Renungan Terkait Cara Orang Awam Berakidah
Studi Kasus: Pilihan Akidah An-Nawawi Dalam Memahami Sifat-Sifat Allah.
Oleh : Ust. Muafa
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah, telah diketahui ada dua aliran utama yang saling mengkritik, yaitu aliran tafwidh (التفويض) dan aliran ta’wil (التأويل). Aliran tafwidh dipegang kelompok salafi sementara aliran ta’wil dipegang kelompok Asy’ariyyah.
Bagi orang awam, bagaimana cara memilih pendapat yang paling kuat dari dua aliran ini?
Tentu saja kaum muslimin awam -apalagi yang baru masuk Islam- akan susah diseret untuk memahami pembahasan filosofis terkait shifah dengan maushuf, jauhar dengan ‘arodh, perbuatan manusia diciptakan Allah atau hamba, perdebatan antara mu’tazilah-jabriyyah-‘Asy’ariyyah, diskursus antara epikureanis dengan stoasis, dan lain-lain. Menyerat awam pada perdebatan seperti ini malah bisa menimbulkan fitnah, yakni memberi kesan Islam itu ruwet sehingga justru malah bisa membuat mereka menjauh bahkan keluar dari Islam.
Jalan paling logis bagi kaum muslimin awam adalah bertaklid pada ulama yang dipercayai terkait isu ini. Dalam memilih ulama pun, bisa jadi kaidahnya sangat sederhana selama dianggap masuk akal dan menentramkan jiwa.
Untuk memahami cara pikir orang awam dalam hal ini, marilah kita ambil contoh kasus An-Nawawi terkait pilihan akidah beliau dalam memahami sifat Allah.
Keutamaan An-Nawawi adalah perkara yang sudah diketahui. Beliau adalah salah seorang ulama yang sangat berkah umur dan waktunya. Ilmunya sangat dalam dan luas, dihormati sebagai Asy-Syaikh di kalangan Asy-Syafi’iyyah dan memiliki banyak kitab yang terbukti sangat berkah dan bermanfaat lintas zaman dan lintas madzhab.
Ketenaran An-Nawawi bukan hanya dalam hal keilmuan, tapi juga dalam kesalihan, ibadah, sikap zuhud dan karomah.
Sejak kecil An-Nawawi sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan yang menunjukkan beliau bukan “orang biasa”. Di saat teman-teman sebayanya di waktu kecil menghabiskan umur untuk bermain-main, An-Nawawi tidak mau bergabung dengan mereka. Ketika beliau dipaksa ikut main, beliau menangis lalu lari dan membaca Al-Qur’an. Pernah juga di bulan Ramadhan, An-Nawawi kecil melihat cahaya terang benderang di rumahnya. Ketika sang ayah dibangunkan, beliau tidak melihat apa-apa. Ternyata malam itu adalah malam 27 Ramadhan. Maka tahulah sang ayah bahwa malam itu adalah malam lailatul qodar.
Kehidupan masa kecil An-Nawawi seolah-olah menunjukkan bahwa beliau lahir dan tumbuh dalam pengawasan Allah dan memang disiapkan Allah untuk menjadi orang besar, panutan umat, dan pelita kaum muslimin.
Masalahnya (jika dianggap sebagai masalah), akidah An-Nawawi dalam hal memahami sifat Allah adalah akidah Asy’ariyyah yang dibid’ahkan oleh kelompok salafi!
Lalu bagaimana memahami dua hal yang nampak kontradiktif ini?
Bagi umumnya penganut Asy-Syafi’iyyah, barangkali karena kesalihan, karomah dan keberkahan kitab-kitab imam An-Nawawi inilah justru mereka malah menjadi yakin bahwa pilihan akidah An-Nawawi dalam memahami sifat Allah adalah pilihan yang diduga paling tepat dan paling diridhai Allah. Apalagi bagi umumnya Asy-Syafi’iyyah di Indonesia, referensi utama kajian akidah adalah kitab ‘Aqidatu Al-‘Awam karya Ahmad Al-Marzuqi yang mana penulisnya mengklaim bahwa akidah dan manzhumah itu diajarkan langsung oleh Rasulullah melalui mimpi!
Memahami kasus An-Nawawi ini, dalam nalar wajar ada tiga kemungkinan cara memahami;
Pertama, memahami bahwa orang yang memiliki akidah bid’ah bisa saja menjadi wali dan kekasih Allah yang dicintai, diridhai dan disayangi-Nya
Kedua, memahami bahwa pilihan akidah An-Nawawi sebaiknya jangan disebut bid’ah. Tapi lebih lembut sedikit disebut saja khotho’ (الخطأ)/kesalahan. Jika itu bukan bid’ah, tapi “hanya” khotho’, maka pilihan akidah beliau adalah termasuk ijtihad yang dipuji secara umum oleh Rasulullah, yakni; Jika benar pahalanya dua jika salah pahalanya satu.
Ketiga: Memahami bahwa justru akidah An-Nawawi terkait memahami sifat Allah itulah yang lebih benar disisi Allah daripada madzhab tafwidh.
Nampaknya, bagi kaum muslimin awam akan lebih mudah menerima pemahaman yang ketiga. Logikanya mungkin sederhana. Jika dikatakan akidah An-Nawawi terkait sifat Allah adalah bid’ah, maka tentu Allah murka, karena Nabi menyebut setiap bid’ah itu sesat dan setiap sesat di neraka. Tidak mungkin orang yang dimurkai Allah (apalagi ini terkait masalah akidah) akan dimuliakan dengan karomah.
Yang lebih ajaib terkait An-Nawawi ini adalah karomah beliau yang langsung berpaut erat dengan tokoh aliran tafwidh. Konon An-Nawawi pernah berdoa kepada Allah untuk menghancurkan berhala di zamannya yang tidak bisa beliau hilangkan hanya dengan amar makruf nahi munkar. Doa yang dinisbatkan kepada beliau berbunyi,
Artinya: “Ya Allah, bangkitkanlah untuk dien-MU seorang lelaki yang akan menghancurkan obelisk itu (yang berada di dekat sungai Qoluth), dan merobohkan kuburan yang berada di Jairun (An-Nubuwwat, juz 1 hlm 73)
Uniknya, sebagian ulama memandang bahwa Allah mengabulkan doa ini satu generasi sesudahnya dengan membangkitkan hamba-Nya yang beraliran tafwidh; Ibnu Taimiyyah!
Sejarah mencatat sebagaimana diuraikan Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah bahwa orang yang menghancurkan berhala itu adalah Ibnu Taimiyyah. Karomah dari ulama terakhir ini juga cukup terkenal dan tidak perlu diingkari.
Dari sini kita sedang berhadapan dengan dua ulama yang sama-sama besar, tetapi berbeda aliran dalam memahami sifat Allah. Keduanya adalah ulama yang tidak bisa diingkari jasanya untuk Islam kecuali bagi orang yang mengingkari sinar matahari di siang bolong. Kaum muslimin menyaksikan bagaimana beliau berdua menghabiskan umur untuk berkhidmat pada dinullah. Keduanya bahkan juga memiliki kesamaan wafat dalam keadaan belum pernah menikah. Suatu totalitas untuk dakwah dan tabligh yang luar biasa.
Jika kisah karomah doa An-Nawawi itu memang benar, apakah dengan kasus ini sudah sepentasnya kaum muslimin berhusnudhon kepada dua ulama besar ini, bahwa mereka semua adalah wali Allah, yang ikhtilafnya dimaafkan dalam kasus akidah terkait sifat Allah?
Mungkinkah persoalan debat terkait memahami sifat Allah antara aliran tafwidh dan ta’wil dimasukkan area yang harus dikembangkan sikap tasamuh dan lapang dada? Ataukah tetap tidak ada kompromi dalam hal ini, yang dianggap bid’ah harus tetap digolongkan bid’ah, menyimpang harus tetap digolongkan menyimpang?
Patut direnungkan. Wallahua’lam.
Catatan: Pembahasan lebih detail hakikat dan sejarah aliran tafwidh dan ta’wil berikut tokoh-tokoh yang merepresentasikannya adalah bahasan tersendiri yang harus dikaji dari referensi-referensi yang sesuai.
12 Comments
Indra Zulfi Mushoddaq
Berharap ada lanjutan dari pembahasan ini ustadzi.
Barakallahu Fiik.
Admin
Jika Allah menunjukkan ilham urgensinya dan dimudahkan ke arah sana, mudah2an insya Allah
abd qahhar
saya masih berharap dapat sambungan dari pembahasan ta’wil dan tafwidh sbagai bagian dri pembelajaran dan untuk semakin lapang dada dalam perbedaan ijtihad
Admin
barangkali tulisan ini bisa dianggap lanjutannya,
http://irtaqi.net/2020/02/23/paradigma-mengkaji-sifat-sifat-allah-1/
rizal
Bagaimana dengan 4 Imam Madzhab, apa aqidah mereka beraliran Tafwidh atau Takwil ? Mohon penjelasannya Ustadz. Jika dipandang perlu, mungkin dalam bentuk tulisan tersendiri di web site irtaqi.net. Terima kasih
Admin
istilah itu muncul sesudah imam 4 mazhab. Jadi secara logika memang tidak mungkin dibahas
Didik
Assalamualaikum.
Afwan Ust, bukankah salafi itu Itsbat, mereka juga benci dg tafwidh sebagaimana benci takwil..?
Admin
Wa’alaikumussalamwarohmatullah. Benci tafwidh makna, tapi tetap memakai tafwidh kaifiyyah. Wallahua’lam
Nauf
Kalau mnrut spengtahuan saya justru pemahaman tntang definisi takwil itulah yg brbeda….. Dan jg Asy’ariyyah stau saya itu nukan anti takwil, dua2nya dipelajari kok…..
Nauf
Maksud saya Asy’ariyyah bukan anti Tafwidl…..
Admin
betul. Untuk pendalaman bisa membaca tulisan saya tentang paradigma mengkaji sifat Allah (3 seri )
http://irtaqi.net/2020/02/23/paradigma-mengkaji-sifat-sifat-allah-1/
http://irtaqi.net/2020/02/23/paradigma-mengkaji-sifat-sifat-allah-2/
http://irtaqi.net/2020/02/23/paradigma-mengkaji-sifat-sifat-allah-3/
Admin
sahih