Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
PERTANYAAN
Assalamu’alaikum Ustadz saya izin bertanya, saya pernah diberi tahu kalau duduk ihtiba (duduk sambil memeluk lutut) itu terlarang secara mutlak, yg maksudnya dalam segala kondisi dilarang. Pertanyaan saya, apakah memang duduk sambil memeluk lutut itu terlarang secara mutlaq atau ternyata muqoyyad ?? Terimakasih Ustadz (Mahardikape)
JAWABAN
Duduk ihtiba’ (الاحتباء) atau disebut juga duduk qurfusho’ (القرفصاء) adalah duduk dengan cara memeluk lutut. Maksudnya, duduk dengan betis ditegakkan lalu kedua tangan dipakai untuk memeluk lutut sehingga posisi paha menempel pada dada dan perut. Jika lutut diikat dengan surban sebagai pengganti lengan, maka itu juga disebut duduk ihtiba’.
Mungkin orang yang kecapekan duduk merasa nyaman dengan cara duduk seperti itu.
Dalil yang dipakai untuk melarang duduk ihtiba’ saat khutbah jumat adalah hadis berikut ini,
“Dari Sahl bin Mu’adz dari ayahnya bahwasanya Nabi ﷺ melarang duduk ihtiba’ pada hari Jumat sementara iman berkhutbah” (H.R.At-Tirmidzi)
Hadis di atas dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani.
Hanya saja An-Nawawi menolak klaim hasan ini karena dalam sanadnya terdapat dua perawi dhoif. An-Nawawi berkata,
“Hanya saja dalam sanadnya ada dua perawi dhoif. Jadi, kita tidak bisa menerima penilaian hasan terhadapnya” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 592)
Dua orang yang disebut dhoif oleh An-Nawawi itu adalah Sahl bin Mu’adz dan Abdurrahman bin Maimun.
Oleh karena itu, dalam mazhab Asy-Syafi’i duduk ihtiba’ saat salat jumat itu mubah saja. Tidak terlarang sama sekali. An-Nawawi menukil dalam Al-Majmu’ bahwa ini adalah fatwa Asy-Syafi’i dan ditegaskan oleh Al-Imroni pengarang Al-Bayan. An-Nawawi berkata,
“Duduk ihtiba’ pada hari Jum’at bagi orang yang menghadiri khutbah sementara imam sedang berkhutbah, kata Ibnu Al Munzir dengan menukil dari As Syafii bahwasanya hal itu tidak dimakruhkan. Ini yang ditegaskan oleh pengarang kitab Al Bayan dan didukung oleh Ibnu Al Munzir dari Ibnu Amr, Ibnu Al-Musayyib, Al-Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Sirin, Abu Az-Zubair, Salim bin Abdillah, Syuraih Al-Qodhi, ikrimah bin Khalid, Nafi’, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ash-habur Ro’yi, Ahmad, Ishaq dan Abu tsaur” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 592)
Kata Abu Dawud, duduk ihtiba’ itu biasa dilakukan oleh sejumlah shahabat besar seperti Ibnu Umar, Anas bin Malik dan lain-lain. Sejumlah tabi’in besar juga melakukannya. Abu Dawud berkata,
“Abu Daud berkata, Ibnu Umar duduk ihtiba’ sementara imam sedang berkhutbah. Demikian pula Anas bin Malik, SyuraihSho’sho’ah bin Shuhan, Sa’id bin Al Musayyab, Ibrahim An-Nakho’i, Makhul, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’d. Nu’aim bin Salamah berkata, ‘Tidak apa-apa duduk ihtiba’” (H.R. Abu Dawud)
Kata Al-Baihaqi, dengan mengasumsikan riwayat yang melarang itu diterima maka sebenarnya larangannya itu adalah untuk mencegah orang tidur atau batal wudhunya. Al-Baihaqi berkata,
“Apa yang diriwayatkan dalam hadits Muadz bin Anas bahwasanya Nabi ﷺ melarang duduk ihtiba pada hari Jumat, kalaupun riwayatnya bisa diterima (maka maknanya) adalah karena duduk seperti itu memancing orang tertidur dan membuat orang bisa batal thoharohnya. Jika dia tidak kuatir hal tersebut maka tidak apa-apa duduk ihtiba” (Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar, juz 4 hlm 406)
Kesimpulannya, duduk ihtiba’ mubah baik saat salat Jumat maupun di luar salat Jumat.
Bagi ulama yang berpendapat itu makruh, maka itu hanya khusus pada saat salat Jumat, tepatnya saat mendengarkan khothib berkhutbah. Wallahua’lam