Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
PERTANYAAN
Assalamu alaikum. Bagaimana dengan pembagian tauhid ada tiga dan aqidah asy’ariyah itu masuk kepada hal ushul /furu ? (Fulan)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Masalah membagi tauhid menjadi 3 atau menjadi 2, itu hanya cara ulama untuk memudahkan pemahaman saat membahas ilmu mengenal Allah.
Tidak perlu menjelek-jelekkan dan menghina hal-hal teknis semacam ini.
Itu seperti mengatakan rukun salat ada 17, hal-hal membatalkan wudhu ada 6, syarat wajib haji ada 6 dan seterusnya. Angka-angka itu tidak ada dalam dalil karena itu perkara teknis untuk memudahkan pemahaman ajaran Islam.
Intinya, terkait Allah marilah meyakini tiga kalimat ini,
- Tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah
- Tidak ada yang menciptakan dan mengurus alam semesta ini kecuali hanya Allah
- Tidak ada apapun yang sama dengan Allah
Masalah perselisihan antara asy’ariyyah dan salafi, sebagian besar adalah perselisihan tentang memahami dan menafsirkan sifat Allah. Yang diperselisihkan memang ayat-ayat mutasyabihat yang dalalahnya zhonni, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan orang.
Soal ini alangkah indahnya jika kita mengambil pelajaran dari An-Nawawi dan Ibnu Taimiyyah.
An-Nawawi adalah penganut paham Asy’ariyyah. Ibnu Taimiyyah adalah tokoh besar paham salafi. Keduanya berbeda dalam rincian memahami sifat Allah. Namun Allah memuliakan keduanya dengan sejumlah karomah yang membuat kita bisa “memastikan’ atau minimal menduga sangat kuat bahwa beliau berdua adalah kekasih Allah.
Saya pernah menulis soal ini dalam artikel berikut ini,
Munculnya dua kekasih Allah dari paham yang berbeda itu menurut saya adalah ayat “kauniyyah” bahwa ikhtilaf antara Asy’ariyyah dan salafi itu seharusnya bisa diharapkan sebagai ikhtilaf furu’ yang tidak sampai level menyesatkan. Tidak mungkin Allah ridha dan cinta kepada mereka berdua jika salah satu dari keduanya berpaham bid’ah, karena bid’ah jelas disebut Nabi ﷺ sebagai penghuni neraka.
Selain itu, apakah kita ingat ada hadis nabi yang menceritakan tentang seseorang di zaman dulu yang berwasiat agar tubuhnya dibakar dengan api sampai mejadi abu kemudian dibuang dilaut?
Dia melakukan itu karena takut kepada Allah, lalu Allah mengampuninya.
Perhatikan.
Ketika dia berwasiat seperti itu, bukankah itu bukti jelas bahwa dia jahil tentang rincian sifat Allah? Dia tahu sifat Allah yang maha membalas, menyiksa, yang siksanya sangat keras, tapi pada saat yang sama jahil bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Kejahilannya ini dimaafkan karena dia memegang sifat utama seorang hamba yang merupakan inti dari penyembahan, yakni rasa takut kepada Allah.
Bukankah ini juga dalil kuat yang mengharuskan kita bisa berharap untuk lebih toleran dalam hal memahami sifat-sifat Allah?
Dalam perselisihan memahami sifat Allah, sudah pasti ada yang salah. Tapi kesalahan itu selama asasnya takut kepada Allah, maka kita masih bisa berharap Allah memaafkannya.
Jadi ide saya begini,
Kalau kita membahas sifat Allah itu, seharusnya asas dan semangatnya adalah Cinta Allah dan Takut kepada-Nya. Karena inilah makna ibadah sejati.
Belajar akidah tentang sifat Allah, kalau hasilnya tidak mengarah pada cinta Allah dan takut kepada-Nya, jelas itu penyimpangan.
Apalagi jika hasilnya malah membuat orang sombong, ujub, “mughtarr” dan keras hati. Kita khawatir cara belajar semacam itu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan Setan.
Wallahua’lam