Oleh : Ust. Muafa
Studi kasus: Kitab “Al-Khulashoh” karya Al-Ghozzali
Waham (kesilapan/i’tiqod marjuh/fancy/illusion/gholath/mistake/persepsi keliru dalam hati/
pikiran yang salah) adalah manusiawi. Ulama-ulama besarpun beberapa kali terjatuh di dalamnya. Saya pernah menulis secara khusus tentang contoh-contoh waham ulama dalam tulisan yang berjudul “Waham-Waham Ulama”. Silakan dibaca di website IRTAQI untuk memperoleh gambaran. Waham-waham ulama itu jika diambil ibrahnya sesungguhnya adalah di antara ayat-ayat Allah yang menunjukkan bahwa sehebat apapun seseorang di mata manusia, pasti dia memiliki celah kekurangan. Tidak ada yang maksum dalam dien ini selain para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, waham ini bisa memberikan hikmah besar yakni, kekaguman manusia nantinya akan terpusat dan ditujukan hanya kepada Allah saja. Sikap terhadap ulama akan selalu tetap proporsional. Kita menghormati dan mencintai mereka karena Allah, tetapi tetap kritis dan tidak memaksumkan.
Dari waham-waham ulama itu kita juga bisa belajar lebih teliti. Bukan untuk menarget diri agar menjadi makhluk sempurna tanpa cacat yang tidak mungkin salah, tetapi untuk melatih diri agar lebih hati-hati dan teliti sehingga ilmu yang dipelajari dan diajarkan semakin sedikit tercampuri dengan kesalahan. Nah, dengan maksud itu pada tulisan ini kita akan belajar ketelitian itu melalui kajian salah satu kitab fikih yang ditulis Al-Ghozzali. Kitab tersebut bernama “Al-Khulashoh” (الخلاصة). Kitab ini adalah di antara kitab fikih mazhab Asy-Syafi’i yang sering dikutip dengan disertai waham-waham, baik dalam hal akurasi nama, “nasab”/genealoginya, maupun penisbahannya.
“Al-Khulashoh” adalah kitab mukhtashor yang dibuat Al-Ghozzali untuk meringkas “Mukhtashor Al-Muzani”. Dalam kitab ini Al-Ghozzali bukan hanya meringkas, tetapi juga menyusun ulang topik-topik yang terpencar-pencar dalam Mukhtashor Al-Muzani agar lebih enak dikaji dan lebih mudah dihafal.
Murtadho Az-Zabidi dalam kitab “Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin” menukil nama lengkap “Al-Khulashoh” adalah “Khulashotu Al-Wasa-il Ila ‘Ilmi Al-Masa-il” (خلاصة الوسائل إلى علم المسائل). Adapun nama yang bisa dibuktikan telah diberikan oleh pengarang sendiri adalah “Khulashotu Al-Mukhtashor Wa Naqowatu Al-Mu’tashor” (خلاصة المختصر ونقاوة المعتصر).
As-Saqqof menyebut dalam “Al-Fawaid Al-Makkiyyah” bahwa “Al-Khulashoh” karya Al-Ghozzali ini adalah ringkasan Al-Wajiz. Ini jelas waham, karena Al-Ghozzali sendiri menyebut “Al-Khulashoh” sebagai ringkasan “Mukhtashor Al-Muzani” dalam muqoddimah “Al-Khulashoh” itu sendiri. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Al-Ghozzali juga menegaskan hal tersebut,
“Adapun untuk ilmu fikih, kadar minimal adalah mempelajari materi yang dikandung dalam ‘Mukhtashor Al-Muzani’ rahimahullah. Kitab ini adalah yang saya susun ulang dalam kitab ‘Khulashotu Al-Mukhtashor” (Ihya’ Ulumiddin, juz 1 hlm 40)
Jadi, kitab “Al-Khulashoh” adalah ringkasan kitab “Mukhtashor Al-Muzani” bukan ringkasan kitab “Al-Wajiz”.
Waham lain yang terkait kitab “Al-Khulashoh” adalah hubungannya dengan kitab “‘Unqudu Al-Mukhtashor”. Az-Zabidi memberi catatan bahwa kitab Al-Ghozzali yang bernama “‘Unqudu Al-Mukhtashor Wa Naqowatu Al-Mu’tashor” adalah kitab yang berbeda dengan “Al-Khulashoh”. Kitab “Unqudu Al-Mukhtashor” menurut beliau adalah kitab lain. Bahkan Az-Zabidi menegaskan di tempat yang lain bahwa kitab “Unqudu Al-Mukhtashor” adalah ringkasan dari kitab Abu Muhammad Al-Juwaini yang bernama “Mukhtashor Al-Mukhtashor”, sementara kitab Abu Muhammad Al-Juwaini ini adalah ringkasan dari “Mukhtashor Al-Muzani”. Menurut Dr. Amjad, ini waham, karena mustahil Al-Ghozzali meringkas mukhtashor dari “Mukhtashor Al-Muzani” sementara pada saat yang sama beliau juga langsung meringkas “Mukhtashor Al-Muzani”. Ini membuang-buang waktu dan tidak berfaidah. Dr.Amjad menduga kuat bahwa “‘Unqudu Al-Mukhtahsor” sebenarnya adalah nama lain “Al-Khulashoh” ini juga.
Waham lain yang terkait kitab “Al-Khulashoh” adalah hubungannya dengan kitab “‘Ushorotu Al-Mukhtashor”. Zakariyya Al-Anshori dalam “Fathu Al-Wahhab” menyebut ada karya Al-Ghozzali yang bernama “‘Ushorotu Al-Mukhtashor”. Beliau menulis,
“…Az-Zarkasyi menukil dari (kitab) ‘Ushorotu Al-Mukhtashor’ karya Al-Ghozzali bahwa (menyentuh sampul yang telah terpisah dari mushaf hukumnya) haram juga” (Fathu Al-Wahhab, juz 1 hlm 11)
Sulaiman Al-Jamal dalam hasyiyahnya menafsirkan “‘Ushorotu Al-Mukhtashor” ini sebagai kitab “Al-Wajiz”. Beliau berkata,
“Ucapan beliau yang berbunyi ‘dari “‘Ushorotu Al-Mukhtashor”, maksudnya adalah matan ‘Al-Wajiz’ karya Al-Ghozzali” (Hasyiyah Al-Jamal, juz 1 hlm 74)
Ini waham, karena “Al-Wajiz” adalah ringkasan kitab “Al-Wasith” karya Al-Ghozzali, bukan ringkasan langsung dari kitab “Mukhtshor Al-Muzani”. Yang lebih tepat adalah mengatakan bahwa “‘Ushorotu Al-Mukhtashor” adalah sebutan lain untuk kitab “Al-Khulashoh”. Buktinya, kutipan hukum yang dinukil Zakariyya Al-Anshori dari Az-Zarkasyi isinya sama persis seperti yang tersebut dalam “Al-Khulashoh”.
Dengan demikian bisa kita simpulkan, “Al-Khulashoh” karya Al-Ghozzali adalah ringkasan dari “Mukhtashor Al-Muzani”, bukan ringkasan “Al-Wajiz”. Nama panjangnya adalah “Khulashotu Al-Mukhtashor Wa Naqowatu Al-Mu’tashor” (خلاصة المختصر ونقاوة المعتصر). Ia juga disebut dengan nama “‘Unqudu Al-Mukhtashor Wa Naqowatu Al-Mu’tashor” (عنقود المختصر ونقاوة المعتصر) atau “‘Ushorotu Al-Mukhtashor” (عصارة المختصر).
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين