Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ini adalah pertanyaan yang biasa dilontarkan orang ateis kepada orang yang bertuhan dengan tujuan membuat ragu terhadap Tuhan.
Jawaban pertanyaan itu memang dilematis. Jika kita menjawab, “bisa”, ateis akan bisa mengatakan, “Kalau begitu Tuhan tidak Maha Kuasa. Buktinya Dia tidak bisa mengangkat batu ciptaannya sendiri”. Jika kita menjawab, “tidak”, maka ateis juga dengan cepat memukul dengan mengatakan, “Kalau begitu, jelas Tuhan itu tidak maha kuasa, buktinya ada hal yang berada di luar kemampuannya, yaitu tidak sanggup menciptakan batu seperti itu”. Ringkasnya, jawaban apapun semuanya bisa dipakai alat untuk menghantam kepercayaan terhadap Tuhan. Wajar, pertanyaan falsafi seperti ini dibuat memang bukan untuk mencari kebenaran, tetapi sekedar membuat orang ragu dengan Tuhan, sehingga nantinya akan mudah digiring menuju ateisme. Yang jadi korban selalu anak-anak muda yang masih lugu dan awam dengan ajaran agama.
Kalau begitu, bagaimana menjawab pertanyaan “nakal” itu?
Sederhana saja.
Coba kita bongkar dari pertanyaannya sendiri.
Dari sisi substansi pertanyaan, sebenarnya pertanyaan jenis itu termasuk “illogical question” (pertanyaan yang tidak logis). Jadi, pertanyaannya sendiri sudah salah karena membantah aksioma yang ada pada dirinya sendiri. Pertanyaan jenis itu adalah jenis pertanyaan yang kehilangan mutu dan tidak berharga untuk dicarikan jawaban. Contoh “illogical question” misalnya begini,
“Jika kita menyiramkan seember air pada api yang menyala sebesar lilin, butuh berapa detik api itu bisa membesar menjadi sebesar rumah?”
Ini adalah pertanyaan yang tidak logis karena bertentangan dengan aksioma yang ada pada dirinya sendiri. Sifat air adalah memadamkan api. Jika ada pertanyaan yang mengasumsikan bahwa air malah menjadi bahan bakar api, maka itu pertanyaan yang tidak logis sehingga tidak bernilai untuk dijawab.
Mempertanyaakan apakah Tuhan bisa menciptakan batu yang Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya adalah pertanyaan salah karena bertentangan dengan aksioma tentang Tuhan. Sifat kesempurnaan adalah sifat pasti pada Tuhan. Tidak dinamakan Tuhan jika masih punya sifat kekurangan. Jadi pertanyaan yang mengasumsikan bahwa Tuhan bisa lemah adalah pertanyaan yang tidak logis alias “illogical question”.
Poin pentingnya, tidak semua pertanyaan itu benar. Ada pertanyaan yang salah sehingga tidak punya nilai untuk dijawab. Kita harus kritis di sini.
Ini penjelasan kesalahan dari dari sisi substansi pertanyaan.
Adapun penjelasan kesalahan dari sisi metode mengenal Tuhan, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Islam mengajarkan bahwa mengenal Tuhan itu ada dua tahap.
Pertama: Membuktikan keberadaan-Nya
Kedua: Mengetahui sifat-sifatnya
Untuk membuktikan keberadaan Allah, Al-Qur’an memerintahkan berpikir menggunakan akal dan memperhatikan seluruh alam semesta. Manusia diminta memperhatikan penciptaan langit, bumi, siang-malam, angin, awan, gunung, binatang dan semua isi alam semesta. Pada tahap ini, selama orang berfikir lurus, logis, obyektif, ilmiah dan tidak “ngeyelan” dijamin secara pasti bahwa dia tidak akan bisa mengingkari keberadaan Tuhan
Adapun tahap kedua, yakni mengenal sifat-sifat Allah, maka itu sudah diluar kuasa dan jangkauan akal manusia. Orang yang berusaha mengetahui hakikat Allah dengan akalnya dijamin pasti gagal. Ada dialog menarik antara salah seorang ulama dengan seorang ateis di masa lalu. Ateis ini mengaja ulama tadi berdebat tentang hakikat sifat-sifat Tuhan lalu terjadilah dialog yang kira-kira begini isinya,
Ulama : Apakah engkau melihat bintang yang ada di langit sana?
Ateis : Ya, saya melihatnya
Ulama : Apakah engkau tahu terdiri dari bahan apa bintang itu?
Ateis : (tertegun) tidak tahu!
Ulama : Perhatikan! Sesuatu yang bisa kau lihat dengan matamu saja engkau tidak bisa mengetahui hakikatnya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin mengetahui hakikat sifat Tuhan yang tidak terjangkau oleh matamu?
Ateis : (terbungkam)
Demikianlah. Adalah kesalahan besar jika orang berusaha memahami sifat Tuhan dan hakikatnya hanya dengan perenungan akal. Itu mustahil. Tidak akan terjangkau. Akal kita, mata kita, telinga kita diciptakan Tuhan secara terbatas. Melihat matahari secara langsung yang merupakan makhluk Tuhan saja mata kita tidak sanggup. Apalagi mengindra Tuhan yang jauh lebih dahsyat daripada makhluk-Nya.
Sifat Tuhan tidak bisa dipahami dengan cara filosof.
Jalan paling selamat dan paling sesuai fitrah manusia untuk memahami sifat Tuhan adalah dengan wahyu Allah. Yakni wahyu yang diajarkan kepada para Rasul. Apa yang diajarkan para Rasul terkait sifat Allah itulah yang seharusnya kita jadikan pegangan, tanpa membahas lebih jauh lagi di luar kapasitas kita. Jika Rasul mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu punya sifat Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Penyayang, Maha Membalas, Maha Keras Siksa-Nya dan lain-lain maka itulah yang kita imani sebatas kemampuan kita sebagai manusia. Tidak perlu kita melampaui kepasitas kita karena itu akan mengantarkan pada penyesatan.
Patus dicatat di sini, pernyataan yang berbunyi “Tidak mungkin menjangkau hakikat sifat Tuhan” itu tidak bermakna “Tidak bisa memahami Tuhan”. Ini salah paham juga. Maksud tidak bisa memahami hakikat sifat Tuhan adalah “Ketidakmungkinan kita memahami hakikat sifat Tuhan sebagaimana yang layak dan pantas untuk-Nya”. Mensifati Tuhan dengan sifat sempurna dan sesua dengan keagungan-Nya ini diluar kuasa manusia. Dalam banyak doa Nabi ditegaskan kelemahan ini. Yang bisa kita lakukan adalah memahami sifat Tuhan sebatas kemampuan kita sebagai manusia dengan segala keterbatasannya.
Di dunia ini kita sudah ditakdirkan tidak bisa melihat Tuhan. Kita hanya ditunjukkan adanya Tuhan dengan tanda-tanda (ayat). Itulah ujian kita. Di akhirat nanti, barulah kita bisa melihat Allah dengan jelas dan waktu itu Allah sudah membuat kita sanggup melihat-Nya dengan kehendak-Nya.
Selama di dunia, iman kita terhadap Tuhan adalah “bil ghoib” (secara gaib/tanpa mengindra). Itulah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang takut terhadap Rabbnya, dia mendapatkan ampunan dan ganjaran yang besar” (Al-Mulk; 12)