Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sibab/celaan/omelan (السباب) shahabat satu sama lain dan ketegangan itu “zallah” (ketergelinciran) biasa, dan kita berhusnuzhon hal itu diampuni Allah. Seperti Al-Abbas mencerca Umar, Abu Bakar mencerca putranya sendiri yang bernama Abdurrahman, Abdullah bin Az-Zubair mencela Aisyah dan lain-lain.
Bahkan ada shahabat yang melakukan pengkhianatan tapi diampuni Allah seperti kisah Hathib bin Abi Balta’ah menjelang Fathu Makkah.
Prinsip Sunni terkait perselisihan shahabat adalah diam dan tidak membesar-besarkan, karena jasa mereka terlalu besar untuk dirusak “zallah–zallah” kecil seperti itu. Seperti sikap Umar bin Abdul Aziz yang berkata dengan kalimat yang kira-kira bermakna,
“Allah telah menjaga tangan kita tidak berlumuran darah mereka, maka kita tidak akan mengotori lisan kita dengan merobek kehormatan mereka”.
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i, Yunus bin Abdul A’la, salah satu murid Asy-Syafi’i berkata,
“Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, ‘Umar bin Abdul Aziz (pernah) ditanya tentang shahabat-shahabat Nabi yang terlibat dalam perang Shiffin maka beliau menjawab, ‘Itu adalah darah yang Allah mensucikan tanganku darinya, jadi aku tidak suka untuk melumuri lisanku dengannya” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 1 hlm 449).
Al-Baihaqi berkata,
“Ini adalah pendapat yang bagus dan indah dari Umar bin Abdul Aziz radhiallahu anhu, yakni berdiam diri terhadap apa yang (kita) tidak ada urusan dengannya jika memang tidak diperlukan untuk membahasnya” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 1 hlm 449).
Inilah titik perbedaan terbesar antara Sunni dengan Syiah.
Sunni mengakui bahwa shahabat terkadang melakukan “zallah” (ketergelinciran). Tapi Sunni tidak membesar-besarkannya dan tidak menutup-nutupi jasa shahabat yang jauh lebih besar daripada “zallah”nya. Beda dengan Syiah. Mereka membesar-besarkan “zallah” shahabat seraya mengkufuri jasa shahabat dalam mendakwahkan Islam (yang jauh lebih besar daripada kesalahannya), untuk kemudian dijadikan dasar membangun aliran Syiah dan mengumpulkan orang-orang awam.
Karena itulah di kalangan Sunni, prinsip seperti ini menjadi sudut pandang untuk menilai kitab-kitab biografi yang dikarang untuk menguraikan sejarah Shahabat. Kitab “Al-Isti’ab” karya Ibnu Abdil Barr misalnya. Kitab ini disoroti karena terlalu banyak membawakan perselisihan shahabat dan itu dianggap aib kitab tersebut. Berbeda dengan kitab “Al-Ishobah fi Tamyiz Ash-Shohabah” karya Ibnu Hajar Al-Asqolani. Kitab ini lebih disukai karena lebih bersih dari riwayat-riwayat seperti itu.
Jika perselisihan antar ulama sesamanya saja akhlak yang luhur adalah kita harus melipatnya dan tidak meriwayatkannya serta membesar-besarkannya, maka shahabat yang jauh lebih agung dari pada ulama seharusnya lebih dihormati dengan tidak membesar-besarkan perselisihan pribadi mereka.
Saya benar-benar tidak tertarik dengan kelompok yang ajarannya berbasis kebencian, kedengkian dan kemarahan seperi ajaran Syiah atau yang semisal dengan mereka. Dakwah itu basisnya penyucian jiwa dan mengajak menuju Allah menjadi hamba sejati. Itulah sifat dakwah para Nabi dan Rasul serta orang-orang salih yang meneruskannya. Bukan dakwah yang berbasis rebutan dunia seperti membesar-besarkan soal tanah Fadak, rebutan soal jabatan Khilafah dan semisalnya.
Sebagai tambahan bacaan. Bisa dibaca catatan saya berikut ini,
SIAPAKAH ORANG BAIK ITU?
BAHAYA BERCEKCOK DENGAN ORANG SALIH
PERSELISIHAN PARA ULAMA, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?