Oleh : Ust. Muafa
Definisi waham (الوَهْمُ) adalah,
“Persepsi keliru dalam hati atau pikiran yang salah”
Jadi waham adalah jenis i’tiqod marjuh/fancy/illusion atau gholath/mistake. Dalam bahasa kita secara mudah boleh kita terjemahkan KESILAPAN. Istilah waham sudah diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI, waham didefinisikan sebagai berikut,
“Keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika; sangka; curiga”
Waham adalah kesalahan manusiawi. Sebuah kesalahan yang wajar. Semua manusia tentu pernah melakukannya. Jangankan manusia biasa, Rasulullah saja pernah mengalami waham ketika beliau keliru menghitung rakaat salat. Beliau menyangka sudah empat rakaat padahal baru dua. Adanya waham pada manusia suci dan ma’shum adalah di antara ayat Allah untuk menunjukkan bahwa kita lemah, tidak sempurna dan sering keliru sehingga tidak layak sombong dan dikultuskan.
Demikian pula para ulama. Jika diteliti karya-karya mereka niscaya akan ditemukan satu-dua atau sejumlah waham yang hanya akan diketahui orang yang menyelidikinya. Ulama besar sekalipun. Kita ambil contoh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.
Kepakaran Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam hadis tidak perlu lagi dipertanyakan. Hafalannya banyak, ingatannya sangat tajam, penguasaannya terhadap sanad dan matan luar biasa sampai beliau digelari Al-Hafizh. Kendati demikian, beberapa kali beliau mengalami waham dalam menisbatkan lafaz atau takhrij hadis.
Contohnya pada hadis pertama tentang air lautan dalam kitab Bulughul Marom. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menulis lafaz hadis tentang hukum air laut tanpa kata “wawu” pada kata “Al-Hillu”,
Artinya,
“(Air laut itu) ia mensucikan, halal bangkainya”
Manuskrip-manuskrip yang dijadikan dasar untuk mencetak Bulughul Marom juga ditulis tanpa “wawu”, sehingga hal ini bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Hajar memang menulisnya tanpa “wawu”. Percetakan Dar Ibnu Hazm dan Dar Al-Qobas pun mencetak kitab ini tanpa menyertakan “wawu”. Di sisi lain, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani sendiri menerangkan bahwa lafaz yang beliau pakai adalah lafaz yang terdapat pada Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, sementara lafaz yang ada di sana menyertakan “wawu” sehingga matan hadis berbunyi,
Artinya,
“(Air laut itu) ia mensucikan dan halal bangkainya”
Oleh karena itu, hilangnya “wawu” ini bisa dipahami sebagai contoh waham kecil Ibnu Hajar Al Asqolani.
Hanya saja, secara aqli mungkin saja dipahami bahwa kesalahan terjadi bukan dari Ibnu Hajar tetapi dari para nussakh (penyalin) manuskrip. Tetapi, tesis ini masih perlu bukti-bukti yang meyakinkan untuk diterima. Kita pakai contoh lain yang lebih jelas untuk menunjukkan waham Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.
Pada bab “Izalatu An-Najasah” dalam kitab Bulughul Marom, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani membawakan hadis tentang percakapan Khoulah binti Yasar dengan Rasulullah terkait cara menyucikan darah haid. Di akhir riwayat, Ibnu Hajar menyebut bahwa hadis itu diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Ini adalah waham, karena dalam Sunan At-Tirmidzi tidak ada riwayat tersebut. Ibnu Hajar sendiri dalam kitab takhrijnya yang terkenal; “At-Talkhish al-Habir” tidak menyebut At-Tirmidzi pada saat menjelaskan jalur-jalur periwayatan hadis tersebut. Demikian pula Ibnu Al-Mulaqqin dalam kitab “Al-Badru Al-Munir”.
Waham juga menimpa Ibnu Ar-Rif’ah, seorang ulama madzhab Asy-Syafi’i yang dipuji keluasan ilmunya oleh Ibnu Taimiyyah dengan sebutan “orang alim yang menetes dari jenggotnya fikih Asy-Syafi’iyyah”. Ibnu Ar-Rif’ah mengarang sebuah kitab berjudul “Kifayatu An-Nabih” (كفاية النبيه) untuk mensyarah mukhtashor terkenal karya Asy-Syirozi yang berjudul At-Tanbih (التنبيه). Hanya saja, dalam penelitian Al-Isnawi, tulisan Ibnu Ar-Rif’ah mengandung cukup banyak waham. Akhirnya beliau karang sebuah kitab khusus untuk menunjukkan dan mengoreksi waham-waham itu. Lahirlah kitab yang berjudul “Al-Hidayah Ila Auhami Al-Kifayah” (الهداية إلى أوهام الكفاية).
As-Sakhowi juga punya waham. Contohnya saat beliau menyebut ulama Asy-Syafi’iyyah yang menyempurnakan Al-Majmu’. Telah diketahui bahwa yang melanjutkan syarah kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi adalah Taqiyyuddin As-Subki, tetapi ada satu kalimat yang ditulis As-Sakhowi dalam kitab “Al-Manhal Al-‘Adzbu Ar-Rowiyy” yang keliru meyebutnya Tajuddin As-Subki.
Asy-Syaukani juga memiliki sejumlah waham. Terutama sekali dalam ilmu qiroat. Siapapun yang membaca kitab tafsir beliau yang bernama “Fathu Al-Qodir” (فتح القدير) kemudian menelaah penjelasan beliau saat menafsirkan ayat dan menyebut variasi qiroat serta penisbatannya, akan mendapati sejumlah waham-waham. Cobalah membandingkan penjelasan beliau untuk surah-surah ringan seperti An-Naba’ lalu bandingkan dengan keterangan para pakar qiroat seperti Ibnu Al-Jazari dalam “An-Nasyr Fi Al-Qiroat Al-‘Asyr”, Abu ‘Amr Ad-Dani dalam “Jami’u Al-Bayan”, Ibnu Mujahid dalam “As-Sab’ah Fi Al-Qiro-at”, Abu ‘Ali Al-Farisi dalam “Al-Hujjah”, Ibnu Kholaf Al-Muqri’ dalam “Al-‘Unwan Fi Al-Qiro-at As-Sab’i”, Ibnu Zanjalah dalam “Hujjatu Al-Qiro’at”, Abu Al-Qosim Al-Hudzali dalam “Al-Kamil Fi Al-Qiro-at”, Ibnu Kholawaih dalam “Al-Hujjah Fi Al-Qiro-at As-Sab’i”, dan semisalnya, insya Allah Anda akan menemukan waham-waham Asy-Syaukani rahimahullah dalam jumlah yang lumayan.
Beliau yang saya sebutkan di atas semuanya adalah raksasa-raksasa ilmu. Tetapi fakta menunjukkan mereka bisa melakukan kekeliruan dan memiliki waham. Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada tokoh dan ulama di dunia ini yang maksum. Oleh karena itu, sikap yang proporsional terhadap ulama adalah menghomati dan menimba ilmu darinya tetapi tidak keterlaluan dalam mengagumi apalagi sampai mengkultuskannya.
Dari sinilah pentingnya syariat NASIHAT dan AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR. Adanya kesalahan dan waham-waham itu akan membuat orang yang berilmu tetap memiliki akhlak rendah hati, sementara kaum muslimin yang bukan ulama tetap menjadikan Allah sebagai puncak kekagumannya, bukan tokoh-tokoh dan ulama-ulama tersebut. Jikalaupun seorang muslim mencintai seorang manusia (termasuk di antaranya ulama), maka cintanya hanyalah atas dasar cinta kepada Nya, yakni cinta yang diizinkan-Nya atau diperintahkan-Nya.
Kesalahan dan waham ulama harus ditempatkan secara proporsional. Harus dipetakan dan diuraikan mana kesalahan yang tergolong kesalahan mayor dan mana yang tergolong kesalahan minor. Harus dibedakan mana yang termasuk wahm, zallah, khotho’ atau yang mencapai level kemunkaran. Level kelembutan dan ketegasan dalam mengoreksi berbeda-beda tergantung jenis kesalahannya dan sikap pelaku terhadap kesalahan tersebut.
Nasihat ini sangat perlu untuk kita semua. Agar selalu bisa bersikap adil dan kritis kepada para ulama, tetapi tetap hormat kepada mereka. Agar tidak terjatuh pada fanatisme buta ketika memutuskan untuk berafiliasi ke kelompok/organisasi/madzhab/harokah/partai/manhaj tertentu. Agar tidak mati-matian membela tokoh tertentu dalam mencarikan alasan/”udzur” pada sebuah kesalahan yang nyata di mata, tetapi bersifat “garang” jika kesalahan itu ada pada tokoh di luar komunitasnya.
وارحم واًصلح أمة نبينا محمد
2 Comments
Muhammad
Mohon maaf ustadz, ini sumbernya dari mana ya ? Kok saya cari tidak ketemu.
(Sumber buku, tesis ataupun jurnal)
Terima kasih
Admin
versi lengkap untuk para intelektual biasanya sy tulis di buku 🙂
kalau versi situs memang untuk masyarakat awam dan umum