Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Nama asli kitab ini sebagaimana diterangkan pengarang dalam muqoddimah adalah “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid”(التَّجْرِيدَ لِنَفْعِ الْعَبِيدِ). Secara singkat terkadang disebut dengan nama “At-Tajrid”. Makna bahasa “tajrid” jika terkait dengan kitab adalah “tahdzib/tanqiyah” (pembersihan). Jadi, dengan pemilihan kata “tajrid” ini berarti pengarang bermaksud untuk menulis sebuah kitab yang bersifat ringkas, berisi inti-inti pembahasan, seraya membuang hal-hal yang dianggap bertele-tele atau kurang urgensinya. Dengan kata lain, kitab “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid” meskipun berupa hasyiyah, tetapi sifatnya adalah ringkasan. Sebagian orang yang pernah menelaahnya memang ada yang mensinyalir bahwa Hasyiyah Al-Bujairimi ini adalah ringkasan dari kitab “Hasyiyah Al-Jamal”/”Futuhat Al-Wahhab” yang telah kita buatkan resensi sebelumnya (silakan dibaca tulisan yang berjudul “Mengenal Kitab “Hasyiyah Al-Jamal””). Oleh karena itu, wajar jika isi “Hasyiyah Al-Bujairimi” lebih ringkas dari pada “Hasyiyah Al-Jamal”. Lafaz “naf’i” bermakna memberi manfaat. Kata “abid” adalah bentuk jamak dari “abdun” yang bermakna hamba. Jadi, kira-kira makna lengkap “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid” adalah sebuah karya yang sifatnya ringkas untuk memberi manfaat para hamba.
Nama pengarangnya adalah Al-Bujairimi (البجيرمي). Pelafalan yang lebih akurat adalah Al-Bujairimi (dengan mengkasrohkan ro’), bukan Bujairomi (dengan memfathahkan ro’) karena nama tersebut adalah nama dengan “wazan isim tashghir” sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zabidi dalam “Taj Al’Arus”. Nama lengkap beliau, Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bujairimi. Ini adalah nama lengkap yang tertera pada muqoddimah kitab ini. Lahirnya pada tahun 1131 H di Bujairim, sebuah desa di area barat Mesir. Saat kecil, beliau datang ke Kairo lalu belajar dan mengajar di Al-Azhar. Beliau dipuji sebagai faqih, muhaddits (ahli hadis), dan “khotimatul muhaqqiqin” (pamungkas para muhaqqiq). Beliau buta di akhir hayatnya.
Motivasi penulisan kitab ini adalah saran kawan-kawan al-Bujairimi. Barangkali beliau memaksudkan kawan-kawan ini adalah murid-muridnya, karena sudah biasa di kalangan ulama sebagai bentuk tawadhu untuk menyebut murid sebagai kawan atau sahabat. Saat mengarang kitab ini pun beliau merasa tidak layak. Akhlak tawadhu’ memang di antara ciri menonjol ulama.
Hasyiyah Al-Bujairimi adalah catatan pinggir penjelas untuk kitab Zakariyya Al-Anshori yang berjudul “Fathu Al-Wahhab”. Lebih akurat lagi, “Hasyiyah Al-Bujairimi” sesungguhnya adalah gabungan dari catatan-catatan dan penjelasan Al-Bujairimi terhadap kitab “Fathu Al-Wahhab” dan “Hasyiyah Asy-Syabromallisi” terhadap “Fathu Al-Wahhab” itu. Dua catatan ini dihimpun jadi satu kemudian diramu dengan penjelasan-penjelasan yang diperoleh Al-Bujairimi dari guru-gurunya, sehingga jadilah “Hasyiyah Al-Bujairimi” ini.
Telah kita ketahui melalui pembahasan sebelumnya, ulama yang membuat hasyiyah untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” adalah Al-Jamal (w. 1204 H) dalam kitab yang berjudul “Hasyiyah Al-Jamal”. Selain Al-Jamal, ulama lain yang membuat hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab” adalah Al-Bujairimi (w. 1221 H). Dua hasyiyah ini memang yang paling terkenal di masyarakat terkait catatan pinggir untuk “Fathu Al-Wahhab”. Jika dalam pembicaraan dibincangkan hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab”, maka yang langsung teringat adalah “Hasyiyah Al-Jamal” dan “Hasyiyah Al-Bujairimi”.
Hasyiyah Al-Bujairimi untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” ini di masyarakat dikenal dengan nama “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Pada titik ini kita perlu sedikit jeli. Jika disebut “Hasyiyah Al-Bujairimi” maka yang dimaksud adalah hasyiyah karya Al-Bujairimi yang mensyarah kitab “Fathu Al-Wahhab”. Adapun jika disebut “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib” maka yang dimaksud adalah hasyiyah Al-Bujairimi yang mensyarah kitab “Al-Iqna’” karya Al-Khothib Asy-Syirbini yang merupakan syarah dari matan Abu Syuja’. Dua kitab ini, yakni “Hasyiyah Al-Bujairimi” dan “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib” adalah dua kitab yang berbeda. Dua-duanya sama-sama terkenal.
Adapun susunannya, “Hasyiyah Al-Bujairimi” ditulis dengan urutan penyusunan bab-bab fikih seperti dalam kitab fikih pada umumnya. Dimulai bab ibadah, muamalah, nikah, jinayah, lalu diakhiri dengan bab “ummahatul aulad”. Jika Al-Bujairimi memandang perlu, pada saat membahas awal judul topik, dijelaskan alasan penempatan bab di tempat tersebut dan urgensinya.
Pada bab awal kitab, yakni bab “Khutbatu Al-Kitab” (istilah di negeri kita untuk bagian ini biasanya disebut dengan “pendahuluan” atau “pengantar penulis” atau “kata pengantar” atau “sekapur sirih)” Al-Bujairimi memberikan informasi menarik. Beliau mengatakan bahwa yang membuat pengantar kitab “Fathu Al-Wahhab” sebenarnya bukanlah Zakariyya Al-Anshori sendiri, tetapi putra beliau yang bernama Muhibbuddin. Malahan, bisa dikatakan bahwa seluruh kata pengantar kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori yang membuatkan adalah putranya ini. Pengantar-pengantar kitab tersebut ditulis oleh Muhibbuddin di masa ayahnya hidup. Ada sedikit kisah tragis terkait putra Zakariyya Al-Anshori ini. Muhibbuddin wafat pada saat ayahnya masih hidup karena tenggelam di sungai Nil. Kematiannya ini menyebabkan Zakariyya Al-Anshori menjadi buta. Kebutaan tersebut adalah karena sering menangisinya sebagaimana butanya nabi Ya’qub karena menangisi nabi Yusuf selama bertahun-tahun.
Dari sisi isinya, Al-Bujairimi kadang-kadang menulis kutipan langsung dari “Hasyiyah Al-Jamal”. Kutipan ini jumlahnya lumayan banyak. Wajar, jika kemudian ada yang menyimpulan bahwa “Hasyiyah Al-Bujairimi” posisinya adalah seakan-akan menjadi “mukhtashor” bagi “Hasyiyah Al-Jamal” karena memang faktanya Al-Bujairimi banyak mengambil manfaat dari “Hasyiyah Al-Jamal”. Hanya saja, menegaskan bahwa “Hasyiyah Al-Bujairimi” itu ringkasan “Hasyiyah Al-Jamal” juga tidak benar, karena faktanya Al-Bujairimi banyak menuliskan “taqrirot” dan “tahrirot”, yakni penjelasan-penjelasan yang semakin mempertajam sebuah topik pembahasan yang dikemas dengan nalar kritis, diskusi dan tarjih. Aspek “taqrirot” ini menjadi ciri menonjol dari “Hasyiyah Al-Bujairimi” yang tidak terdapat pada “Hasyiyah Al-Jamal” yang hanya banyak menukil. Barangkali karena keistimewaan “taqrirot” ini pula yang membuat “Hasyiyah Al-Bujairimi” menjadi populer. Jadi, jika tujuan kajian adalah memperkaya pemahaman, ulasan dan kritik terhadap nukilan tertentu maka merujuk “Hasyiyah Al-Bujairimi” adalah langkah yang tepat. Adapun jika tujuan kajian adalah kekayaan nukilan maka merujuk “Hasyiyah Al-Jamal” adalah langkah tepat.
Dari sisi pembahasan fikihnya, pendapat-pendapat internal mazhab Asy-Syafi’i diuraikan, disajikan dan diulas disertai tarjih mana pendapat yang paling kuat. Kitab ini tidak mengulas pendapat di luar mazhab Asy-Syafi’i. Jadi kitab ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan untuk perbandingan mazhab. Beberapa ungkapan yang diperlukan penjelasan kadang diuraikan Al-Bujairimi baik secara bahasa, urf maupun analisis i’robnya. Penyebutan dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak disajikan dalam bentuk isti’ab (komplit-tuntas) tetapi sekedarnya saja. Barangkali Al-Bujairimi menganggap pembaca kitabnya memang sudah level ulama, sehingga tidak perlu lagi penjelasan dalil detail karena mereka sudah menguasainya secara umum.
Adapun untuk istilah yang dipakai di dalamnya, jika Al-Bujairimi dalam kitab ini menyebut lafaz syaikhuna (شيخنا) maka yang dimaksud adalah Al-‘Asymawi (الْعَشْمَاوِيُّ), guru langsung dari Al-Bujairimi. Dari syaikh Al-‘Asymawi ini, Al-Bujairimi meneguk ilmu beliau secara langsung dalam bentuk talaqqi dalam berbagai majelis. Majelis ilmu yang diasuh Al-‘Asymawi dan diikuti Al-Bujairimi diantaranya majelis yang mengkaji sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Trirmidzi, “Fathu Al-Wahhab”, “Tuhfatu Al-Muhtaj”, “Nihayatu Al-Muhtaj” dan lain-lain.
Adapun untuk ulama-ulama yang lain, Al-Bujairimi menyebut mereka dengan simbol dan singkatan-singkatan sebagaimana dipakai dalam “Hasyiyah Al-Jamal”. Arti singkatan-singkatan tersebut bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Memahami Singkatan Nama Ulama Asy-Syafi’iyyah”.
Dengan melihat cara Al-Bujairimi menulis hasyiyah ini, bisa disimpulkan bahwa ilmu beliau adalah kombinasi ilmu yang didapatkan melalui proses talaqqi dan proses muthola’ah/membaca pribadi. Porsi ilmu yang didapatkan melalui proses muthola’ah lebih besar, dan seperti ini memang umumnya para ulama yang memiliki banyak karya tulis. Saat Al-Bujairimi menyebut “syaikhuna”, artinya ilmu yang beliau tulis adalah ilmu yang didapatkan dari Al-‘Asymawi yang beliau dapatkan dari talaqqi. Tetapi, jika beliau menyebut ulama dengan singkatan maka itu adalah hasil muthola’ah.
Sebagian ulama mensyarah lagi “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Syarah untuk hasyiyah dikenal dengan istilah “Taqrir”. Di antara yang membuat taqrir untuk “Hasyiyah Al-Bujairimi” adalah Muhammad Al-Marshofi yang dicetak bersama Hasyiyah Al-Bujairimi oleh “Al-Maktabah Al-Islamiyyah” di Diyar Bakr; Turki.
Manuskrip “Hasyiyah Al-Bujairimi” bisa ditemukan di Perpustakaan “Markaz Al-Malik Faishol li Al-Buhuts wa Ad-Dirosat Al-Islamiyyah” di Riyadh; Saudi Arabia, “Maktabah Makkah Al-Mukarromah” di Mekah, Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Markaziyyah” bi Jami’ati Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah di Riyadh; Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Azhariyyah di Kairo; Mesir, “Maktabah Azh-Zhohiriyyah” di Damaskus; Suriah, “Al-Ashifiyyah” di Haidarabad; India, “Khuda Bakhsh Oriental Library” di Patna Bihar; India, dan lain-lain.
Di antara yang menerbitkannya, “Bulaq” dalam 4 jilid tahun 1309 H, Mushthofa Al-Baby Al-Halaby tahun 1340 H, 1345 H dan 1368 H, “Dar Al-Kutub Al-‘Arobiyyah Al-Kubro” di Mesir tahun 1330 H dalam 4 jilid, “Al-Maktabah Al-Islamiyyah” di Diyar Bakr Turki dalam 4 jilid, Dar Al-Fikr di Beirut dalam 4 jilid, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah” “Syarikatu At-Turots li Al-Barmajiyyat tahun 2015, dan lain-lain.
Al-Bujairimi wafat malam Senin, tanggal 13 Ramadhan tahun 1221 H.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين