Oleh : Ust. Muafa
Yang dimaksud menyebut perawi secara “mubham” adalah menyebut perawi tidak langsung dengan namanya/kunyahnya/laqobnya seperti Sufyan, Malik, Al-Humaidi dan semisalnya. Menyebut perawi secara mubham bermakna menyebut perowi dengan deskripsi yang samar dan umum yang tidak mampu memperjelas identitas perawi sampai level “mu’ayyan” (tertentu/spesifik orangnya) dan “mumayyaz” (terbedakan dengan yang lain).
Contohnya seorang perowi mengatakan “haddatsana rojulun”… (حدثنا رجل). Lafaz “rojulun” dalam kalimat itu tergolong deskripsi yang samar dan umum yang tidak mempu memperjelas identitas perawi sampai level “mu’ayyan” (tertentu/spesifik orangnya) dan “mumayyaz” (terbedakan dengan yang lain). Inilah yang dimaksud menyebutkan perawi secara “mubham”.
Asy-Syafi’i kadang-kadang menyebut perawi riwayat dalam Al-Umm secara “mubham”. Contohnya riwayat berikut ini,
Artinya :
“Seorang yang bisa dipercaya (Ats-Tsiqoh) memberitahu kami dari Al-Walid bin Katsir, dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari Ubaidillah bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya bahwasanya Rasulullah bersabda, ‘Jika air telah mencapai dua qullah maka ia tidak mengandung najis atau kotoran’” (Al-Umm, juz 1 hlm 18)
Malahan, bisa dikatakan bahwa Asy-Syafi’i cukup dikenal memperbanyak penyebutan gurunya secara “mubham” dalam berbagai riwayatnya. Lafaz-lafaz yang beliau pakai di antaranya, “akhbarona ba’dhu ash-habina”, “akhbarona ba’dhu ahlil ‘ilmi”, “akhbarona ats-tsiqoh”, “akhbarona ats-tsiqoh min ash-habina”, “akhbarona ats-tsiqoh min ahlil ‘ilmi”, “akhbarona rojulun”, “akhbarona ‘adadun min tsiqot kullihim”, “akhbarona ghoiru wahid”, “akhbarona ghoiru wahidin min ahlil ilmi”, “akhbarona ghoiru wahidin min tsiqoti ahlil ‘ilmi”, “akhbarona man atsiqu bihi min ahlil madinah”, “akhbarona man atsiqu minal masyriqiyyin”, “akhbarona man sami’a fulanan”, “akhbarona man la attahimu”, dan lain-lain.
Dalam ilmu riwayat, tujuan seorang perowi me”mubham”kan nama perawi bisa macam-macam motivasinya seperti karena lupa namanya, ragu dalam “ta’yin”, tidak mengetahui identitas seorang perawi, karena “istidh’af”, dan lain-lain.
Di kalangan kritikus hadis, riwayat yang disebutkan sanadnya dengan mengandung perawi “mubham” yang sekaligus disertai unsur “ta’dil/tautsiq” (menilai kredibel) -seperti yang dilakukan Asy-Syafi’i pada contoh di atas- dinilai secara berbeda-beda.
Sebagian kritikus hadis menilai bahwa penyebutan perawi “mubham” dengan redaksi “ta’dil/tautsiq” tetap dihukumi “mardud” (tertolak) karena kita tidak tahu apakah penilaian “ta’dil/tautsiq” itu bisa diterima ataukah tidak. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Al-Khothib Al-Baghdadi, Ash-Shoirofi, Ibnu Ash-Sholah, dan lain-lain.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa penyebutan perawi “mubham” dengan redaksi “ta’dil/tautsiq” bisa diterima selama kita percaya kepada ulama yang melakukan “ta’dil/tautsiq” tersebut. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah.
Nah, untuk kasus riwayat Asy-Syafi’i dalam “Al-Umm” ini bagaimana menilainya? Mengapa Asy-Syafi’i meriwayatkan sebagian hadis/atsar dengan menyebut perawi secara “mubham”? Apa motivasi beliau melakakukannya?
Terdapat sejumlah hipotesis yang bisa dimajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Hipotesis ini akan menjadi kuat kebenarannya setelah dilakukan penelitian menyeluruh dan komprehensif terhadap riwayat-riwayat Asy-Syafi’i dikaitkan dengan sejarah riwayat dan penulisan kitab-kitab beliau. Kemungkinan-kemungkinan alasan Asy-Syafi’i menyebut perawi secara mubham di antaranya,
Pertama, khawatir menyusupnya unsur lupa pada perawi yang berakibat rendahnya nilai akurasi riwayat. Kemungkinan alasan ini diisyaratkan Al-Baihaqi dalam kitabnya; “Manaqib Asy-Syafi’i”. Al-Baihaqi menulis,
Artinya :
“Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ‘janganlah engkau meriwayatkan dari orang hidup karena orang hidup tidak aman dari lupa’. Jadi, ada kemungkinan Asy-Syafi’i berhati-hati sehingga tidak menyebut nama orang yang beliau meriwayatkan hadis darinya sementara beliau masih hidup karena alasan ini atau alasan lainnya” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 2 hlm 317)
Kedua, faktor popularitas. Maksudanya, Asy-Syafi’i hanya menyebut seorang perawi dengan langsung kata-kata “ta’dil” seperti “Ats-Tsiqoh” karena faktor popularitas perawi tersebut di kalangan ahli hadis, sehingga jika dicari serius pasti akan ketemu riwayat dengan sanad shahih yang mengandung nama perawi yang disebut secara “mubham” itu.
Ketiga, faktor ragu. Maksudnya, Asy-Syafi’i menyebut seorang perawi dengan lafaz “Ats-Tsiqoh” karena pada saat mengarang “Al-Umm” di Mesir, kitab-kitab lama beliau (yang dikarang di Irak dan di tempat lainnya) kebetulan tidak bersama beliau. Padahal dalam kitab tersebut ada nama-nama perawi “tsiqoh” yang disebutkan dengan jelas. Jadi, pada saat menulis “Al-Umm”, beliau ragu nama persis perawi tersebut tetapi yakin ketsiqohannya sehingga dalam “Al-Umm” ditulis “akhbarona ats-tsiqoh” (orang yang bisa dipercaya memberitahu kami).
Jika hipotesis-hipotesis ini diterima, maka penyebutan perawi “mubham” oleh Asy-Syafi’i dalam “Al-Umm” tidak menjatuhkan kualitas sanadnya karena alasan-alasan “ibham”nya bukan untuk menyembunyikan aib perawi sebagaimana yang dilakukan oleh perawi-perawi “mudallis”. Wallahua’lam.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين