Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Allah berfirman,
{وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ } [النحل: 44]
“Aku turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Berdasarkan ayat di atas, menyampaikan agama Allah itu harus terealisasi sifat “bayan” (jelas).
Jadi dalam berdakwah, marilah kita pakai bahasa yang ringkas, lugas, padat, berisi, dan “to the point” yang mencerminkan ilmu.
Tidak perlu bertele-tele, menari-nari, melebar kemana-mana, mengkaburkan esensi, dan bicara ngalor ngidul yang tidak jelas “jluntrungan”nya, untuk memberi kesan pintar pada orang awam, padahal sebenarnya kosong isi.
Dakwah itu harus bisa dipahami dengan mudah oleh kalangan manapun. Berpendidikan ataupun tidak. Kecerdasan tinggi maupun rata-rata.
Demikianlah bahasa dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Dakwah paling “jos” adalah yang bisa menyampaikan materi berat dengan bahasa yang mudah dipahami.
Jangan sampai malah fokus memperindah bahasa, apalagi sengaja memaksa-maksa diri bicara ngalor-ngidul, memakai kata-kata asing demi memamerkan kelebihan dan menunjukkan dirinya hebat, membombastiskan ucapan dan mefasih-fasihkannya agar tampak dirinya unggul, banyak bicara yang tidak perlu, dan boros kata. Jika ini yang terjadi, maka itu melanggar larangan Nabi agar tidak memiliki akhlak “tafaihuq”, “tasyadduq” dan “tsartsarah”.
Dalam dakwah, seorang dai sibuk berjuang MEMBESARKAN NAMA ALLAH, bukan membesarkan namanya sendiri.
لا إله إلا الله
اللهم سدد خطانا