Oleh : Ust. Muafa
Kitab-kitab fikih para fuqoha’ di berbagai masa selama berabad-abad, selalu diawali pembahasan tentang salat, bukan pembahasan tentang negara. Mereka juga tidak mengawali kitab fikih dengan pembahasan hukum-hukum yang memerlukan kehadiran hakim (penguasa) untuk menerapkannya seperti pembahasan hudud, qishosh, ta’zir, qodho’ dan semisalnya.
Mengapa demikian?
Apakah hal ini menunjukkan para fuqoha’ memahami bahwa politik itu bukan prioritas dalam pembahasan hukum Islam? Atau lebih jauh dari itu, apakah para fuqoha’ memahami bahwa politik itu bukan bagian dari ajaran Islam?
Jika dilacak tulisan-tulisan para fuqoha’ yang terkait topik ini, maka akan didapati bahwa alasan mendahulukan pembahasan salat itu justru didasarkan pada pemahaman yang mendalam, telaah yang sangat luas terhadap hukum Islam, dan kajian yang komprehensif terhadap seluruh ajaran islam. Karena itulah mereka bisa menata topik mana yang harus didahulukan dan topik mana yang harus dinomorsekiankan. Mereka bisa menyusun urutan dengan kaidah ahammiyyah (الأهمية), yakni mana yang paling penting dan kaidah aulawiyyah (الأولوية) yakni mana yang harus diprioritaskan.
Amal akhirat murni harus didahulukan daripada amal yang terkait urusan dunia, karena kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat, bukan dunia. Kehidupan dunia hanyalah sementara, tempat singgah dan panggung sandiwara. Kehidupan dunia digunakan sebagai kendaraan menuju akhirat saja. Lagipula Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa maksud Allah mencipkan jin dan manusia adalah untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Apalagi jika kita bandingkan dengan kehidupan malaikat. Mereka bertasbih, memuji Allah siang malam tanpa henti dan tanpa letih selama -mungkin- ribuan atau jutaan tahun (hanya Allah yang tahu) adalah sejelas-jelas bentuk ibadah murni yang memang untuk itu mereka diciptakan. Oleh karena itulah, pembahasan kitab fikih harus didahului pembahasan hukum ibadah, bukan hukum negara.
Pembahasan ibadah yang paling penting adalah pembahasan salat, karena salat adalah rukun Islam setelah syahadat. Siapa yang mengingkari kewajiban salat, maka dia dihukumi murtad, kafir, telah keluar dari Islam dan pantas dihukum bunuh. Negara bukan rukun Islam. Orang yang mengingkari ajaran negara atau politik dalam Islam (meskipun salah) tidak bisa disebut telah murtad dan keluar dari Islam. Demikian penting dan tingginya kedudukan salat ini, tidak heran jika Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (294 H) membuat kitab khusus untuk menjelaskan agungnya perintah salat ini dalam kitab beliau yang berjudul “Ta’zhimu Qodri Ash-Sholah” (تعظيم قدر الصلاة).
Oleh karena untuk salat harus dipenuhi syarat sahnya, yaitu thoharoh (kesucian), maka umumnya para fuqoha mengawali pembahasan fikih salat dengan bab thoharoh yang mencakup pembahasan macam-macam air, bejana, najis, cara membersihkan najis dan semisalnya. Sebagian fuqoha seperti Imam Malik memilih mengawali pembahasan dengan bab mawaqit sholah (waktu-waktu salat). Ini bermakna tetap menjadikan pembahasan salat sebagai pembahasan pertama dan utama dalam pembahasan fikih.
Setelah pembahasan ibadah mahdhoh selesai, yakni pembahasan yang mencakup topik salat, puasa, zakat, haji, umroh dan jihad, maka beralihlah pembahasan fikih itu menuju pembahasan perbuatan yang terkait urusan dunia.
Dalam hal urusan dunia, secara pasti manusia memiliki kebutuhan. Kebutuhan yang tidak mungkin dihindari adalah kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah dan yang semisal dengannya. Untuk mendapatkan ini, maka manusia berinteraksi sesamanya dengan cara berjual beli, membuat akad perkontrakan dan sebagainya. Dari sini maka diperlukan aturan yang mengontrol cara memenuhi kebutuhan agar tidak terjatuh pada konflik yang bersifat merusak. Karena itulah, mulai terasa pentingnya dibahas hukum jual beli, ijaroh, syirkah dan semisalnya. Hukum-hukum urusan dunia ini adalah hukum-hukum yang tidak termasuk ibadah murni. Hanya saja, karena dalam pelaksanaannya mengikuti aturan Allah, ia juga tetap bisa disebut ibadah. Hanya saja ibadahnya bukan murni, sehingga dinamakan ibadah ghoiru mahdhoh. Jadi, ibadah akhirnya dibagi menjadi dua; Ibadah murni dan tidak murni. Ibadah murni disebut juga ibadah mahdhoh, contohnya salat. Ibadah tidak murni contohnya jual beli menurut syarat sah dan rukunnya yang ditentukan Allah, yang disebut ibadah ghoiru mahdhoh.
Setelah kebutuhan makan dan minum beres, maka dibahas kebutuhan seks. Kebutuhan makan minum lebih penting daripada kebutuhan seks, karena orang bisa mati jika tidak makan minum sementara dia tidak akan mati jika tidak tersalurkan nafsu seksualnya. Karena itu, pembahasan hukum-hukum muamalat didahulukan daripada hukum-hukum yang mengatur nafsu seksual. Untuk membahas pengaturan penyaluran seks maka dibahaslah hukum-hukum munakahat (pernikahan). Kebutuhan seks ini jangkauannya lebih bersifat komunal. Alasannya, jika kebutuhan makan minum arahnya lebih ditekankan untuk menjaga keberlangsungan nyawa individu, maka kebutuhan seks secara sosial sesungguhnya juga berfungsi untuk menjaga kelestarian spesies manusia.
Setelah terpenuhi kebutuhan makan, minum dan seks, biasanya muncul problem kriminal akibat pemenuhan kebutuhan yang tidak benar dan menyimpang. Ada orang yang sudah kenyang, tapi masih ingin makanan orang lain. Ada orang yang sudah punya istri, tapi masih “ngiler” melihat wanita lain. Kecenderungan menyimpang ini bisa melahirkan tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, perzinaan dan semisalnya. Dari sinilah maka diperlukan aturan untuk mengontrolnya. Mulai tampak pula urgensi pembahasan hukum-hukum Islam yang terkait dengan penyelenggaraan masyarakat dan sistem sosial. Dimulailah pembahasan hukum uqubat, qishosh, hudud, jinayat, diyat, ta’zir, qodho’, syahadat, iqror dan semisalnya. Ketika sudah sampai sini, maka mau tidak mau pembahasan fikih mesti akan bersinggungan dengan pembahasan politik dan negara. Di level inilah pembahasan tentang politik dan negara Islam menemukan urgensinya.
Ini adalah urutan prioritas pembahasan hukum fikih secara umum sebagaimana yang disusun oleh pakar-pakar hukum Islam. Tidak terlalu kaku dari sisi urutan, tapi secara umum begitulah urutan yang dipakai para fuqoha’.
Al-Buhuti berkata,
“Mereka (para fuqoha) mendahulukan (penjelasan hukum-hukum) ibadat karena memberi perhatian terhadap perkara dien. Setelah itu (pembahasan) muamalat karena itu menjadi sebab bisa makan, minum dan (memenuhi) kebutuhan pokok yang semisal dengannya yang dibutuhkan orang dewasa dan anak kecil. Syahwatnya (terhadap makan minum) didahulukan daripada syahwat nikah. Mereka (para fuqoha’) juga mendahulukan pembahasan nikah daripada pembahasan jinayat, hudud dan mukhoshomat (perselisihan) karena terjadinya (tindakan kriminal itu) umumnya setelah terpenuhi syahwat perut dan kemaluan (Syarh Muntaha Al-Irodat, juz 1 hlm 13)
Jadi, pembahasan negara tidak dilakukan di awal bukan karena itu tidak penting apalagi diasumsikan bukan ajaran Islam. Peletakan pembahasan sistem sosial dan tata kelola negara di bagian akhir fikih Islam justru menunjukkan pemahaman yang sangat mendalam dan tajam pada saat mengenali karakteristik hukum Islam yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad. Oleh karena itu, keliru jika pembahasan negara ini dinomorsatukan seraya melalaikan pembahasan-pembahasan unsur fikih yang justru menjadi “batu-bata” penyusunnya. Orang yang terburu alias “kesusu” membentuk negara Islam, padahal pondasi, batu-bata, batu kali, semen, fly ash, air, besi, kawat dan unsur-unsur bangunan lain belum disiapkan, sama dengan orang yang berambisi membuat rumah megah, mewah nan kuat tapi tidak menyiapkan bahan-bahan bangunanya dengan baik. Bisa dipastikan orang seperti itu akan membangun rumah dengan material bangunan ala kadarnya, atau bisa jadi mencomot bahan material yang disangka bahan bangunan padahal bukan, bahkan bisa jadi dia tidak akan pernah bisa membangun karena memang unsur bangunannya tidak pernah diusahakan. Kalaupun bangunan itu dipaksakan jadi, bisa dipastikan bangunan yang dibentuk dengan cara seperti itu akan cepat roboh dan membinasakan penghuninya.
Pembahasan terkait negara umumnya dalam kitab fikih tidak dibahas secara eksplisit, tetapi terkandung pada pembahasan qodho’, syahadat, uqubat dan semisalnya. Beberapa ulama membuat pembahasan khusus lebih panjang lebar dalam kitab mustaqill seperti “As-Siyasah Asy-Syar’iyyah” karya Ibnu Taimiyyah, “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah” karya Al-Mawardi, “Ghiyatsul Umam” karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dan lain-lain.
Dari sisi bentuk negara, judul-judul kitab di atas memang nampak seperti “tidak ambil pusing” karena barangkali menurut ijtihad beliau-beliau bentuk negara itu urusan teknis. Seolah-olah mereka bisa menerima bentuk apapun selama esensinya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar mengelola negara.
Di zaman sekarang, sebagai akibat serangan pemikiran ilmu-ilmu sosial dari Barat, termasuk di antaranya pemikiran yang berkaitan dengan sistem politik dan tata negara, ada sebagian kaum muslimin yang berusaha “membakukan” sistem politik dan negara Islam dengan bentuk tertentu, seperti yang dilakukan Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khilafah” dan “Nizhomu Al-Hukmi Fi Al-Islam”. Sulaiman Rasyid dalam buku beliau; Fiqh Islam juga membuat judul khusus dalam bagian akhir buku itu dengan nama “Kitab Al-Khilafah”, hanya saja pembahasannya masih berbentuk prinsip-prinsip umum, belum sedetail An-Nabhani yang menata idenya sampai membentuk sebuah mekanisme pengelolaan negara yang tergambar jelas. Ada juga yang berusaha menjawab tantangan zaman itu dengan pembahasan yang bersifat prinsip-prinsip politik Islam saja, tanpa berusaha membakukan bentuk pemerintahan tertentu seperti kitab “Min Fiqhi Ad-Daulah Fi Al-Islam’ karya Yusuf Al-Qordhowi dan “Al-Hukumah Al-Islamiyyah” karya Abu Al-A’la Al-Maududi. Masih banyak lagi, puluhan bahkan mungkin ratusan buku-buku yang membahas politik dan negara Islam baik karya ulama terdahulu maupun karya ulama-ulama kontemporer. PR masih sangat besar jika umat sudah mulai digiring untuk menghadapi tantangan zaman terkait dengan politik dan negara Islam.
Wallahua’lam.