Dijawab oleh: Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Assalāmu‘alaikum waraḥmatullāhi wabarakātuh.
Semoga tetap sehat wal afiah bersama keluarga. Amin.
Mau konsul dan mohon pencerahan.
Ada kasus orang tua yang punya 2 anak putri yang sama-sama udah berkeluarga.
- Semasa hidup orang tua laki, telah hibahkan atau wasiat bahwa rumah induk di untuk anak putri pertama.
- Anak putri 2 udah dibelikan rumah di tempt lain, sebagai tempat praktek dokter aja. Bukan di tinggali. Habis praktek pulang ke rumah induk ortu- hidup bersama keluarga besar, 3 keluarga.
- Kasusnya ortu lelaki wafat.
- Putri 1 wafat, beranak 3.
- Tinggal ibu serumah dengan mantan menantu.
- Ibunya sudah tua, putri yang kedua ingin menjual rumahnya dengan maksud pindah ingin merawat ibunya sendiri.
- Menantu merasa bahwa rumahnya ini rumah anaknya, bahkan dia merasa tetap sebagai kepala keluarga, mengatur. Seakan dia tidak mau meninggalkan rumah induk-dia terus menuntut harta peninggalan dengan dalih anaknya, sehingga mengalami ketegangan, dengan mantan mertua, dan saudara ipar, mantan istrinya.
Mohon jalan penyelesaian dan solusi, Ustaz. Kalau dibawa ke ranah hukum, jelas posisi mantan menantu itu lemah, karena tidak ada bukti hitam di atas putih.
Ngapunten, Ustaz, lan matur nuwun.
Wa‘alaikumussalām waraḥmatullāhi wabarakātuh. (Fadholi, Malang, 15 Februari 2021)
JAWABAN
Wa‘alaikumussalām waraḥmatullāhi wabarakātuh.
Nggih, Ustaz. Jazākumullāh khairan, atas doa baiknya.
Begini jawaban saya (mudah-mudahan saya tidak salah paham menganalisa pertanyaannya).
1
Status rumah induk harus dipastikan apakah hibah ataukah wasiat. Sebab hukumnya berbeda.
Jika ayah bilang, “Saya berikan rumah induk ini untuk putriku yang pertama,” lalu putrinya bilang, “Saya terima,” atau menjawab, “Iya,” atau kalimat yang semakna, maka sah lah hibah tersebut karena sudah terealisasi ijab-kabul.
Tapi jika putri pertama diam dan tidak menjawab, maka tidak sah hibah tersebut. Mirip seperti akad nikah, jika ijab saja, maka tidak sah akad pernikahan itu. Harus ada ijab kabul dan sifatnya langsung, tidak boleh ada jeda. Jika akad hibah tidak sah berarti status rumah itu menjadi harta warisan, bukan milik penuh menantu bersama 3 anaknya.
Jika ayah bilang, “Saya berikan rumah induk ini untuk putriku yang pertama dan baru jadi miliknya sempurna setelah aku wafat,” berarti itu dihukumi wasiat, sebab hibah apapun di ta‘līq (digantungkan) dengan kematian, maka statusnya menjadi wasiat.
Jika menjadi wasiat, maka itu wasiat yang tidak sah, sebab ada hadis nabi ﷺ yang menegaskan bahwa wasiat untuk ahli waris itu tidak sah. Wasiat untuk ahli waris bisa menjadi sah jika semua ahli waris yang ada rela. Artinya, istri almarhum dan putri kedua harus ditanya apakah rela ataukah tidak. Jika ada satu saja yang tidak rela, maka status rumah itu menjadi harta warisan (yakni hak ibu dan 2 putri almarhum). Tetapi jika rela maka rumah tersebut sah sebagai wasiat untuk putri pertama sehingga rumah induk tersebut 100% dimiliki putri pertama.
2
Untuk rumah yang dijadikan tempat praktek, juga harus diteliti. Apakah sudah riil dihibahkan, atau direncanakan dihibahkan dan dimiliki sempurna setelah ayah yang membelikan rumah tersebut wafat. Hukumnya nanti sama dengan kasus rumah induk. Bisa sah sebagai hibah, atau sah sebagai wasiat, atau tidak sah dua-duanya sehingga statusnya menjadi harta warisan sebagaimana saya jelaskan untuk kasus rumah induk di atas.
3
Saat orang tua lelaki wafat, berarti ahli warisnya adalah istri dan 2 putri. Jatah warisan istri 1/8, dan dua putri 2/3 dibagi rata.
4
Saat putri pertama wafat, berarti ahli warisnya adalah suami, ibu, saudari dan 3 anaknya. Harta yang dibagi adalah harta hasil bekerjanya selama ini ditambah harta yang didapatkannya dari almarhum ayahnya. Dengan asumsi rumah induk itu sah dimiliki putri pertama, maka rumah itu harus dibagi untuk 6 orang itu (suami, ibu, saudari dan 3 anaknya). Kecuali jika dari 3 anak itu ada laki-laki, maka hak waris saudari gugur.
5
Ibu berhak mendapatkan warisan dari suaminya (sebagai istri) dan putrinya yang wafat (sebagai ibu). Mantan menantu berhak mendapatkan warisan dari istrinya (sebagai suami almarhumah)
6
Jika putri kedua ingin mendapatkan jatah warisannya dari rumah induk, maka kembali ke jawaban saya no.1. Jika rumah induk itu sah dimiliki putri pertama karena akad hibahnya sudah sah, berarti putri kedua tidak berhak minta dijual rumah induk tersebut, sebab itu harta kakak perempuanya. Tapi jika hibah itu tidak sah, maka putri kedua berhak minta jatah warisannya dan wajib diberikan jatahnya. Perkara rumah dijual atau tidak maka itu kesepakatan saja. Mantan menantu boleh membayar sejuamlah uang sebagai pengganti jatah warisan putri kedua dan ibu, sehingga rumah induk itu menjadi hak milik penuh mantan menantu beserta 3 anak-anaknya.
7
Jika mantan menantu merasa punya hak, maka secara syar’i harus punya bayyinah (bukti) adanya hibah tersebut. Jika tidak ada ya memang tidak bisa diperjuangkan. Bukti bisa berupa saksi, surat wasiat, atau yang semisal dengan itu.
Monggo ustaz jika masih ada yang didiskusikan.
***
RESPONS USTAZ FADHOLI
Baik, Taz.
1
Jika bukti tidak ada, hanya tempo dulu almarhum, menyerahkan surat rumah ke anak putrinya, yang sampai sekarang masih nama ayahnya, gimana Taz? Dan saksi dari luar keluarga tidak ada gimana, Taz?
2
Memang yang harus diperjelas oleh keluarga adalah hibah atau warisan (ini kan, harus ada kejujuran diantara keluarga).
3
Seandainya rumah itu telah dihibahkan. Lalu putri kedua membelinya, karena dengan pertimbangan ibunya, tidak mungkin ikut mantan menantu dan cucunya. Tentu dengan kesepakatan kan diperbolehkan, Taz?
4
Problemnya rumah induk itu dihibahkan atau diwasiatkan ke putri pertama itu, sampai sekarang belum ada bukti hitam di atas putih. Ini kan, harus ada kejujuran di antara yang bermasalah.
5
Dalam hal ini, hukum apa gak bisa berubah, karena motif/sebab hukum berubah, dengan meninggalnya putri pertama, kalau dulu dihibahkan atau diwasiatkan itu, dengan maksud ikut anak perempuan itu/satu keluarga–jika blm wafat. Kalau sudah wafat, ibunya mengatakan rmh itu miliknya dan mengatakan kalau menantu itu nikah lagi tidak boleh di rumah induk itu.
6
Ibunya merasa rumah itu juga berandil ikut membelinya dengan menjual aset-aset yang lain dulu-dulunya.
***
TANGGAPAN Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
1
Jika bukti tidak ada, hanya tempo dulu almarhum, menyerahkan surat rumah ke anak putrinya, yang sampai sekarang masih nama ayahnya, gimana Taz? Dan saksi dari luar keluarga tidak ada gimana, Taz?
Tanggapan:
Jika sama sekali tidak ada bukti, memang susah mengklaim rumah tersebut. Pernah di zaman Nabi ﷺ ada lelaki yang mengklaim sebuah tanah miliknya. Tapi saat ditanya Nabi ﷺ apakah ada bukti, ternyata dia tidak punya. Akhirnya nabi ﷺ tidak memberikan tanah tersebut kepadanya. Pernah saya tulis disini,
Kaidah Al-Bayyinah ‘Ala Al-Muddai wa Al-Yamin ‘Ala Man Ankara
2
Memang yang harus diperjelas oleh keluarga adalah hibah atau warisan (ini kan, harus ada kejujuran diantara keluarga).
Tanggapan:
Betul, harus dipastikan dulu dan dibuktikan.
3
Seandainya rumah itu telah dihibahkan. Lalu putri kedua membelinya, karena dengan pertimbangan ibunya, tidak mungkin ikut mantan menantu dan cucunya. Tentu dengan kesepakatan kan diperbolehkan, Taz?
Tanggapan:
Boleh. Ini salah satu solusi biar damai. Artinya berarti putri kedua dan ibu mengakui ada hibah dan “mengalah” meski tidak ada bukti hibah.
4
Problemnya rumah induk itu dihibahkan atau diwasiatkan ke putri pertama itu, sampai sekarang belum ada bukti hitam di atas putih. Ini kan, harus ada kejujuran di antara yang bermasalah.
Tanggapan:
Benar. Selama tidak ada bukti, memang status rumah induk tersebut tetap jadi warisan. Kalau dalam fikih Islam, bukti tidak harus tertulis. Dua saksi hidup yang adil dan jujur cukup. Tapi jika saksi hiduppun tidak ada ya berarti tidak cukup bukti.
5
Dalam hal ini, hukum apa gak bisa berubah, karena motif/sebab hukum berubah, dengan meninggalnya putri pertama, kalau dulu dihibahkan atau diwasiatkan itu, dengan maksud ikut anak perempuan itu/satu keluarga–jika blm wafat. Kalau sudah wafat, ibunya mengatakan rmh itu miliknya dan mengatakan kalau menantu itu nikah lagi tidak boleh di rumah induk itu.
Tanggapan:
Semua syarat hibah itu mulgā (tidak berlaku), Ustaz. Misalnya, saya memberi uang ke tetangga sejumlah 10 juta dengan syarat uang itu dipakai untuk beli beras makan. Jika sudah sah akad hibah, maka tetangga berhak menggunakan uang itu untuk beli beras atau bayar sekolah atau bayar utang. Tidak harus untuk beli beras saja. Jadi, jika sah hibah rumah induk itu, maka rumah itu sah dimiliki putri pertama dan perawatan sang ibu adalah bentuk birrul walidain tetapi tidak bisa mempengaruhi keabsahan status hibah rumah. Jika seandainya (dengan asumsi terburuk) sang ibu diusir dari rumah setelah rumah dimiliki pun, hibah rumah tetap sah.
Hibah dengan syarat masa hidup pun juga tidak dihitung. Dalam fikih yang demikian disebut ‘umrā (العمرى). Misalnya orang berkata, “Rumah ini jadi milikmu selama hidup. Jika engkau mati maka rumah ini kembali padaku.” Ucapan seperti ini di masa jahiliah disebut ‘umrā dan di masa Islam dihapus hukumnya dan ditetapkan sebagai hibah. Artinya rumah itu sah dimiliki orang yang diberi dan selamanya tidak bisa kembali pada orang yang memberikannya.
6
Ibunya merasa rumah itu juga berandil ikut membelinya dengan menjual aset-aset yang lain dulu-dulunya.
Tanggapan:
Nah ini fakta baru. Jika benar bahwa ibu punya andil dan pakai harta beliau, berarti rumah itu harta gana-gini dengan almarhum ayah. Kalaupun hibahnya sah, maka yang jadi milik putri pertama hanya 50% saja.