Oleh Ustaz Muafa
Mana pelafalan yang lebih tepat antara Al-Bajuri ataukah Al-Baijuri sudah pernah saya buatkan catatan dalam artikel berjudul “Al-Bajuri Ataukah Al-Baijuri?”. Fokus kita kali ini bukan pada “dhobth” nama Al-Bajuri, tetapi pada resensi bukunya.
Secara genalogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang telah saya buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”. Matan Abu Syuja’ yang sangat terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari di masyarakat yang bernama “Fathu Al-Qorib’ karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (w.918 H). Nah, kitab “Fathu Al-Qorib” inilah yang dibuatkan Hasyiyah oleh Al-Bajuri sehingga karyanya kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri (حاشية الباجوري).
Pengarang kitab ini bernama Ibrohim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Al-Mishri. Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan bermulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya beliu naik sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Di antara murid Al-bajuri yang terkenal adalah Rifa’ah Ath-Thohthowi.
Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqoddimah kitabnya. Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashor yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Termasuk pula hasyiyah “Fathu Al-Qorib” yang bernama “Hasyiyah Al-Birmawi”. Hanya saja, beliau melihat dalam “Hasyiyah Al-Birmawi” ini masih banyak ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem ini, beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya untuk membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.
Hasyiyah Al-Bajuri populer di masyarakat karena bahasanya enak, indah dan mudah dicerna. Kemudahan bahasa ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dari kitab ini sekaligus menjadi keistimewaannya jika dibandingkan dengan hasyiyah-hasyiyah yang lain.
Keistimewaan lain “Hasyiyah Al-Bajuri” adalah menjelaskan semua istilah dalam berbagai bidang ilmu sehingga akan sangat memudahkan pembacanya untuk memahami isinya. Jika ada “illat shorf” pada sebuah kata, maka Al-Bajuri akan menjelaskan wazannya, proses i’lalnya, proses ibdalnya, proses pembentukan jamaknya, asal mufrodnya, bentuk mudzakkarnya, dan bentuk muanntasnya. Jika ada ungkapan yang salah dalam “Fathu Al-Qorib” maka beliau mengoreksinya. Jika ada ungkapan yang kurang jelas maka beliau memperjelasnya. Jadi, “Hasyiyah Al-Bajuri” itu detail, padat isi, dan luas jangkauannya.
Keistimewaan yang lain, meskipun kitab ini dinamai hasyiyah, tapi secara fakta justru malah lebih dekat ke syarah. Syarah lebih mudah “ditelan” oleh pemula daripada hasyiyah. Oleh karena itu hasyiyah Al-Bajuri tidak mensyaratkan pengkajinya harus mencapai level “expert” dalam mazhab Asy-Syafi’i untuk memahaminya.
Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah hasyiyah. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam hasyiyah memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari matan/muktashor dan menghafalnya bukan langusng mengkaji hasyiyah. Ahmad bin Hasan Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata,
“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji hasyiyah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa”
Hasyiyah hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan oleh pengarang hasyiyah. Pengarang hasyiyah hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu.
Tapi “Hasyiyah Al-Bajuri” ini beda. Karena pendekatan menulisnya lebih ke arah syarah, pelajar pemula yang merangkak menuju level menengah insya Allah bisa memanfaatkannya.
Adapun metode penulisannya, Al-Bajuri dalam menerangkan ungkapan dalam “Fathu Al-Qorib”, beliau memberikan “quyud” (batasan-batasan) dan “amtsilah” (contoh-contoh) agar maksudnya lebih mudah ditangkap. Untuk kata-kata dan ungkapan tertentu kadang-kadnag Al-Bajuri membahas juga aspek i’rob dan nahwunya.
Jika ada pembahasan furu’ fikih, maka Al-Bajuri akan menjelaskan kaidah ushul yang mendasarinya, termasuk aspek nahwu, dan asybah -nazhoirnya. Jika dibahas nahwu maka Al-Bajuri akan menyebutkan “syahid-syahid” (dalil kebahasaan) yang relevan dengan pembahasan nahwu tersebut.
Jadi kitab ini sungguh kaya cita rasa. Orang akan merasakan pembahasan fikih, ushul fikih, bahasa, dan “rasa-rasa” yang lainnya.
Adapun referensi yang dipakai Al-Bajuri untuk menulis hasyiyah ini, hal itu meliputi karya-karya Asy-Syafi’i, nukilan-nukilan dari ashabul wujuh, syarah-syarah mukhtashor Al-Muzani, kitab-kitab Al-Ghozzali, kitab-kitab syaikhon, kitab-kitab Ibnu Ar-Rif’ah, syarah-syarah Minhaj Ath-Tholibin, dan kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori dan syarah-syarahnya. Beliau juga banyak mengambil rujukan dari syarah-syarah matan Abu Syuja’, Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini, “Fathu Al-Ghoffar” karya Ibnu Qosim Al-‘Abbadi, hasyiyah-hasyiyah “Fathu Al-Qorib” seperti “Hasyiyah Al-Qolyubi”, “Hasyiyah Al-Birmawi”, “Hasyiyah Athiyyah Al-Ujhuri”, “Hasyiyah Al-Bulbaisi” dan lain-lain.
Dengan referensi sebanyak ini wajar jika mutu “Hasyiyah Al-Bajuri” masuk dalam jajaran kitab syarah dan hasyiyah level tinggi.
Dalam menulis hasyiyah, Al-Bajuri juga menjelaskan mana pendapat mu’tamad, mana yang bukan mu’tamad, mana yang rojih, dan mana yang marjuh.
Dalam kitab ini, Al-Bajuri juga menyebut ikhtilaf antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli. Seringkali beliau menguatkan pendapat Ar-Romli. Hal ini wajar, karena Al-Bajuri banyak belajar pada ulama Mesir dan bahkan menjadi syaikhul azhar di negeri tersebut, sementara kita tahu mayoritas tumpuan ulama-ulama Mesir adalah kitab-kitab Ar-Romli, terutama kitab “Nihayatu Al-Muhtaj”. Kata Al-Kurdi dalam Al-“Fawaid Al-Madaniyyah”, ulama-ulama Mesir telah “diikat perjanjian” bahwa mereka hanya akan mengambil ijtihad dan fatwa Ar-Romli saja. Hanya saja Al-Bajuri kadang-kadang menguatkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami pada persoalan-persoalan yang beliau pandang cocok dengan masanya. Tapi yang seperti ini jumlahnya sedikit dan terbatas.
Di antara urgensi kitab ini, Al-Bajuri banyak membahas isu-isu yang sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat (wanita/aurot), hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita ajnabiyyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi/tubektomi, masalah riba dan lain-lain.
“Hasyiyah Al-Bajuri” telah ditahqiq oleh syaikh Mahmud Al-Hadidi. Dalam mentahqiq, Al-Hadidi meneliti 5 manuskrip dan 3 edisi cetakan yang mana satu naskah telah dikoreksi oleh Abu Al-Wafa’ Nashr Al-Hurini. Motivasi Al-Hadidi dalam mentahqiq adalah atas permintaan dan saran para ulama sejawat dan para penuntut ilmu yang mengadu kesulitan menelaah “Hasyiyah Al-Bajuri” dari terbitan-terbitan lama yang dipenuhi kesalahan cetak dan kesalahan ilmiah.Empat tahun dihabiskan Al-Hadidi untuk mentahqiq kitab ini atas supervisi penerbit Dar Al-Minhaj sampai akhirnya bisa terbit dalam 4 jilid dengan ketebalan hampir 3000 halaman.
Al-Bajuri wafat pada hari kamis, 28 Dzul Qo’dah tahun 1276/1277 H.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين