Oleh Ust. Muafa
Al-Imam Asy-Syafi’i bukan hanya seorang fakih, seorang mujtahid mutlak dan seorang panutan untuk mengetahui hukum Allah/perkara halal-haram, tetapi beliau juga orang salih yang memenuhi hak Allah dan hamba-hamba-Nya sebaik-baiknya. Di antara tanda bahwa beliau orang salih yang dicintai Allah adalah berita tentang karomahnya. Berikut ini kisah tentang satu karomah beliau yang diceritakan Al-Baihaqi dalam kitabnya; “Manaqibu Asy-Syafi’i”.
“Ar-Robi’ berkata, ‘Kami masuk menemui Asy-Syafi’i menjelang wafatnya. Saya, Al-Buwaithi, Al-Muzani dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Ar-Robi’ berkata, ‘Asy-Syafi’i memandang kami cukup lama kemudian dengan serius memperhatikan kami seraya berkata, ‘Engkau wahai Abu Ya’qub, dirimu akan meninggal dalam belenggu besimu. Adapun engkau wahai Muzani, di Mesir akan ada peristiwa besar dan engkau akan mengalami masa dimana engkau akan menjadi orang yang terpandai di zaman itu. Adapun engkau wahai Muhammad, engkau akan kembali ke madzhab ayahmu. Adapun engkau wahai Robi’, engkau akan menjadi muridku yang paling bermanfaat bagiku dalam menyebarkan kitab. Bangkitlah wahai Abu Ya’qub dan terimalah halqoh (jadilah pengasuh majelisku). Ar-Robi’ berkata, ‘Demikianlah yang terjadi sebagaimana yang beliau katakan;” (Manaqib Asy-Syafi’im juz 2 hlm 136)
Dalam kisah di atas diceritakan ada empat murid menonjol Asy-Syafi’i yang datang membesuk gurunya pada saat sang guru sakit. Mereka adalah Ar-Robi’, Al-Buwaithi (dipanggil Asy-Syafi’i dengan nama Abu Ya’qub), Al-Muzani dan Ibnu Abdi Al-Hakam (dipanggil Asy-Syafi’i dengan nama Muhammad). Setelah Asy-Syafi’i memandang beberapa saat maka dengan serius beliau memberitahukan “penglihatan”nya kepada mereka. Al-Buwaithi “diramalkan” Asy-Syafi’i akan diuji dan meninggal dalam belenggu besi. Al-Muzani “diramalkan” akan menjadi tokoh besar. Ibnu Abdi Al-Hakam “diramalkan” akan kembali ke madzhab Maliki, dan Ar-Robi’ “diramalkan” akan berperan besar menyebarkan kitab-kitab karangan Asy-Syafi’i.
Ternyata memang demikianlah kenyataan sejarah yang terjadi.
Di masa Khalifah Al-Watsiq Billah, Ibnu Abi Du-ad yang beraliran mu’tazilah memerintahkan wali Mesir untuk memanggil Al-Buwaithi dan mengetesnya terkait Al-Qur’an. Al-Buwaithi menolak untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Beliau pun ditangkap, diikat pada leher dan kakinya dengan belenggu dan rantai seberat 40 rithl (kira-kira seberat 16 kg) dan dibawa ke Baghdad. Di sana beliau dipenjara dalam keadaan dibelenggu dan beliaupun wafat dalam keadaan dibelenggu sebagaimana firasat Asy-Syafi’i.
Setelah Al-Buwaithi dizalimi dalam peristiwa fitnah “Qur’an makhluk” itu, maka Al-Muzani-lah yang menggantikan Al-Buwaithi untuk mengasuh majelis Asy-Syafi’i. Pengaruh Al-Muzani semakin membesar dan ilmunya tersebar luas terutama setelah beliau mengarang kitabnya yang termasyhur; “Mukhtashor Al-Muzani”. Barangkali inilah yang dimaksud Asy-Syafi’i sebagai perkara besar dan Al-Muzani akan menjadi orang terpandai di zamannya.
Adapun Ibnu Abdi Al-Hakam, pada awalnya murid Asy-Syafi’i ini bermadzhab Maliki sebagai mana ayahnya. Setelah datang Asy-Syafi’i ke Mesir, beliau tertarik dengan ilmunya, berguru kepadanya dan menjadi muridnya. Pada saat Asy-Syafi’i sakit, Ibnu Abdi Al-Hakam ingin menggantikan Asy-Syafi’i sebagai pengasuh majelis. Al-Buwaithi menolak karena beliaulah murid Asy-Syafi’i yang dipercaya sang imam. Akhirnya terciptalah ketegangan di antara keduanya. Al-Humaidi datang sebagai penengah dan bersaksi bahwa Asy-Syafi’i menegaskan Al-Buwaithi-lah muridnya yang paling berilmu sehingga paling layak mengasuh majelis menggantikan beliau. Ibnu Abdi Al-Hakam menyergah ucapan Al-Humaidi dengan mengatakan , “Kadzabta!’ (dusta kamu!). Al-Humaidi menjawab lebih keras lagi, “Kadzabta anta wa abuka wa ummuka!” (dusta kamu, juga ayah dan ibumu). Ibnu Abdi Al-Hakam menjadi marah, meninggalkan majlis Asy-Syafi’i dan akhirnya kembali ke madzhab Maliki. Dengan demikian genaplah firasat Asy-Syafi’i.
Adapun Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi, kita semua tahu jasa besar Ar-Robi’ dalam menulis ulang, meriwayatkan dan menyebarkan kitab besar Asy-Syafi’i yang bernama “Al-Umm”. Melalui perantaraan Ar-Robi’ lah kita menjadi tahu kitab-kitab besar Asy-Syafi’i dalam hal fikih maupun ushul fikih. Dengan demikian genap pulalah firasat Asy-Syafi’i.
Karomah Asy-Syafi’i dalam kisah inilah yang disebut Al-Ghozzali dengan istilah “kasyf” (الكشف) atau “mukasyafah” (المكاشفة). Orang-orang sufi kadang menyebutnya ilmu “ladunni”. Ia juga bisa juga disebut “ilham” (الالهام), “fath” (الفتح), “tahdits” (التحديث), atau “firasat” (الفراسة). “Ru’ya shodiqoh”/mimpi yang benar (االرؤيا الصادقة) bisa juga dimasukkan dalam golongan ini.
Secara epistemologis Syed Naquib Al-Attas mengakui “kasyf” sebagai salah satu sumber ilmu selain wahyu, rasio dan empiri. Hanya saja ilmu yang dimaksud tidak boleh sampai taraf digunakan untuk “ilzamul ghoir” (إلزام الغير). Ibnu Taimiyyah memposisikan “kasyf” maksimal hanya bisa dijadikan “murojjih” terhadap dalil-dalil perlu ditarjih, tidak boleh diangkat terlalu tinggi menjadi dalil untuk dien. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Yusuf Al-Qordhowi dalam kitabnya “Mauqifu Al-Islam Min Al-Ilham Wa Al-Kasyf Wa Ar-Rua Wa Min At-Tama-im Wa Al-Kahanah Wa Ar-Ruqo”. Beliau tidak mengingkari “kasyf” dengan syarat tidak bertentangan dengan “nash”. Sikap ini juga ditegaskan oleh Hasan Al-Banna pada prinsip nomor tiga dari 20 prinsip yang beliau rumuskan. Yang menganggap “kasyf” dan ilham sebagai dalil dalam dien adalah sebagian sufi yang disebut Al-Qordhowi sebagai pseudo-sufi. Memposisikan “kasyf” secara berlebihan memang berpotensi merusak dan menghancurkan ajaran dien. Tasawuf yang benar, atau ilmu ihsan atau ilmu “tazkiyatun nufus” atau ilmu mujahadah fi tho’atillah atau ilmu apapun namanya yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memperkuat ketaatan kepada Allah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu pembersihan jiwa yang benar seharusnya memiliki hasil seperti Asy-Syafi’i dan An-Nawawi. Kuat dan tajam dalam hal ilmu fikih, dan dianugerahi Allah karomah sebagai tanda kesalihan yang layak dijadikan panutan.