Oleh : Ust. Muafa
Al-Mawardi yang dimaksud di sini adalah Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad shohibul hawi, yakni pengarang kitab “Al-Hawi Al-Kabir” yang telah kita buatkan resensinya dalam tulisan yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Hawi Al-Kabir Karya Al-Mawardi”.
Menyebarkan “manaqib/virtues” (sifat baik/kebajikan) orang salih adalah di antara petunjuk Al-Qur’an yang terpenting. Jika indra, persepsi, dan pikiran kita selalu “dibombardir” dengan kisah-kisah teladan dan akhlak-akhlak mulia, cepat atau lambat “input pengetahuan” itu akan mempengaruhi akhlak kita, cara pikir kita dan perilaku. Dalam rangka itulah pada kesempatan kali ini kita ingin mengangkat salah satu “manaqib” menarik dari kisah hidup Al-Mawardi yang terkait dengan canda.
Seperti apa aktivitas dan akhlak Al-Mawardi sehari-hari ditulis oleh Yaqut Al-Hamawi sebagaimana dituturkan oleh murid Al-Mawardi yang bernama Abdul Malik berikut ini,
“Muhammad bin Abdul Malik Al-Hamadzani memberitahu, (ia berkata) ayahku memberitahu aku, ia berkata, ‘Aku mendengar Al-Mawardi berkata, ‘Aku menulis fikih secara panjang lebar dalam 4000 waroqoh lalu aku ringkas dalam 40 waroqoh’. Beliau memaksudkan kitab panjang lebar adalah kitab Al-Hawi sementara yang ringkas adalah kitab Al-Iqna’. (Muhammad berkata) beliau (Abdul Malik, sang ayah) mensyarahnya yakni kitab Al-Hawi itu, dan menggantikan Al-Mawardi dalam mengajar selama 5 tahun. (Abdul Malik berkata), saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih berwibawa daripada beliau (Al-Mawardi). Saya juga tidak pernah mendengar sesuatupun sama sekali dari beliau yang membuat tertawa. Saya juga tidak pernah melihat lengannya semenjak menjadi muridnya sampai beliau meninggal dunia” (Mu’jam Al-Udaba’/Irsyadu Al-Arib Ila Ma’rifai Al-Adib, juz 5 hlm 1956)
Dalam kisah di atas, Abdul Malik bersaksi bahwa Al-Mawardi tidak pernah sama sekali melontarkan ucapan yang memancing orang tertawa. Abdul Malik mengatakan,
“…Saya juga tidak pernah mendengar sesuatupun sama sekali dari beliau yang membuat tertawa…”
Pernyataan Abdul Malik ini redaksinya umum, mencakup dalam majelis maupun di luar majelis ilmu. Artinya, bisa kita simpulkan bahwa cara Al-Mawardi dalam mengasuh majelis adalah dikondisikan berwibawa sehingga sama sekali tidak ada canda dan sama sekali tidak ada tawa.
Ketika Abdul Malik mengatakan tidak pernah mendengar sama sekali dari Al-Mawardi ucapan apapun yang membuat tertawa, tentu saja hal ini tidak bermakna bahwa Al-Mawardi dipastikan secara mutlak tidak pernah bercanda. Sebab, masih dimungkinkan kondisi itu hanya sebatas sepengetahuhan muridnya. Di rumah bisa saja beliau sering bercanda dengan istri dan anak-anaknya. Tapi, paling tidak hal ini menunjukkan bagaimana sikap dominan Al-Mawardi yang berwibawa dan sangat menjaga kehormatan.
Banyak bercanda dan tertawa memang bisa menjatuhkan wibawa. Membuat diremehkan orang. Sebagian sastrawan membuat perumpamaan dengan mengatakan “singa itu menakutkan dan berwibawa karena “pendiam”nya, sebaliknya nyamuk yang gemar ribut lebih cepat matinya”
Karena itulah, Abdul Malik bersaksi bahwa pribadi yang paling berwibawa selama hidup yang pernah dikenalnya adalah sang guru; Al-Mawardi.
Entah mengapa, kisah-kisah semacam ini disebutkan dalam sejumlah kitab biografi ulama dalam konteks sebagai salah satu “manaqib” yang bernilai positif sehingga tentu saja bisa dijadikan salah satu contoh yang menginspirasi untuk diteladani.
Kalau begitu apakah haram bercanda saat ceramah agama?
Tentu saja tidak bisa secara gegabah langsung disimpulkan demikian. Karena hal itu masuk dalam hukum canda yang harus dirinci. Hanya saja, upaya membentuk wibawa kajian Islam dan upaya mendekatkan kaum muslimin dengan cara mengajar dien ini sedekat mungkin dengan cara para Nabi -saya yakini- adalah cara paling mujarab untuk mendidik manusia dan mengobati penyakit-penyakit mereka. Hadis-hadis Nabi ﷺ menunjukkan bahwa sikap shahabat dalam menghadiri majelis Rasulullah ﷺ adalah sangat tenang, tercipta suasana khidmat nan serius, tidak ada gerakan yang tidak perlu, seolah-olah menjaga agar burung yang berada di kepala mereka tidak terbang karena terusik oleh gerakan.
Jika teringat hadis-hadis semacam ini, saya jadi terhenyak dan tersentak. Karena ternyata masih banyak yang harus dibenahi dalam diri ini.
اللهم كما حسنت خلقي فحسن خلقي