Oleh : Ust. Muafa
Di negeri kita, ada sejumlah matan yang cukup terkenal dipelajari sebagai upaya memahami sebagaian ilmu-ilmu Islam. Sebut saja,
• Matan Ajurumiyyah karya Ibnu Ajurrum dalam bidang nahwu
• Nadhom Al-‘Imrithi dalam bidang nahwu yang merupakan versi puisi Matan Ajurrumiyyah
• Alfiyyah karya Ibnu Malik dalam bidang nahwu
• Aqidatu Al-‘Awam dalam bidang akidah
• Alfiyyah Iroqi dalam ilmu Hadis
• Mandhumah Baiquniyyah dalam ilmu hadis
• Muqoddimah Jazariyyah dalam ilmu tajuid
• Matan Abu Syuja’/At-Taqrib/Al-Ghoyah Wa At-Taqrib/Ghoyatu Al-Ikhtishor dalam ilmu fikih
• Dan lain-lain.
Matan menjadi pilihan karena menawarkan pembahasan ilmu yang bersifat RINGKAS dan MUDAH DIHAPAL.
Hanya saja pertanyaan mendasar terkait topik ini adalah, “apakah belajar ilmu tertentu dengan memakai kitab yang ditulis dengan gaya matan adalah cara belajar yang efektif, efisien dan memberi kebaikan bagi kaum muslimin?”
Sejak zaman dulu sudah ada perdebatan apakah belajar dien melalui matan/mukhtashor/mandhumah tanpa dalil itu menjadi kebaikan bagi umat atau tidak.
Ibnu Khaldun adalah contoh di antara pemerhati persoalan ini yang mengkritik cara belajar ilmu memakai karya-karya yang ditulis dengan gaya matan/mukhtashor. Menurut beliau, menulis ilmu dengan gaya mukhtashor akan merusak balaghoh, membuat susah dipahami (buktinya perlu syarah untuk memahaminya), menjadi metode pendidikan yang buruk, merusak proses belajar, dan membuat pelajar menjadi tersibukkan menghapal lafaz-lafaz yang sulit dipahami. Belajar lewat matan menurut Ibnu Kholdun juga akan membuat lemah kemampuan analisis dan memecahkan masalah, yakni tidak bisa membentuk malakah tammah (perfect talent) dalam bidang ilmu yang dipelajari. (Tarikh Ibnu Kholdun, juz 1 hlm 733).
Senada dengan Ibnu Kholdun, Al-Hajwi juga memandang penulisan gaya matan – karena demikian ringkasnya- justru malah membuat tidak bisa dipahami kecuali dengan syarah, hasyiyah dan taqrir. Jadi tujuan meringkas malah tidak tercapai. Sebaliknya malah terproduksi masalah baru, yakni upaya memahami lafaz-lafaz mukhtashor yang membuat banyak waktu terbuang. (Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, juz 2 hlm 459)
Kritikan lain belajar lewat matan adalah produk yang dihasilkan menjadi orang-orang yang lemah dalam mengimplementasikan teks dan menghayati isinya. Terutama teks-teks sastra.
Di lapangan juga bisa disaksikan, secara umum santri-santri yang belajar Islam melewati matan dan hanya khatam matan saja menjadi orang yang hapal banyak hukum tapi tidak pernah tahu bagaimana hukum tersebut diturunkan, sehingga sering tidak siap menghadapi “pertarungan” pemikiran dengan madzhab lain, termasuk lemah merespon persoalan-persoalan baru yang butuh disikapi. Dalam pemecahan hukum fikih misalnya, akhirnya sejauh-jauh tindakan yang berani dilakukan adalah ilhaq al-masa-il binadho-iriha (menyamakan hukum untuk kasus baru dengan hukum kasus yang sudah pernah dipecahkan ulama generasi sebelumnya).
Kritikan lain terhadap penulisan dengan gaya matan adalah bahwa teknik, materi, dan kurikulum yang didasarkan pada matan tidak sesuai dengan hasil penelitian pendidikan modern dan kurikulum pendidikan kontemporer, sehingga tidak cocok diterapkan di zaman maju saat ini.
Yang setuju metode ini menyebutkan sejumlah kelebihan kitab-kitab matan untuk digunakan sebagai textbook. Di antaranya,
• Padat isi, komprehensif dan merupakan hasil perasan pembahasan mendalam
• Bisa membantu dalam menggambarkan pemetaan bidang ilmu tertentu
• Meringkas waktu pelajar karena bisa menguasai bidang ilmu tertentu secara umum sebelum masuk ke pendalaman
• Menguasai kitab matan mengharuskan kerja keras, ketahanan semangat dan keseriusan. Jadi belajar lewat matan akan melatih kualitas jiwa yang positif
• Membantu mudah menghapalkan ilmu
• Banyak ulama besar yang lahir dan terbukti mempelajari ilmu-ilmu Islam dengan memulai dari belajar matan dan menghapalkannya
Bagaimana menyikapi dua arus ini?
Dalam hemat saya, penulisan gaya matan, baik yang berupa mandhum (puisi) maupun mantsur (prosa), yang independen maupun turunan dari matan/mukhtashor lain, semuanya pada hakikatnya hanyalah ide teknis dalam belajar dien. Karena hal teknis (wasilah), sebaiknya menyikapinya juga harus proporsional. Tidak disakralisasi tetapi juga tidak didemonisasi. Hal positifnya diambil dan hal negatifnya dibuang dengan cara penempatan yang tepat.
Untuk kepentingan praktis, yakni kepentingan langsung dipraktekkan seperti untuk diajarkan kepada anak-anak atau awam kaum muslimin maka kitab-kitab matan bermanfaat. Jadi, untuk para ustadz, dai dan muballigh yang langsung bersentuhan dengan masyarakat umum yang ingin belajar agama langsung dipraktekkan, adanya matan akan sangat membantu mengajarkan topik-topik dien secara lengkap dalam bentuk yang paling ringkas dan praktis. Untuk mengajarkan fikih Asy-Syafi’i misalnya, bisa memanfaatkan matan Abu Syuja’, At-Tanbih karya Asy-Syirozi, Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah, Qurrotul ‘Ain, dan lain-lain.
Tetapi untuk kepentingan mencetak dai, ustadz, dan ulama, sebaiknya langsung dilatih memahami konten ilmu dengan istinbatnya mulai dari kitab-kitab yang ringan sampai yang berat-berat, seraya tetap diagendakan penguasaan matan/mukhtashor secara mandiri. Contoh kitab-kitab pertengahan yang cukup bagus mengasah kemampuan istinbath dalil dalam fikih Asy-Syafi’i adalah Kifayatu Al-Akhyar, At-Tadzhib Fi Adillati Matni Al-Ghoyah Wa At-Taqrib dan semisalnya.
Wallahua’lam