qiyas daripada As-Sunnah yang dinukil dengan cara khobar ahad. Aliran ini memahami bahwa qiyas lebih utama sebagai dalil daripada As-Sunnah yang bersifat ahad. Oleh karena itu, jika ada As-Sunnah ahad yang bertentangan dengan qiyas, maka As-Sunnah ditolak dan dipakai qiyas.
Ada pula aliran yang mengajak menerima As-Sunnah yang berupa khobar ahad dengan syarat sesuai dengan amal penduduk madinah. Jika ada As-Sunnah yang dinukil dengan cara ahad dan bertentangan dengan amal penduduk Madinah, maka As-Sunnah tersebut ditolak.
Semua aliran itu dibantah panjang lebar oleh Asy-Syafi’i dengan argumentasi yang kokoh dan meyakinkan. Beliau membuktikan bahwa As-Sunnah jika sudah terbukti sanadnya sahih dan muttashil/bersambung kepada Nabi maka wajib diamalkan tanpa membedakan apakah mutawatir, masyhur maupun ahad. Juga tidak membedakan apakah sesuai dengan amal penduduk madinah ataukah tidak. Juga tidak membedakan apakah ada nash Al-Qur’an yang mendukung atukah tidak. Juga tidak membedakan apakah konten As-Sunnah dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an ataukah tidak.
Asy-Syafi’i juga membawa semangat menjadikan sunnah sebagai hujjah pada saat tren populer di masanya dalam hal tasyri’(penetapan hukum Islam) adalah mengikuti amal yang mujma’ ‘alaih (disepakati), atau fatwa shahabat, atau fatwa tabi’in. Jadi, semangat yang dibawa Asy-Syafi’i ini membentuk tren baru dalam sejarah tasyri’ fikih.
Karya Asy-Syafi’i yang paling menonjol dalam pembelaan terhadap As-Sunnah adalah kitabnya yang berjudul Jima’ Al-Ilmi (جماع العلم) selain pembahasan terserak-serak tentang As-Sunnah dalam kitab-kitabnya yang lain seperti Al-Umm, Ar-Risalah, Ibthol Al-Istihsan dan lain-lain.
Dengan kerja ini, Asy-Syafi’i membuat minat mengumpulkan As-sunnah/ hadis sahih menjadi sangat tinggi. As-Sunnah setelah zaman Asy-Syafi’i juga menjadi lebih “berwibawa” untuk dijadikan dasar dalam perdebatan-perdebatan ijtihad fikih.
Demikian menonjol jasa Asy-Syafi’i dalam “menghidupkan” As-Sunnah ini sampai-sampai salah satu guru Asy-Syafi’i yang bermadzhab hanafi, murid langusng dari Abu Hanifah, yang sering berdebat dengan Asy-Syafi’i mengatakan bahwa jika ada ahli hadis sesudah zaman Asy-Syafi’i yang berbicara tentang As-Sunnah/hadis, maka mereka akan berbicara dengan lisan Asy-Syafi’i. an-Nawawi menulis,
قال محمد بن الحسن رحمه الله ان تكلم اصحاب الحديث يوما ما فبلسان الشافعي
“Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah berkata, ‘Jika (ada) ashabul hadis yang berbicara (tentang hadis) pada suatu hari, maka (itu adalah) dengan lisan Asy-Syafi’i…” (Al-majmu’ juz 1, hlm 10)
Asy-Syafi’i adalah pembela As-Sunnah, penghancur aliran Ingkar Sunnah, pembasmi ahlul bid’ah.
رحم الله الشافعي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين