Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hukum asal kurban adalah sunnah sebagaimana pernah saya ulas panjang lebar dalam catatan yang berjudul “Hukum Berkurban: Sunnah atau Wajib?”
Hanya saja, dalam kondisi-kondisi tertentu, kurban bisa menjadi wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Kondisi-kondisi tersebut adalah,
Pertama: Jika dinadzarkan.
Orang yang bernadzar untuk berkurban, maka status kurbannya bukan lagi sunnah tetapi menjadi wajib dan harus dilakukan. Misalnya dia mengatakan, “Saya berjanji kepada Allah, jika saya bisa menikah dengan fulan maka saya akan berkurban satu ekor kambing”. Jika sudah muncul ucapan seperti ini, maka kurban menjadi wajib baginya.
Kedua: Jika hewan sudah dita’yin sebagai kurban.
Maksud hewan dita’yin sebagai kurban adalah hewan sudah ditunjuk secara spesifik sebagai hewan kurban. Misalnya dia punya dua ekor kambing, yang satu berwarna putih yang satu berwana hitam. Kemudian dia berkata, “Saya menjadikan kambingku yang berwarna hitam ini sebagai kurban”. Jika sudah muncul ucapan seperti itu, maka wajib bagi dia berkurban dengan kambing hitam itu karena dia teleh menunjuk secara spesifik salah satu hewannya sebagai kurban.
Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” disebutkan,
“Wajibnya kurban itu adalah dengan nadzar atau ta’yin” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 6 hlm 115).
Ketiga: Jika menjadi “hadyun” wajib.
Maksud “hadyun” adalah kurban yang diniatkan untuk “dihadiahkan” ke Mekah. Jadi, kurban jenis ini sengaja dibawa ke Mekah, disembelih di sana dan dibagi-bagikan kepada penduduknya. Jika ada orang yang mengatakan “Saya jadikan kambing saya ini sebagia kurban ke Mekah, maka saat itu juga status kurbannya menjadi “hadyun” wajib yang tidak bisa dibatalkan. Termasuk “hadyun” wajib adalah kambing yang disembelih sebagai “denda” karena berhaji dengan cara haji tamattu’ atau qiron.
BOLEHKAH MAKAN DAGING KURBAN WAJIB?
Selain orang yang berkurban, sudah disepakati bahwa mereka boleh memakan daging kurban wajib. Adapun bagi yang berkurban sendiri, dalam mazhab Asy-Syafi’i dia dilarang ikut memakan daging kurbannya. Syihabuddin Ar-Romli menegaskan dalam fatwanya terkait haramnya memakan daging kurban nadzar dan kurban ta’yin bagi orang yang berkurban,
“Beliau (Syihabuddin Ar-Romli) ditanyai tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kambing dan berkata, ‘ini adalah kurban’, atau (mengatakan) ‘aku menjadikannya sebagai kurban’, meskipun (ucapannya itu dimunculkan) saat menyembelih. Apakah dengan hal tersebut (hukumnya) menjadi wajib dan haram memakan dagingnya meskipun dia meniatkan tathowwu dengan ucapannya ataukah tidak (haram memakannya)? Apakah haram memakan kurban yang wajib karena nadzar ataukah tidak?
Maka beliau (Syihabuddin Ar-Romli) menjawab bahwa kambing tersebut menjadi kurban (wajib) karena ucapannya itu. Kepemilikan dirinya atas kambing tersebut menjadi hilang sehingga haram baginya memakan kurban wajib” (Fatawa Ar-Romli, juz 4 hlm 69).
Demikian pula “hadyun” wajib, haram juga orang yang berkurban ikut memakan dagingnya. An-Nawawi berkata,
“Semua “hadyun” yang wajib sejak awal tanpa adanya komitmen seperti “dam tamattu’, “dam qiron” dan ”jubronat” haji maka tidak boleh dimakan (oleh orang yang berkurban) tanpa ada perselisihan” (Al-Majmu’, juz 8 hlm 417)
Wallahua’lam.