Oleh : Ust. Muafa
Pemberian gelar terhadap seorang ulama sebenarnya adalah bentuk husnuzhon kaum muslimin terhadap seorang tokoh, bukan keinginan ulama itu sendiri. Tidak ada ulama salih yang meminta dipanggil dengan gelar kebesaran tertentu yang ia inginkan. Kadang penyematan gelar itu akurat, kadang juga tidak akurat. Jika yang memberikan gelar para awam atau fanatikus buta atau sesama jama’ah, seringkali penyematan gelar itu tidak akurat. Tetapi jika yang memberikan gelar adalah sesama orang berilmu, maka umumnya itu lebih akurat. Jika Allah dan Rasul-Nya yang memberi gelar maka jelas pasti akurat.
Oleh karena pemberian gelar adalah bentuk husnuzhon, maka gelar untuk satu orang dalam satu komunitas bisa jadi pengertiannya berbeda dalam komunitas yang lain. Istilah Al-Imam misalnya, di kalangan Asy-Syafi’iyyah bermakna Imamul Haromain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Sementara di madzhab yang lain bisa dimaksudkan imam madzhab atau tokoh madzhab di bawahnya. Gelar syaikhan kalau bicara tentang shahabat Nabi bermakna Abu Bakar dan Umar, tapi kalau di kalangan Asy-Syafi’iyyah bermakna Ar-Rofi’i dan An-Nawawi.
Bolehkah memberi gelar-gelar kehormatan seperti itu?
Jika dibaca Al-Qur’an, pemberian gelar ternyata dilakukan Allah kepada pribadi-pribadi salih tertentu seperti gelar shiddiq, shodiqol wa’di, awwab, ulul azmi, dan lain-lain. Demikian pula Rasulullah dan para Shahabat. Kita mengetahui gelar-gelar shahabat yang terkenal seperti Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar, Aminul Ummah untuk Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarroh, Al-Faruq untuk Umar, Dzu An-Nuroin untuk ‘Usman, Dzu An-Nithoqoin untuk Asma’ dan lain-lain. Kaum muslimin di zaman shahabat, tabi’in, tabiut tabi’in juga terbiasa memberikan gelar untuk tokoh-tokoh tertentu. Tokoh-tokoh alim nan salih yang mendapatkan gelar tersebut juga mendiamkannya dan tidak mengingkari. Semua ini menunjukkan bahwa talqib (pemberian gelar) semacam itu hukum asalnya tidak terlarang. Jadi tidak mengapa menjuluki seorang berilmu dengan julukan nashirus sunnah, ustadz, ‘allamah, syaikh, fahhamah, kyai, tuan guru dan lain-lain selama tidak berlebihan dan melanggar batas-batas syar’i.
Dari sinilah maka dikenal salah satu istilah gelar besar dalam keilmuan Islam di kalangan para fuqoha’ yang dikenal dengan gelar Syaikhul Islam (شيخ الإسلام).
Apa pengertian Syaikhul Islam?
Definisi Syaikhul Islam dalam istilah fuqoha’ menurut As-Sakhowi adalah orang yang sangat luas ilmu Islam yang dimilikinya (mutabahhir), baik yang ma’qul maupun yang manqul. As-Sakhowi berkata,
Artinya : “…Adapun Syaikhul Islam-berdasarkan kajian komprehensif atas karya para ulama mu’tabar- lafaz ini dipakai untuk menyebut orang yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya disertai pengetahuan terhadap kaidah-kaidah ilmu, kajian mendalam terhadap pendapat-pendapat para ulama, piawai dalam menerapkan berbagai kejadian terhadap nash, dan memiliki pengetahuan terhadap ilmu ma’qul (rasional) dan manqul (nash) dengan cara yang tepat…” (Al-Jawahir Wa Ad-Duror Fi Tarjamati Syaikhi Al-Islam Ibni Hajar, juz 1 hlm 65)
Definisi senada juga disebutkan Ibnu Nashirudin dalam kitab “Ar-Roddu Al-Wafir.”
Dengan definisi “terbuka” seperti ini, maka akan menjadi sangat wajar jika gelar ini bisa disematkan kepada ulama manapun dari madzhab apapun dan oleh ulama dari komunitas manapun selama memenuhi sifat-sifat yang dianggap memenuhi kriteria di atas. Menjadi wajar pula jika ulama yang disemati gelar syaikhul Islam jumlahnya tidak satu dua orang tetapi banyak sekali. Adz-Dzahabi dalam kitabnya; “Al-Mu’jam Al-Mukhtash bi Al-Muhadditsin” cukup banyak menggelari ulama-ulama tertentu dengan sebutan Syaikhul Islam seperti Ibnu Daqiqil ‘Id, Ibnu Jama’ah, Al-Fazari, Hibatullah Al-Barizi dan lain-lain. Menurut As-Sakhowi, pada awal abad 8 H istilah ini menjadi “pasaran” sehingga banyak sekali ulama yang mendapatkan gelar ini (sampai ada yang mengatakan secara mubalaghoh “laa yuhsho” -tidak bisa dihitung-). Bahkan ada juga kitab yang secara khusus mendaftar nama-nama ulama yang digelari Syaikhul Islam bernama “Al-Badru At-Tamam Fiman Luqqiba Min Al-‘Ulama Bilaqobi Syaikhi Al-Islam” karya Sa’ad Fahmi.
Sebagai konsekuensi definisi “terbuka” pula, maka obyek yang dituju dengan gelar Syaikhul Islam pada satu masa bisa jadi berbeda dengan masa yang lainnya. Apa yang dimaksud oleh seorang ulama dengan gelar Syaikhul Islam bisa jadi berbeda dengan yang dimaksud ulama yang lainnya.
Jika Syaikhul Islam disebut Ibnu Thohir maka yang dimaksud adalah Al-Harowi.
Jika Syaikhul Islam disebut Ibnu Al-Qoyyim maka maksudnya Ibnu Taimiyyah. Demikian pula jika disebut oleh ulama-ulama Hanabilah kontemporer.
Jika Syaikhul Islam disebut Al-Mizzi maka yang dimaksud adalah Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
Jika Syaikhul Islam disebut Ibnu Hajar Al-‘Asqolani maka yang dimaksud adalah guru Ibnu Hajar yang bernama Al-Bulqini.
Jika Syaikhul Islam disebut Al-Haitsami maka yang dimaksud adalah Al-‘Iroqi.
Jika Syaikhul Islam disebut As-Suyuthi maka yang dimaksud adalah Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.
As-Sakhowi juga menyebut An-Nawawi sebagai Syaikhul Islam.
Dan seterusnya.
Setelah itu lama-lama makna Syaikhul Islam menyempit lagi sehingga digunakan untuk orang yang mengurusi Al-Qodho’ Al-Akbar (peradilan tinggi) tanpa mempertimbangkan aspek kedalaman ilmu dan usia. Di zaman Utsmaniyyah, sebutan Syaikhul Islam sudah menjadi istilah untuk jabatan mufti akbar yang bersifat politis.
Pada zaman sekarang, oleh karena dominannya ulama-ulama Hanabilah dalam penyebaran fatwa melalui berbagai sarana, istilah Syaikhul Islam jika disebut “polosan” tanpa nama penjelas maka langsung berkonotasi Ibnu Taimiyyah. Adapun di kalangan Asy-Syafi’iyyah, ulama madzhab Asy-Syafi’i yang terkenal dengan gelar ini adalah Zakariyya Al-Anshori yang hidup pada abad 9-10 H.
Hanya saja, tidak semua orang setuju penyematan gelar tertentu. Gelar Syaikhul Islam untuk Ibnu Taimiyyah saja ada yang protes sampai taraf mengkafirkan sehingga lahir kitab bagus yang dipuji Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berjudul “Ar-Roddu Al-Wafir ‘Ala Man Za’ama Bi-anna Man Samma Ibna Taimiyyah Syaikho Al-Islam Kafir” karya Ibnu Nashiruddin (842 H) .
Wallahua’lam.