Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Orang yang ingin menguasai mazhab Asy-Syafi’i lengkap dengan variasi ikhtilaf internalnya dan tarjihnya, maka langkah yang tepat adalah menguasai kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Ini adalah perkara yang sudah umum diketahui oleh para pemerhati mazhab Asy-Syafi’i. Hal itu dikarenakan kitab ini bukan hanya bentuk ringkasan kitab Al-Aziz/Al-Fathu Al-‘Aziz/Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir karya Ar-Rofi’i yang merupakan kerja tahrir terbesar pertama dalam mazhab Asy-Syafi’i, tetapi dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” itu An-Nawawi juga “menitipkan” hasil penelitiannya sendiri ditambah sejumlah koreksi terhadap penelitian Ar-Rofi’i. Adapun kitab mukhtashor An-Nawawi yang lainnya, tidak ada yang ditulis dengan sangat lengkap dan detail seperti kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” ini. Karena itulah, wajar jika kitab ini mendapatkan perhatian besar di kalangan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah di berbagai masa.
Tapi tahukah Anda?
Kitab ini adalah kitab yang nyaris lenyap dan tidak pernah ada karena pernah hendak dihapus oleh pengarangnya sendiri!
Bagaimanakah kisahnya?
As-Suyuthi menuturkan dalam kitabnya yang bernama “Al-Minhaj As-Sawiyy” sebagai berikut,
“Al-Adzro’i menyebut dalam kitab At-Tawassuth bahwasanya beliau (An-Nawawi ) sebelum wafatnya (sempat) berkeinginan kuat untuk menghapus kitab “Roudhotu Ath-Tholibin”. Lalu beliau diberitahu, “Kitab tersebut sudah tenar dan dibawa kemana-mana”. Maka beliau berkomentar, “Dalam hatiku ada sejumlah sesuatu terkait kitab tersebut” (Al-Minhaj As-Sawiyy, hlm 55)
Kalimat “fi nafsi minha asyya’” (Dalam hatiku ada sejumlah sesuatu terkait kitab tersebut) mungkin saja ditafsirkan bahwa An-Nawawi ragu beberapa hal terkait isi kitabnya. Ungkapan tersebut juga mungkin ditafsirkan bahwa An-Nawawi kuatir terhadap niatnya saat menulis kitab tersebut.
Jika dilihat reputasi kehati-hatian An-Nawawi dalam hal amal dan betapa seriusnya beliau menjaga keikhlasan, nampaknya faktor kuatir kurang ikhlas-lah yang lebih kuat yang membuat beliau sempat berkeinginan memusnahkan karya pentingnya itu.
Memang, An-Nawawi dikenal tidak segan-segan menghapus karya-karya besarnya tanpa ragu meski sudah tertulis dalam jumlah ratusan atau ribuan lembar. Ibnu Al-‘Atthor, murid An-Nawawi menceritakan sikap “unik” dan istimewa An-Nawawi ini sebagai berikut,
“Sungguh, suatu saat beliau memerintahkan kepadaku untuk menjual kurrosah-kurrosah (satu bendel lembaran yang berisi 10 waroqoh/lembaran kertas) sekitar 1000 kurrosah yang bertuliskan tangan beliau sendiri. Beliau memerintahkan aku agar menghapus tulisan pada kurrosah-kurrosah itu pada seorang tukang salin kitab. Beliau menakut-nakuti aku supaya aku tidak melanggar perintah beliau dalam hal itu. Jadi, aku tak kuasa kecuali menaatinya. Sampai sekarang di hatiku ada banyak penyesalan karena (hilangnya) tulisan-tulisan (berharga) itu” (Tuhfatu Ath-Tholibin, hlm. 94).
Kebiasaan memperhatikan keikhlasan amal ini memang juga menjadi perhatian ulama-ulama besar yang berilmu nan salih, seperti yang juga dilakukan oleh Al-Mawardi menjelang wafatnya. Tajuddin As-Subki menuturkan kisah Al-Mawardi dalam Thobaqot Asy-Syafi’iyyah sebagai berikut.
“Al-Mawardi tidak langsung mempublikasikan karangan-karangannya untuk masyarakat umum. Beliau menyembunyikannya terlebih dahulu di suatu tempat. Ketika ajalnya sudah dekat, beliau berpesan kepada orang yang dipercayainya,
“Buku-buku yang terdapat di tempat X semuanya adalah karanganku. Aku belum mempublikasikannya karena aku belum mendapati niat yang bersih. Jika aku sudah berada dalam sakarotul maut, letakkan tanganmu pada tanganku. Nanti kalau aku menggenggam tanganmu dan meremasnya maka ketahuliah bahwa tidak ada satupun karanganku itu yang diterima Allah. Jadi, ambillah semua kitabku itu dan lemparkanlah ke sungai Dijlah/Tigris. Tetapi kalau tanganku membentang dan aku tidak menggenggam tanganmu maka ketahuilah bahwa karya-karyaku itu telah diterima Allah dan aku sudah mendapatkan niat bersih yang aku harapkan.”
Orang kepercayaan Al-Mawardi itu berkata, “Ketika sudah dekat saat wafatnya, aku meletakkan tanganku pada tangan beliau. Ternyata beliau membentangkan tangannya dan tidak menggenggam tanganku. Dari situ aku tahu bahwa amal beliau telah diterima Allah. Karenanya, aku pun mempublikasikan kitab-kitab beliau setelah wafatnya”.
Teladan akhlak yang luar biasa.
Mengarang dan menulis bukan sekedar menulis. Tapi serius memperhatikan soal diterima atau tidak diterimanya sebuah amal. Serius memperhatikan keikhlasan dalam beramal.
Semoga kita bisa menirunya.
Informasi tambahan tentang Roudhotu Ath-Tholibin bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “MENGENAL KITAB ROUDHOTU ATH-THOLIBIN KARYA AN-NAWAWI”
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين