Bismillah,. Bolehkah berguru atau kuliah di universitas yang tidak bermanhaj salaf seperti Universitas yang dikelola oleh NU? (62 xxxxxxx028)
Jazakallahukhoiron..
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Semangat mengikuti generasi salaf dalam tatacara beragama adalah semangat mulia. Semua orang beriman ingin menuju ke arah sana. Setiap orang beriman yang benar-benar ikhlas ingin mengabdi kepada Allah sudah pasti berusaha berteladan kepada Rasulullah ﷺ, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in sebagai generasi terbaik umat Islam.
Hanya saja semangat ini tidak boleh dibajak menjadi klaim dan stempel. Kita semua bisa mengatakan bahwa diri kita orang Islam dengan bukti syahadat dan menjalankan rukun Islam. Kita semua juga bisa mengatakan bahwa diri kita beriman dengan berikrar mengimani rukun iman, tetapi kita tidak boleh berikrar bahwa diri kita adalah hamba Allah sejati yang pasti diridhainya, yang benar-bener telah berserah diri (aslama) dan dan benar-benar telah beriman (aamana) sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Klaim dan stempel ini justru malah terjatuh pada sikap ujub yang dilarang Allah dalam Al-Qur’an,
“Janganlah kalian mensucikan diri kalian sendiri. Dialah (Allah) yang paling tahu siapa yang paling bertakwa” (an-Najm; 32)
Tidak ada orang baik yang merasa dirinya baik.
Tidak ada orang salih yang merasa dirinya salih.
Kesalihan itu tidak dibatasi organisasi, nama-nama guru, lulusan mana, asal daerah, kitab favorit dan semisalnya.
Semua ahlul qiblah selama terbukti kemuslimannya, tidak terbukti kemurtadannya maka berhak mendapatkan hak-hak muslim seperti hak rahmah, ukhuwwah, tolong menolong dan semisalnya.
Tidak boleh semangat meniru generasi solih dijadikan sebagai alat untuk mengkapling-kapling jamaah, mensegmentasi kaum muslimin, apalagi menganggap hanya diri yang masuk surga sementara yang lain pasti masuk neraka.
Setiap afiliasi pasti ada kelebihan dan kelemahan. Tidak boleh fanatik karena afiliasi ini.
Sesungguhnya ulama-ulama aswaja di Indonesia ini memiliki jasa yang tidak sedikit dalam penyebaran Islam di Nusantara. Jika kita obyektif, maka akan kita simpulkan bahwa mayoritas kaum muslimin di Nusantara ini mengenal Islam dan masuk dalam agama yang mulia ini adalah kebanyakan adalah berkat jasa ulama-ulama yang bermazhab Asy-Syafi’i, mengambil tasawuf sebagai metode pembersihan jiwa dan memegang ajaran Abu Al-Hasan Al-‘Asy’ari dalam bidang ushuluddin. Para ulama yang memiliki paham seperti itulah yang sampai hari ini mendirikan ribuan pondok pesantren, yang membina jutaan putra putri kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Bahkan, alangkah banyaknya, pemuda-pemudi muslim saat ini yang akhirnya gandrung dengan afiliasi salafi, justru di masa kecilnya belajar Islam melalui buku-buku atau guru-guru dari Aswaja/NU. Ini jasa yang tidak boleh diingkari. Kufur nikmat adalah akhlak tercela dan tidak ada balasan bagi kufur nikmat selain neraka jika tidak bertaubat.
Kelemahan ulama-ulama atau tokoh asjawa sudah pasti ada. Kekeliruan-kekeliruan juga tidak mungkin dihindari. Kritik tidak dilarang, asalkan penuh adab, atas dasar ilmu dan tetap menghormati. Sesungguhnya NU tidak sama dan tidak boleh disamakan seperti Syiah apalagi Ahmadiyyah yang jelas memang menyimpang dari Islam. Mungkin ada oknum dari NU yang melampaui batas dan bisa jadi terserempet pada praktek bid’ah atau kesyirikan sekalipun, tetapi oknum itu tentu tidak menggambarkan seluruh ulama NU yang ikhlash dan salih.
Ulama-ulama salafi pun demikian. Sungguh berjasa juga ulama salafi dalam dakwah. Dasar-dasar pemikiran salafi diambil juga oleh organisasi besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyyah yang semangatnya adalah anti bid’ah, takhayul dan khurofat. Di Sumatra barat muncul Tuanku Imam Bonjol yang pahamnya dekat dengan paham salafi. Tetapi, tokoh-tokoh salafi juga tidak sepi dari kelemahan dan kekurangan. Di antara yang paling tampak saat ini adalah, kurikulum pembinaan sejumlah dai salafi dianggap menciptakan “lulusan” yang kurang punya adab terhadap ulama, tidak mengerti ikhtilaf, lemah wawasan fikih, dan merendahkan bermazhab dalam fikih. Beberapa pemikiran seperti konsep pembatal keislaman bahkan disulap sebagian kelompok yang mungkin dianggap “sempalan” salafi untuk menciptakan doktrin membunuh orang lain secara batil atas nama jihad. Tentu tidak semua dai salafi demikian. Poin yang hendak saya sampaikan adalah, semua afiliasi pasti punya kelemahan. Alangkah indahnya jika kelemahan itu diperbaiki dengan saling beramar makruf nahi mungkar yang dilandasi semangat cinta dan persaudaraan.
Jadi, saya tegaskan tidak perlu ragu untuk belajar pada guru-guru aswaja. Juga tidak perlu ragu untuk belajar pada guru-guru salafi yang memang bisa digali ilmunya. Saya pribadi sangat senang belajar kepada An-Nawawi, tokoh besar panutan ulama aswaja di Indonesia atau membaca karya Kyai Hasyim Asy’ari dan pada saat yang sama juga merasa sejuk jika membaca fatwa-fatwa fikih Ibnu Taimiyyah, Al-Albani dan Ibnu Al-‘Utsaimin.
Bukan hanya boleh belajar NU, tetapi juga Muhammadiyyah, PERSIS, Al-Irsyad, Wahdah dan semua organisasi Islam di Indonesia yang tidak bisa digolongkan ke dalam kelompok menyimpang memakai standar Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Belajar pada ulama manapun, tapi tetap kritis seraya selalu memohon petunjuk kepada Allah agar dibimbing dan diselamatkan dari penyesatan.
Sebagai pengayaan, silakan dibaca catatan saya yang berjudul “Benarkah An-Nawawi Mengambil Ilmu Dari Penganut Mu’tazilah?”
Wallahua’lam