Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sehari sebelum perang Badar berkecamuk, Abu Jahal (atau Abu Al-Hakam menurut julukan orang-orang musyrik Mekah) sempat berdoa dengan redaksi sebagai berikut,
“Ya Allah, orang yang paling memutuskan tali silaturahmi di antara kami dan yang paling membawa (gagasan/ide) teraneh (pemikiran paling bid’ah) yang tidak kami kenal, maka binasakanlah dia esok hari”
Ini adalah doa “mubahalah” ala Abu Jahal. Dia bermaksud meminta kepada Allah agar membinasakan siapa yang tersesat, apakah kelompoknya di kalangan pasukan Quraisy ataukah kelompok kaum muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad ﷺ.
Akhirnya sejarah mencatat bahwa Abu Jahal tewas dalam perang Badar dan kaum musyrik Quraisy kalah secara memalukan dalam pertempuran tersebut.
Kisah ini terekam dalam Musnad Ahmad, Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Siroh Ibnu Hisyam, Ar-Rohiqu Al-Makhtum dan kitab-kitab siroh Nabi ﷺ yang lain.
Ada beberapa pelajaran penting berdasarkan kisah Abu Jahal ini. Di antaranya,
Pertama, makna kafir itu bukan dibatasi pada orang yang tidak percaya Allah saja. Abu Jahal percaya kepada Allah, bahkan berdoa kepada-Nya. Kendati demikian Allah dan Rasul-Nya menyebut Abu Jahal kafir.
Kedua, makna kafir bukan dibatasi pada orang yang tidak beragama saja. Abu Jahal beragama. Percaya kepada Tuhan dan beribadah kepadanl-Nya. Orang yang mengakui adanya Tuhan, mengenal Tuhan dan bahkan beribadah menyembah-Nya bertahun-tahun bisa jadi tetap jatuh pada kekafiran. Buktinya Iblis. Makhluk ini adalah tipikal orang yang percaya Tuhan, mengenalnya, bahkan bisa “berdialog” dengan-Nya, serta menyembah-Nya mungkin selama ribuan tahun. Namun gara-gara arogansi dan pembangkangannya, Allah memurkainya dan mencapnya sebagai kafir.
Ketiga, orang yang jelas dalam kesesatan kadang tidak menyadari kesalahannya. Dia terus merasa dalam kebenaran sampai menjelang kematiannya. Abu Jahal tidak merasa dirinya salah. Malah dengan sangat percaya diri berdoa kepada Allah untuk membinasakan orang yang justru berada dalam kebenaran dan dicintai Allah.
Keempat, orang tersesat pun memiliki standar-standar “kebenaran” yang ia yakini dan perjuangkan. Pada doa Abu Jahal tadi, dia meyakini bahwa memutus silaturrahim adalah salah. Dia juga meyakini bahwa menggagas ide baru yang merusak adalah mengacaukan masyarakat. Dia melihat orang yang masuk Islam kadang hubungannya menjadi renggang dengan kerabatnya, suami terpisah dengan istrinya, orang tua terpisah dengan anaknya, paman bermusuhan dengan keponakannya dan sebagainya. “gagasan baru” Muhammad menurut Abu Jahal membawa perpecahan, mengusik kedamaian dan menimbulkan problem “disintegrasi”.
Kelima, kalau begitu, bagaimana menjamin diri memperoleh standar kebenaran sejati? Rasulullah ﷺ dan para shahabat jelas benar dan diridhai Allah. Abu Jahal dan kawan-kawannya jelas kafir dan dimurkai Allah. Oleh karena itu, hal ini memberi petunjuk sederhana bahwa ukuran menilai kebenaran harus dikembalikan kepada wahyu. Kesalahan Abu Jahal adalah tidak mau beriman kepada Rasulullah ﷺ sehingga standar salah-benar yang ia miliki adalah pertimbangan akalnya sendiri, bukan wahyu dari Allah. Rasulullah ﷺ dan para Shahabat berada dalam kebenaran karena mereka percaya kepada wahyu yang turun kepada Rasulullah ﷺ dan menjadikannya sebagai standar dalam menilai salah-benar.
Keenam, definisi kafir dalam konteks beragama yang diajarkan Islam adalah orang yang tidak mau mempercayai Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah dan mengikutinya. Abu Jahal disebut kafir bukan karena tidak percaya Tuhan, tetapi tidak mau percaya kepada Muhammad ﷺ sebagai Nabi dan Utusan Allah. Maka semua agama selain Islam pemeluknya disebut kafir karena faktor ini.
Ketujuh, kadang perdebatan antara orang yang berada dalam kebenaran dengan orang yang berada dalam kesesatan tidak selesai pada tataran dialog pemikiran saja, tetapi diselesaikan dengan saling mendoakan laknat atau yang disebut dengan istilah Mubahalah. Pada level ini orang yang yakin berada dalam kebenaran tidak pernah ragu selangkahpun untuk menyambut tantangan Mubahalah.
Kedelapan, benturan antara kebenaran dan kebatilan jangan disangka akan berhenti pada level pemikiran dan dialog semata. Sejarah menunjukkan, kadang pertempuran dua pemikiran itu pada akhirnya mencapai konfrontasi fisik juga.
#######
Muafa
19 Rabi’u Ats-Tsani 1438 H
2 Comments
Hangga
Ini referensi nya drmn ya klo boleh tau?
Admin
ada dalam banyak kitab Siroh.
misalnya di siroh Ibnu Hisyam, Ar-Rohiq Al-Makhtum, Musnad Ahmad, dll