Oleh : Ust. Muafa
Suatu saat, ada seorang shahabat Nabi yang salih bernama Sa’id bin Zaid (سعيد بن زيد) yang ditengkari seorang wanita bernama Arwa binti Aus (أروى بنت أوس). Arwa menuduh Sa’id mengambil sebagian tanahnya secara curang. Arwa melaporkan Sa’id kepada penguasa waktu itu yang bernama Marwan bin Al-Hakam.
Tentu saja Sa’id membantah keras. Bagaimana mungkin Sa’id, seorang shahabat Nabi yang salih berani menzalimi orang lain dalam hal batas tanah sementara beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda bahwa orang yang mencurangi batas tanah orang lain maka nanti tanah yang dicurinya itu akan dipikulkan padanya pada hari kiamat dengan dilipatkan sebanyak tujuh kali.
Mendengar fitnah dan tuduhan keji itu, maka Sa’id pun berdoa dengan suara yang bisa didengarkan Arwa dan Marwan, “Ya Allah jika wanita ini berdusta, butakanlah matanya, dan buatlah ia mati di tanahnya itu!”
Akhirnya betul kejadiannya demikian. Wanita itu di akhir hayatnya menjadi buta meraba-raba dinding. Dia mengakui bahwa itu adalah akibat doa Sa’id. Sampai suatu saat, ketika ia berjalan-jalan di tengah tanahnya, secara tidak sengaja dia terjatuh pada sumur yang ada di sana dan akhirnya menjadi kuburannya. Kisah ini disebutkan dalam sahih Al-Bukhari dan Muslim.
Kisah yang mirip juga pernah terjadi pada shahabat mulia yang dijamin masuk surga, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh.
Sa’ad bin Abi Waqqosh pernah difitnah oleh orang Kufah yang bernama Abu Sa’dah Usamah bin Qotadah bahwa Sa’ad adalah pemimpin zalim dan tidak adil dalam membagi. Demikian keji fitnah ini sampai Sa’ad berdoa, “Ya Allah jika hambamu ini (Abu Sa’dah) berdusta, tampil karena riya’ (ingin dipuji orang) dan karena sum’ah (ingin terkenal), maka panjangkan umurnya, buatlah lama kemiskinannya, dan timpakanlah berbagai fitnah kepadanya”. Akhirnya betul kejadian demikian. Abu Sa’dah berumur panjang, tua renta, miskin, dan berperilaku seperti orang sinting dengan menggoda gadis-gadis di jalan.
Berselisih dengan siapapun itu berbahaya, tetapi yang paling berbahaya justru berselisih dengan orang salih. Alasannya, berselisih dengan orang yang tidak salih urusannya hanya dengan manusia. Paling jauh efeknya hanya rugi dunia. Tetapi berselisih dengan orang salih, urusannya adalah langsung dengan Allah, karena Allah tidak akan terima kekasih-Nya disakiti. Berselisih dengan orang salih bisa jadi rugi dunia-akhirat. Jika orang salih sampai mendoakan keburukan akhirat kita karena saking keterlaluannya kita, bisa jadi benar-benar binasalah kita. Hancur dunia dan hancur pula akhirat.
Lihatlah Rasulullah. Kurang sabar apa beliau. Tetapi ketika gangguan Abu Jahal, ‘Utbah bin Robi’ah, Syaibah bin Robi’ah, Al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Kholaf dan Uqbah bin Abi Mu’aith sudah keterlaluan, maka beliau berdoa dengan doa keras secara khusus untuk mereka dengan menyebut nama mereka secara spesifik agar dibinasakan. Dan betul, orang-orang inipun disaksikan shahabat Nabi semuanya tewas dalam keadaan kafir di perang Badar.
Doa orang-orang salih yang pasti dikabulkan oleh Allah adalah bentuk karomah yang diberikan Allah kepada wali-wali-Nya, karena mereka adalah para kekasih Allah.
Hanya saja, yang harus hati-hati dalam menerima berita karomah yang terjadi sesudah masa kenabian adalah dalam hal pengaitan. Jangan mudah mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian yang lain lalu distempel bahwa itu karomah. Harus ada bukti yang kuat untuk mengaitkannya. Tetapi juga jangan terlalu paranoid dalam menolak sehingga menafikan hal-hal yang sebenarnya sudah layak menjadi hujjah.
Harus hati-hati juga mengaitkan musibah yang menimpa seseorang yang ditafsirkan sebagai akibat berseteru dengan orang salih tertentu. Ketidakhati-hatian terhadap masalah ini bisa membahayakan orang yang diopinikan “wali”/”orang salih”, menyesatkan orang awam, dan menciptakan penokohan yang salah serta tidak pada tempatnya.
Termasuk hal yang harus ekstra hati-hati karena berbahaya bagi akhirat seorang hamba adalah ketika merasa memiliki karomah dan merasa menjadi wali. Ini adalah di antara seburuk-buruk ujub. Tidak ada orang salih yang merasa dirinya salih. Para wali itu justru merasa menjadi hamba yang sangat buruk di hadapan Rabbnya, tetapi Allah tahu bahwa dia adalah hamba yang salih sehingga dimuliakan oleh-Nya dengan karomah agar dikenal oleh hamba-Nya yang lain dan menjadi hujjah dalam sejumlah perkara dien. Hamba Allah yang benar-benar wali sekalipun, malah heran dan tidak merasa memiliki karomah, sebagaimana herannya Abu Bakar terhadap makanannya yang terus bertambah padahal terus diambili.