PERTANYAAN
Kawan saya (seorang wanita bernama Ummu Royyan dari Medan) punya ibu tiri yg semasa hidup pernah berkata (bahwa) jika meninggal kelak, maka rumah dan tanahnya untuk anaknya kawan saya. Memang tidak ada hitam diatas putih. Nah, ketika ibu tirinya meninggal apakah rumah dan tanah tersebut untuk anaknya kawan saya sesuai perkataan ibu itu ketika hidup atau dibagikan ke ahli warisnya? Ibu itu masih memiliki seorang saudara laki-laki.
Fulanah – Medan
JAWABAN
Oleh : Ummu Musa
Perkataan seseorang untuk memberikan hartanya ke orang lain setelah dia meninggal dinamakan wasiat. Wasiat itu syar’i dan wajib ditunaikan.
Hanya saja, wasiat menjadi sah jika dilakukan oleh orang yang menjelang meninggal atau saat sakit yang diduga kuat akan meninggal. Sebaliknya, wasiat orang yang sehat atau sakit biasa seperti flu, masuk angin, dan semisalnya yang tidak diduga akan meninggal maka wasiatnya tidak sah.
Jadi pada kasus yang ditanyakan, harus dipastikan dulu kapan ibu tiri mengucapkan “janji pemberian rumah dan tanah” itu dan bagaimana situasi ketika beliau mengucapkannya. Jika ucapannya menjelang wafat/sakit yang biasanya mengantarkan orang pada ajal maka itu dinamakan wasiat dan wasiatnya sah, tapi jika tidak maka itu bukan wasiat sehingga tidak bisa dikatakan sebagai wasiat yang sah.
Adapun perkataan seseorang dalam kondisi sehat yang “berjanji” memberikan hartanya ke orang lain setelah dia yang punya harta itu meninggal, maka ini dinamakan dengan ruqba (الرقبى). Ruqba ini dihukumi sebagai hibah dan hukumnya sah jika telah terjadi ijab kabul. Barang langsung dimiliki tanpa harus menunggu pemberinya wafat, karena semua syarat yang diajukan termasuk kepemilikan setelah wafat itu menjadi mulgho (batal, tidak bisa dilaksanakan). Ruqba ini tradisi jahiliyyah, setelah islam datang, maka syarat kepemilikan setelah wafat itu dihapus oleh Islam.
Jadi pada kasus yang ditanyakan, harus dipastikan juga apakah anak Ummu Royyan atau walinya telah mengiyakan (kabul) hibah tanah dan rumah yang diberikan. Jika tidak, maka hibah tanah dan rumah menjadi tidak sah.
Yang penting juga adalah, kepemilikan harta yang berpotensi menimbulkan perselisihan seperti tanah dan rumah, maka seseorang harus memilik bukti (bayyinah).
Pada kasus yang ditanyakan, jika pemberian ibu tiri itu tidak ada saksinya, maka artinya kawan penanya itu tidak punya bayyinah. Jika tidak punya bayyinah, maka dia tidak bisa memiliki harta dari ibu tiri. Oleh karena itu, harta semuanya menjadi harta waris untuk dibagi-bagi buat ahli waris.
Adapun persaksian Ummu Royyan (orang tua dari anak yang diberi hibah) menjadi tidak sah karena anak dan orang tua tidak boleh menjadi saksi. Termasuk seorang musuh bersaksi untuk musuhnya, termasuk juga seseorang bersaksi atas dirinya untuk kemaslahatannya atau menghindari bahaya untuk dirinya. Karena itu harus diperjelas lagi, adakah bukti atau saksi atas hibah ibu tiri tersebut terhadap anak kawan penanya. Karena ini sangat menentukan keabsahan kepemilihan harta.
Wallahua’lam.