Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Secara psikologis, sebenarnya adalah wajar jika orang yang sedang belajar Islam kemudian kagum terhadap seorang ustaz, guru, ulama, dai, Kyai, Syaikh, Habib, Gus, Lora, pendiri organisasi, ideolog gerakan dan semisalnya. Hanya saja, kekaguman ini tidak boleh berlebihan dan melampaui batas, tetapi harus tetap proporsional sesuai kadar sang tokoh. Pelanggaran terhadap prinsip ini akan membahayakan akhirat sang pengagum dan juga menimbulkan masalah perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.
Orang yang kagum dengan seorang tokoh, entah itu karena keilmuannya, kecerdasannya, kepandaian retorikanya, karya-karyanya, adabnya, akhlaknya atau sebab-sebab yang lain biasanya mengalami kondisi psikologi seperti itu ketika tokoh yang dikenalnya masih terbatas, yakni tokoh yang ada dalam komunitasnya saja. Kekaguman ini semakin hari bisa semakin bertambah jika komunitas yang ia ikuti setiap kesempatan selalu mengelu-elukan sang tokoh dengan berbagai cara. Tingkat kekaguman ini juga bisa mencapai level yang luar biasa jika komunitas yang ia ikuti menciptakan sebuah ajaran untuk memblokir upaya mengenal tokoh di luar komunitasnya dengan berbagai cara, atau menciptakan opini umum (yang tidak pernah bisa dibuktikan) untuk menggambarkan bahwa semua tokoh di luar komunitasnya secara pasti memiliki kualitas dan level berada di bawah tokoh yang dikaguminya. Jika sebuah komunitas melakukan dua strategi ini, yakni membatasi pengenalan tokoh hanya pada tokoh komunitasnya, dan memblokir para pengikut untuk mengenal tokoh di luar komunitasnya, maka akan terciptalah fanatikus buta yang “sempurna”. Para fanatikus buta ini akan menjadi pribadi yang sulit diajak berfikir, sulit memandang sesuatu secara jernih, sulit bersikap adil, dan sulit untuk tidak “baper” menyikapi apapun yang menyinggung tokohnya. Dia juga akan menjadi “die hard fans”, pembela radikal, dan pengagum “garis keras”. Dia akan menganggap tokohnya sebagai orang terhebat sepanjang zaman. Dia juga akan mengharamkan siapapun mengkritik tokohnya. Bisa jadi wala’ dan baro’nya juga didasarkan pada dukungan atau serangan terhadap sang tokoh. Bahkan, fanatisme ekstrim ini mungkin mencapai satu level di mana dia menilai orang lain termasuk kelompok yang selamat ataukah celaka di akhirat berdasarkan sikap terhadap sang tokoh ini.
Bagaimana mengobati “penyakit” semacam ini?
Cara mengobatinya sebenarnya tidak terlalu rumit. Yang jadi masalah, tidak semua orang sadar sedang memiliki “penyakit” itu. Jika dia sendiri tidak merasa sakit, tentu saja dia tidak mencari obat dan bisa jadi menolak keras jika ditawari untuk diobati.
Cara mudah untuk mewajarkan sikap terhadap tokoh agama tertentu adalah meluaskan wawasan dengan banyak mempelajari biografi tokoh dan ulama di berbagai zaman, yakni tokoh-tokoh di luar komunitasnya selama ini. Dengan cara itu, meskipun pelan dan berangsur-angsur, ada saatnya para fanatikus buta itu menjadi sadar akan kejahilannya dan menjadi tahu bahwa sebenarnya ada banyak orang hebat di luar komunitasnya, baik yang hidup semasa maupun dari kalangan tokoh di masa lalu. Dengan begitu dia akan mulai bisa menempatkan tokoh apapun secara proporsional. Tidak merendahkan orang yang memang memiliki kedudukan tinggi, tetapi juga tidak berlebihan mengangkat seseorang melebihi dari kadar dan kualitasnya.
Menempatkan ulama secara proporsional inilah di antara manfaat penting mempelajari biografi para ulama sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi dalam kitab “Tahdzibu Al-Asma’ Wa Al-Lughot”,
“Di antara (manfaat)nya (mempelajari biografi para ulama adalah) mengenal tingkatan-tingkatan mereka, masa hidup mereka, sehingga mereka bisa ditempatkan sesuai dengan kedudukan mereka. Mereka yang tinggi kedudukannya tidak diturunkan dari derajatnya dan selain mereka tidak diangkat dari level kualitasnya” (Tahdzibu Al-Asma’ Wa Al-Lughot, juz 1 hlm. 10).
Jadi bisa kita katakan, orang yang berlebihan “memuja” tokoh yang dikaguminya itu sebenarnya masalah dia hanyalah masalah kejahilan. Yakni kejahilan akan pengetahuan mengenal tokoh dan orang hebat di luar komunitasnya. Keterbatasan wawasannya membuatnya mengira bahwa manusia terhebat dalam pikirannya adalah tokoh yang dikaguminya itu saja.
Menempatkan manusia secara proporsional adalah perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah berikut ini,
“Dari Aisyah r.a. bahwasanya beliau berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan kami untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka” (H.R. Muslim).
Dalam majelis Nabi صلى الله عليه وسلم , beliau biasa memerintahkan agar diatur posisi para pendengar ceramah beliau. Yang diminta paling dekat duduknya dengan beliau adalah shahabat yang paling tinggi kualitasnya (“ulul ahlam wan nuha”), setelah itu para shahabat yang di bawah mereka, setelah itu yang di bawah mereka, dan seterusnya. Beginilah contoh praktek Nabi صلى الله عليه وسلم dalam menempatkan manusia sesuai dengan kadar dan kualitas masing-masing.
Di antara kitab bagus untuk mengenal banyak nama tokoh ulama di masa lalu (terutama tokoh fikih) agar kita bisa menempatkan secara proporsional ulama mana pun di berbagai zaman, termasuk ulama dan dai-dai kontemporer (masa kini) adalah kitab An-Nawawi yang bernama “Tahdzibu Al-Asma’ wa Al-Lughot”.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين