Oleh : Ust. Muafa
Seharusnya yang kita populerkan itu adalah orang-orang yang bisa kita tiru ilmunya, kefakihannya, akhlaknya, kebaikannya, ketangguhannya, ibadahnya, zuhudnya, dan kesalihannya. Bukan orang-orang yang “nyeleneh” dalam dien, orang-orang menyimpang, para penyesat, para pemburu ketenaran, dan para penjual akhirat untuk memperoleh kenyamanan duniawi.
Kita bisa mengambil pelajaran dari sikap Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana diceritakan putranya; Abdullah berikut ini,
Artinya :
“Ayahku (Ahmad bin Hanbal) meriwayatkan hadis dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Terkadang beliau menyebutnya “rojul” (seorang laki-laki) tanpa menyebut namanya. Setelah itu beliau meninggalkannya dan tidak meriwayatkan hadis darinya” (Al-‘Ilal Wa ma’rifatu Ar-rijal, juz 2 hlm 371)
‘Amr bin Ubaid dikenal sebagai perawi hadis. Di antara guru-gurunya adalah Al-Hasan Al-Bishri, Abu Qilabah dan Abu Al-‘Aliyah. Sejumlah ulama hadis juga meriwayatkan darinya seperti Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Yahya bin Sa’id Al-Qotthon, Ibnu ‘Uyainah, dan lain-lain. Hanya saja, sosok ini dikenal sebagai tokoh mu’tazilah. Oleh karena itu, Imam Ahmad enggan menyebut namanya dan hanya mengatakan “rojul” jika meriwayatkan hadis darinya. Bahkan setelah itu beliau memutuskan untuk tidak meriwayatkan hadis darinya sebagaimana juga dilakukan Ibnu Qotthon.
Sebagian ulama, bahkan mungkin karena begitu sensitif terhadap hal ini ada yang tidak bersedia menyebut nama hanya karena menganggap seorang ulama tertentu lemah dalam meriwayatkan hadis. Contohnya Ibnu Sirin. Beliau dikenal tidak mau menyebut nama ‘Ikrimah jika mendapatkan riwayat dari Ibnu Abbas. Hal itu karena dalam pendapat Ibnu Sirin, ‘Ikrimah ini dhoif. Padahal kita tahu ‘Ikrimah adalah perawi yang dipakai Al-Bukhari dalam shahihnya.
Al-Qur’an memberi contoh kepada kita untuk mempopulerkan orang-orang salih dan tidak memberi ruang bagi orang-orang yang tidak dapat dicontoh untuk menjadi terkenal.
Jika Al-Qur’an menceritakan ucapan, kisah dan perilaku buruk orang-orang tertentu, maka mereka disebut dengan cara “mubham” tanpa nama seperti “alladzina kafaru”, “alladzina zholamu”, “alladzina asy-roku”, “alladzina istakbaru”, al-mala’, sadatana, kubaro-ana, adh-dhollun, al-maghdhub ‘alaihim, dan lain-lain. Tokoh besar yang disebut berulang-ulangpun hanya disebut gelarnya. Misalnya Fir’aun. Istilah ini adalah sebutan untuk gelar raja Mesir kuno, mirip seperti gelar Kisro di Persia, Qoishor di Romawi, dan An-Najasyi di Habasyah. Mereka diceritakan hanya untuk diambil ibrohnya agar tidak ditiru, bukan mendorong orang untuk “kepo” menyelidiki biografi mereka sehingga malah mempopulerkannya. Hanya sedikit dalam Al-Qur’an yang menyebut nama langsung orang-orang buruk seperti Qorun, Jalut, Abu Lahab, dan Azar. Itupun karena mereka terkait dengan perkara-perkara besar yang hikmahnya diketahui Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Sebaliknya, jika menyebut orang baik, maka Allah menyebut dengan lugas namanya, bahkan disebut berulang kali dalam banyak ayat. Contohnya Adam, Idris, Hud, Nuh, Sholih, Ibrahim, Ishaq, Isma’il, Ya’qub, Yusuf, Zakariyya, Yahya, Musa, Ayyub, Idris, Maryam, Isa, Muhammad, Zaid, Dzulqornain, dan lain-lain. Dengan cara ini, tentu saja orang-orang baik akan menjadi populer, harum namanya dan menjadi teladan kebaikan.
Tradisi ini diteruskan oleh ulama-ulama Islam. Lihatlah bagaimana perhatian para ulama terhadap biografi Rasulullah. Kisah Rasulullah diteliti, ditulis, diulas dan dielaborasi secara luar biasa sampai menjadi cabang ilmu tersendiri dalam Islam, yakni ilmu sirah nabawiyyah. Nama Rasulullah diulas bukan hanya dari sisi analisis shorofnya, isytiqoqnya, dan jumlah namanya, tapi juga dibahas nasab lengkapnya sampai moyang ke dua puluh satu! Sebagian sejarawan bahkan ada yang menghubungkan nasab Rasulullah sampai nabi Ibrahim, bahkan sebagiannya menyebut nasab beliau sampai nabi Adam! Lihat pula bagaimana keseriusan ulama menyusun biografi para shahabat, ulama tabi’in, ulama tabi’ut tabi’in dan berbagai ulama di berbagai masa. Beginilah seharusnya perhatian kita terhadap orang-orang salih, dan upaya popularisasi hamba-hamba Allah yang bisa diteladani jalan hidupnya.
Jika pikiran kita banyak dipenuhi informasi kebaikan, perkenalan dengan orang-orang salih, dan pengetahuan tentang teladan-teladan hidup yang luhur, niscaya alam bawah sadar kita lama-lama juga akan terinspirasi berbuat kebaikan serupa.
Andai saja prinsip ini dipegang oleh pemilik-pemilik TV dan radio di negeri ini sehingga tahu mana tokoh yang diberi panggung dan mana yang tidak…
Andai saja prinsip ini dipegang oleh pemegang kebijakan di kampus sehingga bisa tahu siapa yang layak dijadikan pengajar mahasiswa dan mana yang tidak, siapa yang layak diundang dalam diskusi ilmiah dan mana yang tidak…
Andai saja prinsip ini dipegang oleh pemilik koran, majalah dan media cetak di negeri ini sehingga bisa tahu tulisan siapa yang layak dipopulerkan dan mana yang tidak…
Andai saja prinsip ini dipegang oleh pemilik percetakan dan pemodal industri buku sehingga tahu karya siapa saja yang layak diorbitkan dan mana yang tidak…
Andai saja prinsip ini dipegang oleh para pemuda berbakat yang bisa membuatkan video-video dan meme-meme menarik terkait dakwah dari ilmu para ulama-ulama salih itu, sehingga Youtube, Instagram dan berbagai media sosial lainnya penuh dengan tebaran ilmu manfaat…
Andai saja ..
Andai saja ..
Andai saja ..
…Niscaya umat akan lebih terbimbing dengan hidayah, tidak bingung dengan tokoh-tokoh palsu, dan tidak dikacaukan dengan para penyesat.
Jadi, marilah jangan salah mempopulerkan orang.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الربانيين