Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Nama formal kitab ini sebagaimana yang diberikan pengarang adalah “Al-Minhaj” (المنهاج). Lengkapnya, “Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim ibni Al-Hajjaj” (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاح). Hanya saja, dimasayarakt lebih tenar dengan nama “Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim” (شرح النووي على مسلم).
Kitab ini adalah syarah untuk kitab hadis yang paling sahih setelah Sahih Al-Bukhari yakni Shohih Muslim. Di antara sekian banyak syarah Shohih Muslim, syarah An-Nawawi inilah yang paling populer dan paling banyak manfaatnya.
Meskipun berupa syarah hadis, kitab ini termasuk kitab rujukan primer untuk mengetahui pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i. Tepatnya, dari sisi kekuatan, kitab ini menempati posisi setelah kitab “Al-Masa-il Al-Mantsuroh” yang merupakan kitab yang menghimpun fatwa-fatwa An-Nawawi. Pembahasan lebih detail tentang kitab-kitab An-Nawawi yang menjadi rujukan pendapat mu’tamad sekaligus urutan kekuatannya bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “ Urutan “Kekuatan” Kitab-Kitab An-Nawawi” .
Dalam muqoddimah kitab ini, An-Nawawi mengawali dengan mengingatkan betapa aktivitas belajar dan menuntut ilmu itu adalah di antara cara beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah yang paling afdhol. Setelah itu beliau menekankan bahwa di antara sekian ilmu itu, yang terpenting di antaranya adalah ilmu memahami hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم baik secara riwayah maupun diroyah. Kajian hadis semakin penting karena sebagian besar hukum itu digali dan dijelaskan dari hadis, karena mayoritas ayat hukum sifatnya mujmal (global) dan tidak terperinci. Bagi mujtahid, baik qodhi maupun mufti, mempelajari hadis-hadis hukum adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditinggalkan.
An-Nawawi mengatakan bahwa kitab hadis yang paling sahih, bahkan kitab yang paling sahih di antara semua kitab (selain Al-Qur’an) secara mutlak hanyalah dua kitab, yaitu Shohih Al-Bukhari dan Shohih Muslim. Oleh karena itu, menjadi wajar jika dua kitab ini mendapatkan perhatian serius dalam hal syarah. Untuk Shohih Al-Bukhari, An-Nawawi sedang dalam proses menulis syarahnya saat menulis muqoddimah kitab “Al-Minhaj” ini dan beliau berharap Allah memberikan pertolongan-Nya untuk menyempurnakannya. Untuk Shohih Muslim, setelah beristikhoroh An-Nawawi berniat membuat syarah yang bersifat mutawassith (pertengahan). Tidak terlalu panjang yang membosankan dan tidak terlalu singkat yang bisa merusak makna.
Imam Muslim sendiri sebagai kompilator hadis dalam shahih Muslim dipuji An-Nawawi sebagai imam yang tidak mungkin ditandingi “kehebatannya” oleh siapapun sesudah era dan zamannya. Ulama yang hidup sezaman beliau pun juga sangat jarang yang menyamai, bahkan hanya mendekatinya sekalipun. Keutamaan Imam Muslim akan diketahui bagi siapapun yang serius mengkaji Shohih muslim kemudian meneliti bagaimana cara imam Muslim dalam menuliskan sanad, mengurutkannya, menyusunnya, membuat metode dalam melakukan tahqiq dan tadqiq, berhati-hati dan bersikap waro’ dalam meriwayatkan, kepiawaiannya dalam meringkas dan menghimpun, banyaknya telaah dan keluasan riwayat, dan semua hal yang tergolong “keajaiban” Imam Muslim.
Saat mensyarah Shohih Muslim ini akan kelihatan betul sedalam dan seluas apa ilmu yang dimiliki An-Nawawi. Kedalaman dan keluasan ilmu An-Nawawi bisa kita bayangkan ketika beliau mengatakan bahwa seandainya bukan karena karena lemahnya semangat belajar kaum muslimin yang berakibat tidak tersebarnya tulisan beliau, niscaya beliau akan menulis syarah Shohih muslim ini sebanyak 100 jilid lebih! Perkiraan syarah setebal 100 jilid pun ini semuanya penuh ilmu. Tidak ada tulisan yang bersifat pengulangan materi dan tidak ada tulisan yang bersifat sia-sia!
Adapun metode An-Nawawi dalam mensyarah, maka secara ringkas penjelasannya adalah sebagai berikut.
Pertama-tama di awal kitab, An-Nawawi menuliskan muqoddimah penting terkait Shohih Muslim. Muqoddimah ini disusun dalam bentuk sub-sub bab agar mudah ditelaah. Isinya secara umum adalah resensi An-Nawawi terhadap Shohih Muslim. Di dalamnya dibahas bagaimana sanad Shohih Muslim sampai zaman An-Nawawi, keutamaannya dibandingkan kitab-kitab hadis yang lain, kehati-hatian Imam Muslim dalam meriwayatkan dan lain-lain. Siapapun yang mengkaji dan mendalami ilmu mustholah hadis, pasti akan mendapatkan banyak manfaat dan ilmu baru saat menelaah muqoddimah An-Nawawi dalam kitab ini.
Setelah itu An-Nawawi membuat judul-judul bab sebelum memulai mensyarah satu hadis. Sebagian peneliti menyimpulkan bahwa penulisan judul bab dalam Syarah An-Nawawi ini diadopsi menjadi judul bab dalam cetakan Shohih Muslim. Hal itu dikarenakan manuskrip asli Shohih Muslim tidak didapati judul-judul bab pada kumpulan hadis-hadisnya. Oleh karena itu hal ini menunjukkan judul-judul bab itu dibuat oleh ulama sesudah Imam Muslim, bukan Imam Muslim sendiri dan ulama tersebut menurut sebagian peneliti adalah An-Nawawi.
Setelah itu An-Nawawi mulai menjelaskan makna hadis. Dalam penjelasan makna ini, An-Nawawi akan menjelaskan makna lafaz yang diperkirakan perlu dijelaskan, menjelaskan nama perawi, melakukan dhobth lafaz, menjelaskan nama-nama orang yang populer dengan kunyahnya, menjelaskan nama-nama moyang perawi, menjelaskan nama-nama mubham, menjelaskan hal-hal terkait perawi yang jarang dibahas, menjelaskan dhobth nama muk’talaf -mukhtalaf, dan hal-hal yang terkait dengan sanad dan matan.
Jika ada hadis, nama orang, atau lafaz yang berulang maka An-Nawawi memberi syarah luas dan detail pada lokasi pertama kali ditemukan. Selanjutnya, di lokasi lain beliau hanya akan memberi notabene bahwa hal tersebut telah dibahas sebelumnya di bab atau subbab tertentu. Jika babnya terlalu jauh maka An-Nawawi biasanya tidak menyebut di bab apa, tapi hanya memberi isyarat bahwa hal tersebut telah dibahas sebelumnya.
Jika An-Nawawi menukil nama tokoh atau menukil sighat bahasa tertentu atau menjelaskan dhobth lafaz musykil tertentu atau menjelaskan makna hukum dan nukilan-nukilan lainnya, maka jika hal-hal tersebut termasuk informasi yang masyhur beliau tidak menisbatkan pada orang tertentu (karena akan terlalu banyak jika disebutkan semua). Adapun jika hal-hal tadi termasuk informasi yang tidak masyhur maka An-Nawawi akan menyebutkan siapa yang mengucapkannya.
Setelah itu An-Nawawi akan masuk pada penjelasan makna hadis secara lebih spesifik. Pada bagian ini, An-Nawawi menjelaskan hukum induk, hukum cabang/rincian, menjelaskaan adab, menjelskan ilmu zuhud, menjelaskan dasar-dasar kaidah syar’i, mengkompromikan hadis-hadis yang zhohirnya bertentangan, menjelasakan aspek-aspek praktis dalam hadis, dan menjelaskan dalil-dalil topik tertentu secara singkat (kecuali dalam kondisi tertentu yang perlu panjang lebar). Dalam menulis syarahnya An-Nawawi selalu berusaha menyajikannya dengan bahasa yang ringkas dan sejelas mungkin.
Contoh detail dari masing-masing poin tadi bisa ditemukan dalam kompilasi yang disusun oleh Abu Abdil ‘Aziz Al-Harby yang mengambil materi dari situs “Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah As-Su’udiyyah Li As-Sunnah wa ‘Ulumiha” dan situs milik Dr.Abdul Karim Al-Khudhoir.
Dalam mensyarah An-Nawawi juga banyak menukil ulama sebelumnya yang telah mensyarah Shohih Muslim seperti Qodhi Iyadh dan Al-Mazary. An-Nawawi juga banyak mengutip dari dua kitab yaitu kitab “Matholi’u Al-Anwar” dan kitab “At-Tahrir”. Jika An-Nawawi mengatakan (قال صاحب المطالع) maka yang dimaksud adalah Ibnu Qurqul pengarang kitab “Matholi’u Al-Anwar”. Jika An-Nawawi menyebut (قال صاحب التحرير) maka yang dimaksud adalah Abu Abdillah Al-Ashfahani pengarang kitab “At-Tahrir li Syarhi Shohih Muslim”. Jika beliau menyebut (قال القاضي) maka yang dimaksud adalah Qodhi ‘Iyadh (w. 544 H) dalam kitab yang berjudul “Ikmalu Al-Mu’lim fi Syarhi Shohih Muslim” . Jika beliau mengutip dari Al-Mazary (w. 536 H) maka yang dimaksud adalah apa yang tercantum dalam kitab “Al-Mu’lim bi Fawa-idi Kitab Muslim”.
Kadang-kadang An-Nawawi juga membahas nilai dan kualitas hadis sebagai pelengkap takhrij secara lebih mendalam. Kadang-kadang beliau juga membahas persoalan mushtholah hadis seperti saat membahas “ziyadah tsiqot”. Beliau juga membahas “jarh” dan “ta’dil” perawi.
Beliau juga membahas ijma’ dalam banyak hukum syara’ yang beritanya sampai ke zaman beliau seperti masalah sampainya doa ke mayit.
Dalam mensyarah, An-Nawawi meskipun bermazhab Asy-Syafi’i tetapi beliau tidak segan-segan menguatkan pendapat mazhab selain Asy-Syafi’i jika memang kuat dalilnya seperti pada kasus persusuan yang berkonsekunsi membuat hukum mahram.
Sejumlah ulama telah memberikan perhatian terhadap kitab “Al-Minhaj” karya An-Nawawi ini. Ada yang membuatkan muktashornya, membuat komentar singkat, bahkan mengkritik sebagian kontennya. Di antara yang membuatkan mukhtashornya adalah Al-Qunawi yang bermazhab hanafi (w. 788 H). As-Sakhowi dalam “Al-Jawahir wa Ad-Duror fi Tarjamati Syaikhi Al-Islam Ibni Hajar” menyebut bahwa Ibnu Hajar juga mengarang catatan-catatan kecil (nukat) untuk syarah An-Nawawi ini. Hanya saja karangan tersebut tidak tuntas. Adapula karya Ibnu Hajar yang menghimpun kritikan-kritikan Ibnu Abdi Al-Hadi terhadap An-Nawawi dalam karya berjudul “Iltiqoth I’tirodh Ibni Abdil Hadi min Muntaqohu min Syarhi Muslim li An-Nawawi ‘alaihi”. Sebagian lagi ada yang memberi perhatian terkait koreksi beberapa pemahaman akidah An-Nawawi yang dianggap bermasalah, seperti karya Masyhur bin Hasan Al Salman dalam kitab yang berjudul “Ar-Rudud wa At-Ta’aqqubat ‘ala Ma fi Syarhi Muslim li An-Nawawi fi Bab Al-Asma’ wa Ash-Shifat wa Ghoiriha min Al-Muhimmat”yang dicetak Dar Hajar.
Manuskrip kitab “Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim” bisa ditemukan di sejumlah tempat, di antaranya Perpustakaan “Markaz Al-Malik Faishol li Al-Buhuts wa Ad-Dirosat Al-Islamiyyah” di Riyadh; Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Markaziyyah” bi Jami’ati Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah di Riyadh; Saudi Arabia, Khizanatu Qozwin, di Fas; Maroko, dan lain-lain.
Di antara penerbit yang mencetaknya adalah “Al-Mathba’ Al-Ahmadi” di Delhi; India, “Mathba’ Asy-Syaikh Ahmad At-Tajir”, “Mathba’ah Bulaq” tahun 1292 H, “Al-Mathba’ah Al-Maimaniyyah” tahun 1325 H, “Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah” tahun 1347 H, “Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Arobi”, “Dar Al-Ma’rifah”, “Baitu Al-Afkar Ad-Dauliyyah”, “Dar Al-Qolam”, “Mu-assasah Qurthubah Al-Mishriyyah”, “Dar Al-Fikr”, “Dar As-Salam”, “Dar Al-Mughni”, “Dar Al-Hadits Al-Mishriyyah”, “Dar Ibn Hazm”, “Mathba’ah As-Sa’adah”, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah”, dan lain-lain. Sebagian orang berpendapat terbitan “Dar Al-Ma’rifah” yang ditahqiq oleh Kholil Ma’mun Syiha adalah terbitan terbaik untuk kitab ini. Sebagian lagi berpendapat yang bagus adalah terbitan “At-Turkiyyah”.
“Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Arobi” pada tahun 1392 H mencetaknya dalam 9 jilid dengan ketebalan sekitar hampir 4000-an halaman.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين