Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tulisan ini adalah pelengkap dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Asy-Syafi’i dan Khilafah”. Setelah kita mengetahui sikap Asy-Syafi’i terhadap Khilafah sementara beliau kita ketahui sebagai pendiri mazhab Asy-Syafi’i, maka kajian seputar topik ini akan terasa lebih lengkap jika kita mengelaborasi sikap An-Nawawi sebagai sang muharrir besar mazhab Asy-Syafi’i terhadap Khilafah. Dengan mengetahui sikap dua pembesar mazhab Asy-Syafi’i ini, maka kita akan tahu bagaimana mazhab Asy-Syafi’i menempatkan isu khilafah. Dengan begitu, kita bisa menyikapi secara proporsional pembahasan tentang khilafah tanpa membesar-besarkannya atau mengecil-ngecilkannya. Semuanya wajar, apa adanya dan penuh kejujuran ilmu tanpa ada upaya propaganda apapun terhadap kelompok tertentu.
Bisa dikatakan An-Nawawi hidup di masa akhir kekhilafahan Abbasiyyah. Hanya saja, politik pada zaman itu tidak sesederhana yang mungkin dibayangkan sebagian orang. Kekuatan politik di masa itu bisa dikatakan terhitung ruwet, saling terhubung, saling mengunci, saling menyandera, saling menunggu kesempatan munculnya kelemahan dari pihak lain dan saling bersiap-siap untuk menghancurkan pihak yang dianggap rival.
Ada tiga kekuatan politik di masa An-Nawawi yang dianggap merepresantasikan kaum muslimin dan merepresentasikan pemerintahan Islam di masa An-Nawawi, yakni Khilafah Abbasiyyah, Daulah Ayyubiyyah dan Daulah Mamalik. Saat An-Nawawi hidup, Daulah Abbasiyyah sedang berada dalam puncak kelemahannya. Al-Musta’shim yang menjadi Kholifah waktu itu dianggap sebagai Kholifah terlemah dan paling pengecut dalam sejarah Khilafah Abbasiyyah. Di masanya, Khilafah Abbasiyyah hanya berkuasa sebagai simbol (mirip ratu di Inggris). Penghargaan terhadap Kholifah hanya dilakukan secara simbolik, yakni didoakan di atas mimbar-mimbar dan dicetaknya mata uang atas namanya. Kekuasaan riil waktu itu berada ditangan Bani Seljuk. Dengan kata lain, Khilafah Abbasiyyah di zaman An-Nawawi berlindung dibawah payung dan bayang-bayang Bani Seljuk.
Di sisi lain, di Mesir ada Daulah Ayyubiyyah yang berdiri di atas puing-puing kekuasaan Daulah Fathimiyyah pasca kehancurannya. Pendiri kekuasaan ini adalah Sholahuddin Al-Ayyubi yang tersohor itu. Hanya saja, sepeninggal Sholahuddin Al-Ayyubi, kekuasaannya dibagi-bagi di antara anak-anaknya dan saudaranya sehingga terjadi banyak perang saudara yang melemahkan kekuasaan daulah ini. Pada saat An-Nawawi hidup, Daulah Ayyubiyyah mengalami puncak kelemahan, kemunduran dan bahkan kehancuran terakhirnya yang kemudian di atas puing-puingnya berdiri Daulah Mamalik.
Menguatnya Daulah Mamalik juga sempat dialami oleh An-Nawawi. Di zaman An-Nawawi, terkenallah raja Baybars yang terkenal dengan gelar Al-Malik Azh-Zhohir Baybars (الملك الظاهر بيبرس). Kekuasaan Daulah Mamalik semakin kokoh setelah kehancuran Daulah Ayyubiyyah dan keberhasilan Baybars mengusir orang-orang kafir dari negeri-negeri kaum muslimin.
Di sisi yang lain, secara eksternal di zaman An-Nawawi juga ada kekuatan politik kafir dari Eropa, yakni pasukan Salib yang masih berambisi merebut kembali Baitul Maqdis dan menaklukkan negeri-negeri kaum muslimin. Di masa An-Nawawi pula muncul tragedi terbesar umat Islam, yakni hancurnya Kekhilafahan Abbasiyyah akibat serangan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H.
Jadi, bisa disimpulkan An-Nawawi hidup dibawah jaringan kekuatan politik yang ruwet, saling terhubung dan saling terjalin berkelindan, yaitu kekuasaan Khilafah Abbasiyyah, Daulah Seljukiyyah, Daulah Ayyubiyyah, Daulah Mamalik, kerajaan-kerajaan kristen Eropa (Pasukan Salib) dan Imperium Hulagu Khan.
RUNTUHNYA KHILAFAH ABBASIYYAH DI MASA AN-NAWAWI
Sejarah mencatat bahwa Baghdad yang waktu itu menjadi ibukota Khilafah Abbasiyyah diserang tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H. Baghdad hancur dan bisa dikatakan Khilafah Abbasiyyah telah runtuh serta berakhir semenjak tahun itu. Jika kita mengetahui bahwa An-Nawawi lahir pada tahun 631 H, maka peristiwa kehancuran Khilafah Abbasiyyah ini berarti terjadi pada saat An-Nawawi berusia kira-kira 25 tahun. Ini adalah usia di mana An-Nawawi sedang giat-giatnya nyantri dan belajar ilmu syar’i dengan sangat intens.
Setelah itu An-Nawawi masih terus hidup melanjutkan aktivitasnya dengan belajar, mengajar, mengarang, beribadah dan beramal salih sampai wafatnya pada tahun 676 H. Artinya, bisa kita fahami bahwa An-Nawawi mengalami masa hidup “tanpa khilafah” selama 20 tahun. An-Nawawi wafat tanpa pernah menyaksikan Khilafah ditegakkan kembali dan tidak pernah menyaksikan kaum muslimin dipimpin oleh seorang Kholifah yang menyatukan mulai barat sampai timur. Pembaiatan Al-Mustanshir Billah, lalu Al-Hakim bi Amrillah dan seterusnya sampai datangnya invasi Utsmaniyyah sulit disebut sebagai tegaknya kembali Khilafah Abbasiyyah secara de jure maupun de facto, karena secara riil mereka tidak pernah berkuasa. Keturunan Abbasiyyah hanya dijadikan simbol saja, sementara kekuasaan riil pemerintahan dipegang oleh raja-raja Mamalik. Jadi posisi mereka seolah-olah hanya “numpang” saja. Karena itulah dalam catatan sejarah dikenal istilah Daulah Mamalik atau Daulah Mamlukiyyah. Seandainya di Mesir itu yang ada adalah kekuasaan riil Abbasiyyah, maka tidak perlu ada istilah Daulah Mamalik. Ketika As-Suyuthi menyebut Abbasiyyah di Mesir dalam bagian sejarah Khalifah, maka hal itu hanya didasarkan karena adanya pembaiatan secara simbolik saja, meskipun fakta politik sebenarnya keberadaan mereka hanya numpang saja. HAMKA dalam bukunya; Sejarah Umat Islam, termasuk yang berpendapat bahwa Khilafah Abbasiyyah sudah selesai di masa Al-Musta’shim, yakni ketika Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan.
Ajaibnya, selama kurun waktu 20 tahun itu, tidak ada satu hurufpun An-Nawawi menulis kitab tentang tatacara menegakkan khilafah kembali. Tidak ada juga satu hurufpun muncul karya yang mengingatkan kaum muslimin akan pentingnya menegakkan khilafah kembali. Tidak ada satu hurufpun beliau membesar-besarkan soal khilafah ini.
Padahal, di sisi yang lain An-Nawawi dikenal tidak segan-segan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa. Tidak pernah merasa takut beliau menulis surat dan mengingatkan langsung kekeliruan penguasa jika beliau yakin itu salah. An-Nawawi pernah mengkritik Baybars dari dinasti Mamalik yang menarik pajak dari rakyat yang menderita dengan alasan biaya jihad. An-Nawawi juga mengkritik Baybars yang dianggapnya merampas Ghuthoh (area kebun subur di Damaskus) dari pemiliknya tanpa haqq dengan klaim untuk kepentingan jihad. An-Nawawi juga mengkritik Baybars yang terkesan membiarkan tarikan-tarikan liar (mukus) dari para pejabatnya. An-Nawawi juga tak segan-segan menyalahkan raja Baybars yang membagi-bagi ghonimah tanpa melakukan “takhmis” (membagi harta rampasan menjadi lima). An-Nawawi juga mengkritik kebijakan larangan seorang ahli fiqih mengajar lebih dari satu kampus. Anehnya, tidak ada satupun dari surat-surat An-Nawawi atau koreksi langsung beliau kepada penguasa yang menyinggung-nyinggung tentang khilafah. Tidak ada satupun tema yang berbicara tentang khilafah atau seruan menegakkannya kembali. Tidak satu hurufpun An-Nawawi mengingatkan para politisi dan para jendral atau pihak manapun yang dianggap memiliki kekuatan politik untuk menegakkan kembali kekhilafahan yang telah runtuh itu. Jika khilafah memang perkara yang sangat urgen dalam dien dan menjadi kewajiban utama yang tidak boleh ditunda, tidak mungkin ulama besar dan hebat seperti An-Nawawi demikian seabai ini.
Tidak hanya dalam soal pemilihan tema koreksi kepada pemerintah yang sama sekali tidak pernah menyinggung Khilafah, An-Nawawi juga sama sekali tidak tergerak untuk membuat gerakan politik, partai politik atau gerakan sosial apapun yang sifatnya memberikan penyadaran umat akan arti pentingnya khilafah dan keharusan segera menegakkannya kembali. Tidak ada satu hurufpun An-Nawawi menulis fatwa tentang harusnya segera ditegakkan khilafah. An-Nawawi juga tidak pernah memberikan fatwa masalah batasan waktu maksimal menegakkan khilafah, misalnya tidak boleh sampai lebih dari tiga hari sehingga jika kaum muslimin gagal menegakkan khilafah lebih dari tiga hari, maka mereka terus berdosa dan dianggap wajib menegakkan dalam kapasitas qodho. Ini fakta yang sangat menarik mengingat beliau adalah ulama besar yang menguasai betul mazhab Asy-Syafi’i, dan sepertinya belum tertandingi oleh ulama kontemporer manapun pada zaman sekarang. Beliau juga dikenal ahli fatwa sebagaimana tampak pada kitabnya yang bernama “Al-Masa-il Al Mantsuroh”. Tetapi anehnya dan ajaibnya, tidak ada satupun fatwa keluar dari beliau terkait keharusan segera menegakkan khilafah kembali. Tidak ada juga fatwa yang mengajak mengarahkan semua potensi kaum muslimin untuk menegakkan khilafah. Tidak ada juga fatwa yang sifatnya menyalahkan dan meremehkan semua amal kaum muslimin yang tidak mengusahakan tegaknya kembali khilafah atau dianggap menghalang-halangi dan memperlambat tegaknya khilafah. Semua ini sungguh janggal jika diingat An-Nawawi hidup selama kurang lebih 20 tahun dalam “ketiadaan khilafah”
Malahan, lebih menarik lagi, setelah runtuhnya Khilafah Abbasiyyah, keputusan An-Nawawi adalah mengarang kitab-kitab yang bernuansa ibadah, akhlak, dan inti-inti ajaran Islam. An-Nawawi mengarang kitab “Arba’in Nawawiyyah”, “Riyadhus Sholihin”,”Al-Adzkar” dan kitab-kitab fikih yang ternyata justru terbukti manfaatnya luar biasa besar dan merata sepanjang zaman. Keputusan amal An-Nawawi terbukti sangat akurat dan menjadi amal jariyah besar buat beliau. Tidak satu hurufpun An-Nawawi mengarang sebuah kitab yang berisi cara menegakkan khilafah setelah keruntuhannya atau karya-karya yang mendorong kaum muslimin untuk melakukan sebuah gerakan politik dan sosial.
Selain mengarang kitab-kitab yang bernuansa ibadah, akhlak, dan inti-inti ajaran Islam, An-Nawawi juga menghabiskan sebagian besar umurnya untuk serius melakukan tahrir mazhab yang hasil akhirnya “hanya” menemukan pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i. Dengan karya-karya yang sifatnya mengerjakan “tanqih mazhab”, tentu saja tidak bisa diharapkan akan ada hasil penegakan khilafah apalagi diharapkan bisa membangkitkan umat dan mengarahkannya untuk menjadi negara adidaya. Tanqih mazhab An-Nawawi bagi sebagian orang juga mungkin dianggap sebagai pekerjaan “perpustakaan berjalan” yang sama sekali “tidak membangkitkan” dan tidak menimbulkan “wa’yun siyasi” (kesadaran politik) untuk memahami masalah-masalah umat.
Sampai di sini, bisa disimpulkan bahwa tidak ada satupun segmen dalam kehidupan An-Nawawi yang bisa ditafsirkan bahwa beliau mengalokasikan waktu untuk “berjuang menegakkan khilafah” setelah runtuhnya Khilafah Abbasiyyah di zamannya.
APAKAH PENEGAKAN KHILAFAH ADALAH HAL TERPENTING DALAM HIDUP?
Jika khilafah adalah hal terpenting dalam hidup seorang wali dan kekasih Allah seperti An-Nawawi, seharusnya dalam kondisi Khilafah sudah runtuh An-Nawawi membuat satu pembahasan khusus tentang urgensi khilafah, posisinya sebagai “tajul furudh”, hukum menegakkannya kembali, cara menegakkannya lagi dan kalau perlu merancang juga sistem politik dan organ-organ pemerintahan yang lebih mapan dan kokoh supaya keruntuhan khilafah itu tidak berulang lagi dalam sejarah.
An-Nawawi juga jelas tahu adanya kerajaan Ayyubiyyah yang masih tegak di zamannya (terakhir hancur tahun 648 H). Daulah Ayyubiyyah lumayan harum namanya pada abad itu karana pendirinya berhasil mengusir tentara salib dan merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib. Namun tidak ada satupun risalah atau surat ditulis An-Nawawi untuk memberikan sikap yang jelas terkait penegakan khilafah ketika sudah tercium bau kehancurannya di Baghdad.
An-Nawawi juga pasti tahu serta masih mengalami tegaknya Daulah Mamalik yang kekuasaan membentang sampai ke Syam dan dengan gagah perkasa berhasil mengalahkan tentara Mongol dalam perang ‘Ain Jalut dan juga berhasil mengusir pasukan salib yang berusaha merebut kembali Baitul Maqdis. Anehnya, tidak ada satupun risalah atau surat khusus yang ditulis An-Nawawi dan ditujukan kepada Baybars, penguasa Mamalik waktu itu terkait penegakan kembali khilafah dan urgensi penyatuan kembali kaum muslimin.
Benar, dari sekian puluh ribu lembar kitab-kitab An-Nawawi dan semua tinggalan-tinggalan tertulis beliau itu, tidak ada satupun kitab yang membahas secara khusus untuk mendorong kaum muslimin berjuang menegakkan khilafah apalagi tulisan yang membahas masalah cara menegakkannya.
Memang An-Nawawi membahas imamah. Menariknya, pembahasan itu diletakkan sebagai pembahasan cabang dari topik “qitalul bughot” (memerangi para pemberontak), tidak menjadi pembahasan tersendiri dalam satu bab. An-Nawawi jelas mengalami masa di mana umat Islam tidak punya negara, tapi anehnya tidak ada tanda-tanda dalam karya beliau yang memberi kesan bahwa soal tersebut adalah soal yang besar dan penting bagi kaum muslimin. Malahan, cara beliau membahas hukum salat dan thoharoh yang demikian luas, detail dan sangat dalam, memberi kesan bahwa urusan salat jauh lebih penting menurut beliau daripada khilafah. Ini adalah prioritas pembahasan tema yang sangat bagus, jitu dan akurat. Tidak salah jika dikatakan bahwa satu kali berbicara tentang hukum salat lebih bisa diharap menjadi amal yang menyelamatkan dari neraka daripada berbicara 1000 kali tentang khilafah. Hal itu dikarenakan semua ulama dan kaum muslimin sudah sepakat, siapapun yang mengingkari kewajiban salat maka dia dihukumi kafir sementara yang mengingkari khilafah tidak ada satupun ulama ahlussunnah wal jamaah yang menghukuminya keluar dari Islam. Jika urusan salat tidak ada satupun ulama yang menganjurkan untuk tidak banyak dibicarakan, tetapi untuk urusan khilafah ada banyak ulama yang menasihati agar tidak banyak dibicarakan dan dibesar-besarkan.
Dari sini tampaklah kebatilan ilusi sebagian orang yang gemar berkhayal bahwa ulama dulu tidak membahas sistem pemerintahan Islam dan tidak membesarkan isu khilafah karena khilafah di anggap masih ada. An-Nawawi adalah bukti nyata yang tak terbantahkan. Beliau hidup dan mengalami sendiri masa keruntuhan khilafah. Kendati demikian tidak sedikitpun hati beliau dan juga ulama satu abad setelah beliau tergerak menggoreskan pena menulis kitab yang isinya mengajak kaum muslimin menegakkan kembali khilafah yang telah runtuh dan menghabiskan umur untuk menegakkannya.
Mengapa An-Nawawi tidak bersedia membesar-besarkan masalah khilafah? Boleh jadi ada sejumlah kemungkinan jawaban yang bisa dimajukan. Hanya saja, jika dilihat sikap imam Asy-Syafi’i dan umumnya ulama Asy-Syafi’iyyah, yang lebih logis adalah memahami jika An-Nawawi berqudwah pada panutan mazhabnya, yakni Asy-Syafi’i yang juga tidak pernah mau menulis topik khilafah secara khusus. Kedalaman ilmu, kebijaksanaan (yang sanggup memandang jauh ke depan), kefaqihan dan penguasaan sempurna terhadap hakikat dien ini membuat An-Nawawi tahu bahwa isu khilafah yang sangat berbahaya dan bukan isu yang pantas dibesar-besarkan. Beliau tahu betul bahwa isu ini seharusnya tidak terlalu diangkat ke permukaan karena bahayanya yang luar biasa dalam menciptakan konflik sosial. Bisa dibayangkan jika waktu, tenaga, harta dan kecerdasan kaum muslimin habis untuk berdebat dan berkonflik tentang khilafah, maka tidak akan ada penelitian, eksperimen ilmiah, karya-karya ulama yang demikian bermutu dan hal-hal penting lainnya yang sangat berperan membentuk serta mempertahankan peradaban islam. Darah kaum muslimin akan banyak tertumpah untuk membela keyakinan-keyakinan politik atas nama menegakkan khilafah itu.
FIKIH KHILAFAH
Ini semua adalah gambaran sikap An-Nawawi terkait isu menegakkan kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya sikap An-Nawawi sendiri terkait hukum fikih Khilafah dan pemerintahan Islam secara umum?
Jawaban atas pertanyaan ini secara ringkas adalah sebagai berikut.
Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah tidak mungkin dicari di kitab “At-tahqiq” karena kitab fikih ini ditulis An-Nawawi hanya sampai bab musafir. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga tidak mungkin dicari di kitab “Al-Majmu’” karena kitab fikih ini ditulis An-Nawawi hanya sampai bab riba. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga tidak mungkin dicari di kitab “At-Tanqih” karena kitab fikih ini ditulis An-Nawawi hanya sampai bab syarat-syarat salat. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga sulit dicari di kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karena kitab fikih ini tidak menyediakan bab khusus tentang khilafah. Yang ditulis hanya bab tentang bughot, sementara pembahasan yang menjadi “kepalanya”, yakni pembahasan Imamah/Khilafah malah tidak dibahas. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga sulit dicari di kitab “Al-Masa-il Al-Mantsuroh” karena kitab ini adalah kitab fatwa dan tidak menyediakan bab khusus tentang khilafah. Yang ditulis hanya bab tentang qodho saja. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga sulit dicari di kitab “Al-Minhaj”, karena kitab ini adalah syarah sahih muslim. Jadi, yang bisa diharap hanyalah syarah-syarah An-Nawawi yang mungkin bersinggungan dengan topik khilafah, tetapi bukan pembahasan khusus yang detail, terstruktur dan membentuk kesatuan. Melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah juga sulit dicari di kitab “Tashihu At-Tanbih” dan An-Nukat ‘ala At-Tanbih” karena dua kitab ini ditulis An-Nawawi sebagai koreksi dan catatan-catatan kecil An-Nawawi terhadap “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi. Jika seperti ini kondisi kitab-kitab An-Nawawi yang terkait fikih, maka melacak sikap An-Nawawi terhadap khilafah di kitab-kitab non fikih semisal At-Taqrib, Bustanul ‘Arifin, dan semisalnya tentu lebih mustahil lagi ditemukan.
Sepertinya, kitab fikih An-Nawawi yang memungkinkan dikaji karena memberikan data yang lumayan lebih banyak terkait Khilafah adalah kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” saja. Sebagaimana kita tahu, kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” adalah ringkasan dari kitab “Al-‘Aziz” karya Ar-Rofi’i sebagaimana pernah saya buatkan catatannya dalam artikel yang berjudul “Mengenal Kitab Roudhotu Ath-Tholibin Karya An-Nawawi”. Jadi, sikap An-Nawawi terhadap khilafah bisa kita gambarkan dan kita petakan berdasarkan kajian dalam kitab ini. Kitab ini bukan hanya mencerminkan pendapat An-Nawawi terhadap Khilafah, tetapi bahkan juga mencerminkan pendapat mazhab Asy-Syafi’i terhadap Khilafah.
Khilafah dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” di bahas oleh An-Nawawi dalam bab yang berjudul “Al-Imamah wa Qital Al-Bughot”. Dilihat dari uraiannya dan rinciannya, tampaklah bahwa An-Nawawi banyak mengambil referensi dari “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah” karya Al-Mawardi di samping kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah lainnya terkait politik. Secara ringkas, hukum-hukum fikih terkait khilafah dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” adalah sebagai berikut.
Khilafah harus didirikan untuk menegakkan dien, menolong sunnah, memberikan keadilan bagi orang-orang yang terzalimi, dan menunaikan hak-hak agar diletakkan sesuai tempatnya. Hukum menegakkannya adalah fardhu kifayah. Ia bisa menjadi fardhu ain bagi individu tertentu jika tidak ada yang layak memikulnya kecuali hanya dia. Kholifah boleh disebut Imam, Amirul Mukminin, atau “Kholifatu Rosulillah”.
Syarat-syarat Kholifah adalah harus mukallaf, muslim, adil, merdeka, laki-laki, berilmu, mujtahid, pemberani, piawai (dzu ro’yin wa kifayah), sehat pendengaran-penglihatan (sami’an bashiron), tidak bisu (nathiq), bernasab Quraisy dan sehat semua jasmaninya (tangan, kaki, telinga dan lain-lain)
Keabsahan pengangkatan kholifah bisa melalui salah satu dari tiga jalan, pertama; “Baiat” (inauguration/fealty), kedua; “Istikhlaf” (penunjukan suksesor/appointment of successor), dan ketiga; Kudeta (al-qohru wal istila’). Jika ada pemerintahan yang tegak dari hasil kudeta, lalu pemerintahan hasil kudeta ini dikudeta lagi, maka pemerintahan baru hasil kudeta kedua itu juga sah. Pada proses pengangkatan kholifah ini, tidak boleh mengangkat dua kholifah dalam satu waktu.
Rakyat wajib taat kepada kholifah selama tidak memerintahkan maksiat, wajib menasihati kholifah sesuai kemampuan, dan tidak boleh memecat kholifah tanpa sebab. Kholifah tidak bisa dilengserkan karena kefasikan dan ketidaksadaran (pingsan), tetapi bisa dilengserkan dengan sakit yang membuatnya lupa, kegilaan, atau ditawan yang tidak ada harapan lagi diselamatkan.
Dari uraian hukum-hukum Khilafah dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” di atas, tampaklah bahwa pembahasan khilafah yang dilakukan An-Nawawi adalah adalah pembahasan yang hanya berputar di sekitar isu kepala negara saja. Tidak ada sama sekali pembahasan sistem pemerintahan. Hukum fikih tentang pemerintahan dalam Islam itu ternyata hanyalah berpusat pada pembahasan kepala negara saja, yakni dari sisi istilah panggilannya, kualifikasi calon kepala negara, mekanisme pengangkatannya, keharusan loyal kepadanya, hukum pelengserannya, keharusan taat kepadanya, dan keharusan melakukan kontrol politik atas pemerintahan yang dijalankannya. Ini adalah pembahasan hukum-hukum umum dan prinsip-prinsip pemerintahan. Sama sekali tidak berbicara sistem pemerintahan.
Saat menerangkan prinsip nasihat kepada umat, tidak ada pembahasan apakah harus berupa individu ataukah harus berupa jamaah misalnya (sehingga bisa dipraktekkan dalam bentuk LSM, Parpol, pers dan semisalnya) atau wajib dua-duanya. Ini semua hal teknis yang memang tidak perlu dibahas dalam fikih.
Kesimpulan penting lain tentang konsepsi Khilafah dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” adalah terkait masalah istikhlaf. Ijtihad absahnya khilafah dengan metode istikhlaf ini menegaskan bahwa mazhab Asy-Syafi’i tidak pernah mempermasalahkan sistem pemerintahan itu berbentuk kerajaan atau bentuk yang lainnya. Apalagi Al-Mawardi tegas membolehkan istikhlaf diberikan untuk anak atau ayah. Asy-Syafi’i sendiri tidak pernah didapati riwayat darinya yang memprotes sistem kerajaan dinasti bani Umayyah. Asy-Syafi’i juga tidak pernah didapati riwayat darinya yang mempermasalahkan sistem kerajaan dinasti Abbasiyyah. An-Nawawi sendiri juga tidak pernah mengkritik dua dinasti itu. Beliau juga tidak mempermasalahkan Sholahuddin Al-Ayyubi membagi-bagi kekuasaannya di antara anak-anak dan saudaranya. Ini semua menunjukkan An-Nawawi, bahkan mazhab Asy-Syafi’i tidak mempermasalahkan sistem kerajaan atau sistem pemerintahan apapun yang sifatnya teknis.
An-Nawawi tidak pernah membahas sistem pemerintahan atau sistem khilafah sebagaimana Asy-Syafi’i, Al-Mawardi, Al-Juwaini dan semua ulama Asy-Syafi’iyyah yang lain. Tidak ada pembahasan organ-organ pemerintahan harus berbentuk seperti apa, detail-detail lembaga tertentu yang mencerminkan wewenang tertentu yang harus terikat padanya, dan semua pembahasan yang pada zaman sekarang dipahami sebagai sistem pemerintahan. Sebagaimana tulisan-tulisan saya sebelumnya, seluruh ulama Asy-Syafi’iyyah termasuk An-Nawawi ketika tidak membahasnya maka hal itu lebih dekat dipahami bahwa yang demikian itu adalah karena tergolong persoalan wasilah, bukan “ashl” dan hukum syara’ yang wajib diikuti apalagi dibakukan.
Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam mazhab Asy-Syafi’i sangat terbuka. Ia bisa berbentuk sistem pemerintahan apapun selama sifatnya mengatur teknis. Ia bisa saja berbentuk kerajaan, republik, federasi, demokrasi, dan lain-lain selama menjalankan dua fungsi yakni “hirosatu ad-din” (menjaga agama) dan “siyasatu ad-dunya” (mengurus dunia).
Hal penting lain yang patut menjadi perhatian adalah terkait masalah kudeta. Ijtihad absahnya khilafah dengan kudeta adalah fakta ijtihad yang semakin menunjukkan betapa rawannya isu khilafah ini karena bisa menimbulkan pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan atas nama perjuangan memperoleh kepemimpinan terbaik.
BAHAYA MEMBESAR-BESARKAN ISU KHILAFAH
Sebagai penutup, berikut ini dikutipkan sejumlah nasihat ulama Asy-Syafi’iyyah tentang bahayanya membesar-besarkan isu khilafah dan mengangkatnya dalam pembicaraan publik. Sikap ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah ini bisa kita pahami sebagai landasan An-Nawawi mengapa beliau tidak bersedia membesar-besarkan isu ini, meski konsidi sosial dan politik di zamannya seharusnya menciptakan atmosfer yang sangat pantas untuk membuat isu ini menjadi isu utama.
Mari kita simak beberapa nasihat ulama-ulama besar terkait rawan dan bahayanya pembahasan khilafah/imamah.
AL-JUWAINI
Kata Al-Juwaini, pembahasan khilafah itu bukan pembahasan akidah. Bahaya yang timbul pada orang yang tergelincir dalam pembahasan ini lebih besar daripada bahaya pada orang yang jahil terhadap dasar-dasarnya. Al-Juwaini berkata,
“Pembicaraan tentang topik ini (Khilafah/Imamah) bukan termasuk pembahasan dasar-dasar akidah. Bahaya bagi orang yang tergelincir dalam bahasan itu melebihi bahaya bagi orang yang tidak mengerti dasar pembahasannya” (“Al-Irsyad fi Ushul Al-I’tiqod”, hlm 316)
AL-GHOZZALI
Kata Al-Ghozzali, pembahasan khilafah/imamah itu bukan persoalan akidah. Pembahasan ini bisa memicu ashobiyyah (terbukti sangat banyak terjadi di lapangan betapa orang ketika membahas soal kepemimpinan politik ini, banyak yang berjuang memenangkan dan membela kelompoknya dan afiliasinya dengan cara-cara yang sangat jauh dari etika dan akhlak islami. Akibatnya yang terjadi adalah ketegangan, buruk sangka, caci maki, permusuhan, dan perpecahan). Menghindar untuk membahas khilafah lebih selamat daripada terjun membahasnya, bahkan meski pembahasan tersebut benar! Jika seperti ini bahayanya orang membahas khilafah dengan benar, bagaimana dengan orang yang sampai keliru menjelaskan masalah ini?! Al-Ghozzali berkata,
“Mengkaji imamah/khilafah bukan termasuk pembahasan hal-hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bidang ma’qulat (kajian rasional). Ia lebih tepat digolongkan pembahasan fikih. Kemudian, ia bisa memicu sikap ta’asshub/fanatisme. Orang yang menghindar membahasnya lebih selamat daripada orang yang terjun mengupasnya meski dia benar. Bagimana jika dia salah, coba?” (Al-Iqtishod fi Al-I’tiqod, hlm 127)
AL-AMIDI
Al-Amidi berkata bahwa soal khilafah itu bukan perkara akidah dan bukan perkara yang harus diketahui setiap mukallaf. Malahan, orang yang menghindar membahasnya lebih bisa diharapkan selamat daripada yang terjun membahasnya. Pembahasan topik ini bisa menimbulkan ashobiyyah, diikutinya hawa nafsu, munculnya fitnah, kebencian, dan menduga yang tidak-tidak seraya mengejek terkait para imam dan generasi salaf. Seburuk ini kondisi yang terjadi pada orang yang membahas soal khilafah dengan level tahqiq dan penelitian serius, lalu bagaimana dahsyatnya keburukan jika yang membahas soal ini adalah para muqollid buta yang tidak paham betul pelik-pelik persoalan ini? Al-Amidi berkata,
“Ketahuilah bahwasanya membicarakan imamah/Khilafah itu tidak termasuk perkara akidah, dan bukan termasuk perkara yang harus dibahas yang mana seorang mukallaf tidak boleh mengabaikannya atau tidak mengetahuinya. Malahan, sungguh orang yang menghindar untuk membahasnya lebih bisa diharapkan selamat daripada orang yang masuk dalam pembahasan tersebut. Sebab, pembicaraan khilafah itu jarang sekali terbebas dari sikap ta’asshub/fanatisme, hawa nafsu, berkobarnya fitnah, kebencian (permusuhan) dan menduga-duga terkait hak Kholifah dan generasi salaf dengan cara mengejek. Ini yang terjadi pada orang yang masuk pada isu tersebut dengan kualitas peneliti (ahli tahqiq). Bagaimana coba kondisi orang yang keluar dari jalan yang lurus? (Ghoyatu Al-Marom Fi ‘Ilmi Al-Kalam, hlm 363)
ASY-SYAHROSTANI
Senada dari Al-Juwaini, Asy-Syahrostani juga menasihatkan bahwa khilafah itu bukan soal akidah. Tidak mungkin mencapai keyakinan dalam pembahasan ini. Bahaya orang yang terjun dalam topik ini melebihi bahaya orang yang tidak tahu dasar-dasar pembahasan ini. Seringkali orang ceroboh saat membahas topik ini karena banyak mengikuti hawa nafsunya. Akibatnya, orang jadi susah bersikap inshaf/adil dalam membahasnya. Asy-Syahrostani berkata,
“Ketahuilah bahwasanya Imamah/Khilafah itu bukan persoalan akidah, yang mana kajian terhadap itu ini akan mengantarkan pada kesimpulan yang qoth’i dan yakin secara pasti. Malahan, bahaya bagi orang yang melakukan kesalahan dalam topik ini melebihi bahaya orang tidak tahu topik ini sama sekali. Kecerobohan yang muncul dari hawa nafsu yang menyesatkan menghalangi untuk bersikap inshof/adil dalam topik ini” (Nihayatu Al-Iqdam fi ‘Ilmi Al-Kalam hlm 168)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
Puspita
“Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam mazhab Asy-Syafi’i sangat terbuka. Ia bisa berbentuk sistem pemerintahan apapun selama sifatnya mengatur teknis. Ia bisa saja berbentuk kerajaan, republik, federasi, demokrasi, dan lain-lain selama menjalankan dua fungsi yakni ‘hirosatu ad-din’ (menjaga agama) dan “siyasatu ad-dunya’ (mengurus dunia).” (Ustaz Muafa, Irtaqi.net)
Alhamdulillah, baru hari ini bisa saya baca Ustaz tulisannya. Menjawab beberapa pertanyaan saya selama ini. Jazakumullah khairan katsir. ☺
Jazakumullah khairan.
Admin
alhamdulillah. Sungguh gembira saya tulisan ini bisa memecahkan pertanyaan yang mengganjal 🙂 (Muafa)