Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Biasanya, jika orang sudah memegang sebuah paham, mazhab, organisasi, harokah, jamaah atau afiliasi tertentu, dia akan galak kepada orang yang tak sepaham dengannya dan sangat toleran dengan orang yang sepaham. Kesalahan sekecil apapun pada orang yang tak sepaham dan dibencinya akan dibesar-besarkan, sementara kesalahan besar dari orang yang sepaham dengannya akan dimaklumi dan dicari-carikan alasan pembelaannya. Tingkat infeksi ashobiyyah seperti ini bahkan kadang-kadang mencapai taraf yang “mengerikan”, yakni ketika kawan sepaham ini jelas melakukan kemungkaran, dia diam saja. Amar makruf nahi mungkar baginya seolah-olah hanya berlaku pada orang yang tak sepaham dengannya. Adapun yang sepaham, maka seolah-olah kemungkaran seperti itu harus dianggap hal remeh, kecil, dan tak terlalu penting.
Akan tetapi, bagi orang yang salih, yang bersih hatinya, yang luhur akhlaknya, yang diberi petunjuk Allah untuk bisa bersikap inshof, yang hatinya dipenuhi keikhlasan beramal semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah (tanpa berharap sama sekali tepuk tangan manusia), maka beliau berbeda dengan kebanyakan manusia-manusia fanatik berakhlak rendah semacam itu. Bagi orang-orang salih nan ikhlas semacam ini, kesalahan tetaplah kesalahan, dan kemungkaran tetaplah kemungkaran. Dia tetap tegas menyebut kesalahan sebagai kesalahan dan tetap tegas menyebut kemungkaran sebagai kemungkaran. Dia tidak peduli, meskipun kesalahan dan kemungkaran itu terbit dari orang yang sepaham dengannya, tokoh komunitasnya, atau bahkan ulama besar dalam afiliasinya itu.
Nah di antara hamba Allah yang patut dijadikan teladan dan memiliki akhlak seluhur dan selangka ini adalah An-Nawawi rahimahullah.
Bagimanakah kisahnya? Begini ringkasnya.
Orang yang bergelut dengan mazhab Asy-Syafi’i sudah barang tentu mengenal Asy-Syirozi dan mengetahui kedudukan tinggi beliau di kalangan ulama Asy-Syafi’iyyah. Asy-Syirozi adalah pengarang kitab “At-Tanbih” yang dihafal An-Nawawi dalam waktu kira-kira empat bulan dan juga pengarang kitab “Al-Muhadzdzab” yang disyarah An-Nawawi dalam kitab besar yang bernama “Al-Majmu’”. Adz-Dzahabi dalam “Siyaru A’lami An-Nubala’” menyebut Asy-Syirozi sebagai Syaikhul Islam, Al-Imam, bahkan Mujtahid. Kitabnya yang bernama “At-Tanbih” juga dipuji luar biasa oleh An-Nawawi. Jadi, bisa dikatakan Asy-Syirozi adalah “kawan sepaham” dengan An-Nawawi dari sisi sama-sama bermazhab Asy-Syafi’i. Hanya saja, meskipun An-Nawawi sangat menghormati Asy-Syirozi dan mengakui ketinggian ilmunya, akan tetapi beliau tidak segan-segan mengkritik Asy-Syirozi ketika dipandang tidak bersikap inshof (adil).
Salah satu sikap Asy-Syirozi yang dikritik An-Nawawi karena dipandang tidak adil adalah sikapnya terhadap Abu Tsaur. An-Nawawi mengkritik sikap Asy-Syirozi yang jika tidak setuju dengan pendapat Abu Tsaur lalu mengatakan pendapat Abu Tsaur itu “Khotho’” (salah), padahal dalam banyak kasus, dalil-dalil Abu Tsaur justru lebih kuat. Bagi An-Nawawi, diksi “khotho’” itu tidak pantas dipakai untuk mengkritik Abu Tsaur jika melihat keagungan ilmunya. Kadang-kadang Asy-Syirozi berlebihan sampai mengunakan diksi “khotho’” untuk mengkritik sahabat besar seperti Ibnu Mas’ud. Padahal di sisi yang lain, Asy-Syirozi tidak menggunakan diksi ini pada saat melemahkan pendapat ash-habul wujuh sementara secara keilmuan ash-habul wujuh itu belum menyamai Abu Tsaur, bahkan mendekatinya saja belum. An-Nawawi berkata,
“Ketahuilah. Pengarang kitab Al-Muhadzdzab (Asy-Syirozi) kerap kali menyebut Abu Tsaur. Hanya saja beliau tidak bersikap adil (inshof). Beliau mengatakan, ‘Abu Tsaur berpendapat begini dan itu adalah salah (khotho’).’ Beliau (Asy-Syirozi) mempertahankan diksi ini dalam komentar-komentarnya, padahal kadang-kadang pendapat Abu Tsaur lebih kuat dalilnya daripada pendapat mazhab pada banyak persoalan. Sang pengarang (Asy-Syirozi) malahan berlebihan menggunakan diksi ini sampai-sampai dipakai untuk mengkritik Abdullah bin Mas’ud, seorang Shahabat Nabi r.a. yang mana kedudukan ilmu fikih beliau dan berbagai ilmu lainnya telah terkenal. Jarang ada Shahabat yang menyamai keilmuan beliau, apalagi ulama selain generasi shahabat, terutama sekali (kepakaran Ibnu Mas’ud dalam) ilmu waris. Beliau (Asy-Syirozi) meriwayatkan pendapat dari Ibnu Mas’ud terkait kasus waris kakek disertai saudara. Pendapat Ibnu Mas’ud dalam kasus tersebut dikenal dengan istilah Murobba’ah Ibnu Mas’ud, kemudian Asy-Syirozi mengomentari, ‘hadza khotho’ (ini salah). Sementara itu (di sisi yang lain), pengarang (Asy-Syirozi) tidak menggunakan diksi semacam ini secara umum untuk mengkritik individu-individu tertentu dari kalangan ulama ash-habul wujuh yang (kapasitas keilmuannya) belum mendekati Abu Tsaur. Kadang-kadang pendapat ash-habul wujuh itu lemah atau bahkan lemah sekali, sementara para ulama penukil ilmu telah bersepakat keagungan Abu Tsaur, imamahnya, dan kepakarannya dalam ilmu hadis dan ilmu fikih serta tingginya kualitas karangan-karangan beliau terkait dua macam ilmu itu (fikih dan hadis) yang disertai dengan keagungan dan profesionalitas” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 72)
Jadi, dalam kisah ini jelas sekali sikap An-Nawawi membela Abu Tsaur dan menegaskan mutu keilmuannya apa adanya. An-Nawawi tidak peduli mengkritik Asy-Syirozi, meskipun Asy-Syirozi juga ulama besar mazhab Asy-Syafi’i dan sepaham dengannya.
Memang begitulah. Sifat orang salih di manapun akan membela orang yang terzalimi, entah dia sepaham dengannya atau tidak, entah dia berselisih dengannya atau tidak. Seperti ini pulalah sifat orang-orang salih di berbagai zaman seperti yang kita saksikan pada kisah pembelaan Muadz bin Jabal terhadap Ka’ab bin Malik, Pembelaan Ali terhadap Az-Zubair bin Al-‘Awwam, pembelaan Imam Ahmad terhadap Asy-Syafi’i, dan lain-lain.
واهدنا حيثما كنا