Oleh : Ust. Muafa
Tentu saja pertanyaan ini sulit dijawab karena jawabannya akan cenderung subyektif. Orang yang sejak kecil dikenalkan madzhab Asy-Syafi’i maka kecenderungannya akan memilih Asy-Syafi’i, sementara orang yang dibesarkan dalam madzhab Hanafi juga akan bersikap yang sama. Fakta seseorang dalam bermadzhab sendiri umumnya juga bukan karena hasil membandingkan, tetapi alasan sederhananya; Tergantung gurunya. Kaum muslimin Indonesia umpamanya, mayoritas bermadzhab Asy-Syafi’i bukan karena mereka mempelajari empat madzhab terlebih dahulu, lalu membandingkan kemudian memilih madzhab Asy-Syafi’i dengan anggapan madzhab itu yang terbaik atau terkuat. Mayoritas orang Indonesia bermadzhab Asy-Syafi’i dengan alasan yang sederhana yakni karena dai-dai yang berdakwah ke Indonesia kebanyakan bermadzhab Asy-Syafi’i.
Memang ada sebagian orang yang memilih madzhab tertentu setelah melalui proses berpikir dan membandingkan, tapi ini jumlahnya sedikit. Al-Muzani (264 H) misalnya. Awalnya beliau bermadzhab Hanafi. Tetapi setelah Asy-Syafi’i datang ke Mesir, segera saja Al-Muzani “kepincut” dengan ketajaman ijtihad Asy-Syafi’i sehingga membuat beliau berpindah ke madzhab Asy-Syafi’i, menjadi murid setianya, bahkan menjadi tokoh besar madzhab Asy-Syafi’i terutama berkat karyanya yang populer dengan nama “Mukhtashor Al-Muzani”.
Apakah kisah Al-Muzani itu menunjukkan keunggulan madzhab Asy-Syafi’i dibandingkan madzhab Hanafi?
Susah juga dibuat pernyataan tegas seperti itu. Memang benar, fakta sejarah menunjukkan bahwa madzhab Hanafi lebih tua daripada madzhab Asy-Syafi’i, karena Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H sementara pada tahun itu Asy-Syafi’i malah baru lahir. Adalah wajar jika generasi belakangan memiliki kesempatan untuk menguasai ilmu generasi terdahulu kemudian diperluas dan dipertajam lagi dengan ilmu yang belum sempat dipelajari pendahulunya. Sekilas ini membuat logis jika disimpulkan bahwa ijtihad Asy-Syafi’i seharusnya lebih tajam daripada ijtihad Abu Hanifah, karena Asy-Syafi’i punya kesempatan mempelajari pemikiran Abu Hanifah sementara Abu Hanifah tidak punya kesempatan mempelajari pemikiran Asy-Syafi’i. Hanya saja, fakta sejarah juga menunjukkan ada ulama bermadzhab Asy-Syafi’i yang akhirnya pindah ke madzhab Hanafi. Contohnya Abu Ja’far Ath-Thohawi (321 H). Beliau adalah keponakan Al-Muzani dan sempat belajar fikih kepada pamannya. Tapi kemudian pindah ke madzhab Hanafi dan selanjutnya terkenal sebagai ulama besar madzhab Hanafi.
Lepas dari semua itu, tradisi mengkritik madzhab Hanafi yang dilakukan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah memang merupakan kejadian sejarah yang tidak bisa diingkari. Asy-Syafi’i sendiri sudah mempeloporinya dengan “makalah” beliau yang berjudul “Ar-Rodd ‘Ala Muhammad bin Al-Hasan” (bantahan terhadap Muhammad bin Al-Hasan). Kita tahu bahwa Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani adalah murid cemerlang Abu Hanifah selain Abu Yusuf. Membantah Muhammad bin Al-Hasan secara implisit sebenarnya juga mengkritik sebagian pendapat Abu Hanifah. Salah satu contoh isi bantahan dalam “makalah” tersebut adalah terkait dengan besaran diyat pembunuhan. Muhammad bin Al-Hasan berpendapat bahwa diyat jika dibayarkan dengan uang perak jumlahnya adalah 10.000 dirham. Asy-Syafi’i membantah ukuran ini karena yang benar menurut beliau adalah 12.000 dirham. Banyak argumentasi yang disajikan Asy-Syafi’i untuk menguatkan pendapatnya ini.
Selain Asy-Syafi’i, ulama Asy-Syafi’iyyah yang terkenal membuat karya untuk menunjukkan keunggulan madzhab Asy-Syafi’i dibandingkan madzhab Abu Hanifah adalah Abu Al-Muzhoffar As-Sam’ani (489 H). Beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul “Al-Ishthilam” (الاصطلام) yang dalam versi cetak judul lengkapnya adalah “Al-Ishthilam fi Al-Khilaf Baina Al-Imamain Asy-Syafi’i Wa Abi Hanifah”.
Kitab ini adalah ringkasan dari kitab besar beliau yang bernama “Al-Burhan” (البرهان). Menurut As-Sam’ani, setelah kitab Al Burhan ini melewati berbagai perdebatan dengan ulama Hanafiyyah dan juga diskusi dengan ulama-ulama semadzhab, maka kitab ini dianggap telah berhasil “membungkam” ulama Hanafiyyah. Setelah terlihat kualitasnya, As-Sam’ani berniat membuat ringkasannya untuk memudahkan rekan-rekan semadzhabnya jika ingin mempelajari. Dari situlah lahir kitab “Al-Ishthilam.”
Dinamakan “Ishthilam” karena dimaksudkan untuk mematahkan pendapat ulama-ulama Hanafiyyah. Kata “ishthilam” berasal dari kata “sholama” yang bermakna “memotong”.
Contoh cara As-Sam’ani menunjukkan keunggulan madzhab Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut.
Terkait masalah benda yang digunakan untuk bersuci, madzhab Abu Hanifah berpendapat boleh menggunakan cairan apapun (misalnya air mawar, air cuka) untuk membersihkan najis selama memiliki fungsi melenyapkan najis dan sifat-sifatnya seperti warna, rasa maupun baunya. Pendapat ini diikuti muridnya yang bernama Abu Yusuf. Adapun menurut Asy-Syafi’i, benda yang digunakan untuk bersuci tidak boleh sembarang cairan tetapi hanya boleh satu cairan tertentu yaitu air.
Argumentasi yang dikemukakan As-Sam’ani ditulis panjang lebar. Ringkasnya kira-kira begini,
Allah telah menciptakan air untuk digunakan bersuci, dan hanya air saja yang dinyatakan oleh nash. Allah berfirman,
Artinya :
“Aku turunkan dari langit air sebagai penyuci” (Al-Furqon; 48)
Jadi, berdasarkan ayat ini dan nash-nash lain yang semisal, bisa dipahami bahwa air ditentukan sebagai alat bersuci itu adalah ketentuan syar’i, bukan karena esensi air yang bisa membersihkan najis (sehingga bisa diseret menuju kesimpulan bahwa cairan apapun selama bisa memiliki fungsi membersihkan boleh digunakan untuk membersihkan najis).
Bukti lainnya, manusia diperintahkan untuk menggunakan air demi kepentingan menyucikan diri dari hadas dan najis. Hadas adalah kotoran maknawi, bukan kotoran indrawi. Secara fisik, orang bisa saja sangat bersih tanpa kotoran, najis maupun kuman. Tetapi secara makna, dia tetap dihitung kotor setelah melakukan persetubuhan. Ditentukannya air sebagai benda penyuci hadas menunjukkan penentuan air itu adalah ketentuan syara’, bukan memperhatikan esensinya. Jika sudah terbukti bahwa air pada kasus penyucian hadas adalah penyucian secara syar’i maka penyucian untuk najis juga harus dipahami penyucian secara syar’i. Jadi, hanya air yang bisa digunakan untuk bersuci karena ditentukannya air adalah atas dasar “penunjukan” dan “pengangkatan” Allah. Bukan karena memperhatikan esensinya yang membersihkan najis.
Selain As-Sam’ani, ulama Asy-Syafi’iyyah yang berusaha menunjukkan keunggulan ijtihad Asy-Syafi’i adalah Al-Baihaqi. Di antara karya terpenting Al-Baihaqi terkait hal ini adalah kitab “Ma’rifatu As-Sunan Wa Al-Atsar” (معرفة السنن والآثار). Kitab ini pada hakikatnya ingin menunjukkan keluasan pengetahuan Asy-Syafi’i terhadap hadis, sunnah dan atsar yang dijadikan sebagai dasar istidlal untuk setiap produk hukum yang beliau munculkan. Kitab ini juga berisi bantahan terhadap Abu Ja’far Ath-Thohawi (yang bermadzhab hanafi) yang diketahui banyak menyerang ijtihad Asy-Syafi’i dan ulama syafi’iyyah. Dengan kitab ini Al-Baihaqi membuktikan bahwa Asy-Syafi’i sama sekali tidak pernah memakai riwayat majhul atau membangun hukum dengan hadis cacat.
Beberapa orang yang salah paham terhadap Asy-Syafi’i karena belum sanggup menjangkau kedalaman ijtihad Asy-Syafi’i, diluruskan oleh Al-Baihaqi dengan uraian yang sangat ilmiah dan bermutu. Misalnya dalam kitab yang berjudul “Bayanu Khotho-i Man Akh-tho-a ‘Ala Asy-Syafi’i“ (penjelasan kesalahan orang-orang yang salah paham terhadap Asy-Syafi’i).
Secara khusus Al-Baihaqi juga sempat menyoroti ikhtilaf ijtihad antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Beliau menulis kitab yang diberinama “Al-Khilafiyyat” (الخلافيات). Dalam kitab tersebut beliau menganalisis perbedaan ijtihad Syafi’iyyah dan Hanafiyyah kemudian beliau menunjukkan argumentasi-argumentasi yang menunjukkan kuatnya madzhab Asy-Syafi’i.
Persaksian Al-Baihaqi akan keunggulan madzhab Asy-Syafi’i dibandingkan madzhab hanafi, dan madzhab-madzhab lainnya diungkapkan beliau sebagai berikut,
Artinya :
“Dengan pertolongan Allah Ta’ala aku telah membandingkan ijtihad-ijtihad masing-masing para imam madzhab itu, sejauh pengetahuanku terhadap Kitabullah azza wajalla, kemudian (sejauh pengetahuanku terhadap) hadis-hadis dan atsar yang aku kumpulkan terkait hal-hal wajib, nawafil, halal, haram, hudud dan hukum. Ternyata kudapati Asy-Syafi’i rahimahullah yang paling mengikuti (Al-Qur’an dan As-Sunnah), yang paling kuat hujjahnya, yang paling sahih qiyasnya, dan paling jelas bimbingannya. Hal itu (bisa ditemukan) pada kitab-kitab yang beliau karang, baik yang lama maupun yang baru, dalam ushul maupun furu’ (yang dijelaskan beliau) dengan penjelasan paling gamblang dan bahasa yang paling fasih” (Ma’rifatu As-Sunan Wa Al-Atsar, juz 1 hlm 213)
Selain karya-karya As-Sam’ani dan Al-Baihaqi, ulama Asy-Syafi’iyyah lain yang menulis kitab untuk kepentingan menunjukkan keunggulan madzhab Asy-Syafi’i adalah Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, Al-Ghozzali, Ibnu ‘Aqomah dan Al-Mahamili. Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (478 H) mengarang kitab berjudul “Mughitsu Al-Kholq” Al-Ghozzali (505 H) mengarang kitab berjudul “Al-Mankhul Fi Ta’liqi Al-Ushul”, Ibnu ‘Aqomah (abad 6 H) mengarang kitab berjudul “Nawadiru Madzhabi Abi Hanifah Allati Yastasyni’uha Ash-habu Asy-Syafi’i Wa Ghoiruhum”, dan Al-Mahamili (415 H) mengarang kitab berjudul “Uddatu Al-Musafir Wa Kifayatu Al-Hadhir”.
Hanya saja, ulama-ulama Hanafiyyah juga tidak tinggal diam menghadapi “serangan” ini. Sebagian dari mereka juga bangkit mengarang kitab untuk menunjukkan keunggulan madzhab Hanafi dibandingkan madzhab Asy-Syafi’i. Contohnya kitab “Ar-Rodd ‘ala Asy-Syafi’i Fima Kholafa Fihi Al-Qur’an” karya Abu Sa’aid An-Naisaburi (348 H), “Al-Mushib fi Ar-Rodd ‘Ala Al-Khothib” karya ‘Isa bin Abu Bakr Al-Ayyubi (642 H), “Ar-Rodd ‘Ala Ashabi Asy-Syafi’i” karya Ali Ibnu Musa dan lain-lain.
Penganut madzhab Hanafi di zaman sekarang juga bisa berbangga karena konon madzhab Hanafi adalah madzhab yang paling banyak pengikutnya di dunia saat ini.
Pendek kata, pertanyaan pada judul artikel ini adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab hitam putih sebagaimana ilmu sains. Penentuan mana madzhab yang paling kuat kembalinya adalah penilaian-penilaian subyektif ulama yang menilainya. Kalaupun ada yang berusaha bersikap seadil mungkin kemudian menilai benar-benar dari kekuatan hujjah dan argumentasi, maka itu tetap dihitung obyektif bagi individu tertentu, tetapi subyektif bagi yang lainnya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين