Oleh Ustadz Muafa
“IKUTI HADIS, TINGGALKAN PENDAPAT IMAM!”
Bagaimana Memaknainya?
Ada sebagian orang yang masih belum berhasil memahami kadar dirinya lalu dengan “gagah” nan angkuh mengatakan,
“Kalau sudah jelas hadis sahih, ya ikuti hadis itu. Tinggalkan pendapat ulama, sekalipun imam Asy-Syafi’i”
Benarkah ucapan ini?
Bagaimana sebenarnya menempatkannya?
Mengikuti hadis dan meninggalkan pendapat imam madzhab maksudnya bukan ditujukan untuk orang awam yang mengetahui sebuah hadis sahih lalu boleh menyalahkan imam madzhab. Ucapan ini sebenarnya dimaksudkan kepada ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT MUJTAHID yang mengetahui hadis sahih dan memahami penggunaannya setelah melalui kajian komprehensif.
Oleh karena itu, An-Nawawi menyebutkan syarat penerapan kaidah tersebut yaitu bahwa orang yang ingin “menyalahkan’ Asy-Syafi’i harus memiliki dugaan kuat bahwa Asy-Syafi’i tidak mengetahui hadis tersebut atau tidak mengetahui kesahihannya. Syarat ini hanya mungkin terealisasi jika sudah mengkaji SELURUH kitab-kitab Asy-Syafi’i, termasuk juga seluruh kitab-kitab muridnya yang mengambil ilmu dari beliau. Satu syarat yang sangat sulit dan langka. Jarang orang bisa memenuhi kualifikasi ini.
Tidak semua hadis itu langusng bisa diamalkan dhohirnya, karena melalui kajian komprehensif kadang sebuah hadis akhirnya diketahui bahwa berillat/syadz, dinasakh, ditakhsish, ditakwil dan semisalnya sehingga tidak bisa diamalkan. An-Nawawi berkata,
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ: وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَنْ لَهُ رُتْبَةُ الِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَتِهِ أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ: وَشَرْطُهُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ صِحَّتَهُ: وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ مُطَالَعَةِ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ كُلِّهَا وَنَحْوِهَا مِنْ كُتُبِ أَصْحَابِهِ الْآخِذِينَ عَنْهُ وَمَا أَشْبَهَهَا وَهَذَا شَرْطٌ صَعْبٌ قَلَّ من ينصف بِهِ: وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَرَكَ الْعَمَلَ بِظَاهِرِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ رَآهَا وَعَلِمَهَا لَكِنْ قَامَ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى طَعْنٍ فِيهَا أَوْ نَسْخِهَا أَوْ تَخْصِيصِهَا أَوْ تَأْوِيلِهَا أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“…ucapan yang dikatakan Asy-Syafi’i ini (jika sebuah hadis sahih, maka itulah madzhabku) maknanya bukan berarti SETIAP ORANG yang mengetahui hadis sahih (boleh) berkata ‘Ini madzhab Asy-Syafi’i’ dan mengamalkan dhohirnya. (kaidah ) Ini hanya berlaku pada ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD dalam madzhab sebagaimana telah diuraikan sebelumnya kualifikasinya atau yang mendekatinya. Syaratnya, dia menduga kuat bahwa Asy-Syafi’i tidak mengetahui/menemukan hadis tersebut atau tidak mengetahui kesahihannya. Ini hanya mungkin terjadi setelah menelaah kitab-kitab Asy-Syafi’i seluruhnya dan (juga menelaah) kitab-kitab murid-murid beliau yang mengambil ilmu darinya dan yang semisal dengannya. Ini adalah syarat yang sulit. Jarang orang memenuhi kualifikasi itu. Mereka (para ulama) mensyaratkan apa yang telah kami sebutkan karena Asy-Syafi’i rahimahullah meninggalkan untuk mengamalkan dhohir banyak hadis yang diketahuinya karena telah terbukti bagi beliau cacat pada hadis tersebut, atau terbukti nasakhnya, terbukti takhshishnya, terbukti takwilnya, dan semisal dengan itu…” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 64)
رحم الله الشافعي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين