Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ada salah satu pemikiran berbahaya terkait tafsir surah Al-Maidah; 69 atau yang semakna dengannya seperti dalam Surah Al-Baqoroh; 62. Pemikiran ini jika dipercaya dan diyakini bisa memurtadkan muslim awam dan membuatnya keluar dari Islam secara tidak sadar.
Bagaimanakah isi pemikiran tersebut?
Mari kita mencoba menyelami alam pikir mereka dengan mengikuti alur pikir mereka saat menafsirkan ayat yang dimaksud. Dalam Surah Al-Maidah; 69 Allah berfirman,
[المائدة: 69]
Ayat ini diterjemahkan oleh DEPAG RI (Departemen Agama Republik Indonesia) pada tahun 1983 sebagai berikut,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani dan, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Maidah;69)
Ayat seperti ini yang maknanya senada ada dalam Surah Al-Baqoroh; 62 dengan tambahan makna bahwa orang-orang yang disebut itu akan “mendapat ajr/pahala dari Tuhan mereka”
Kesimpulan yang ditarik dari ayat tersebut adalah, untuk selamat di akhirat tidak harus menjadi seorang muslim. Apapun agama Anda, entah itu Yahudi, Nasrani, Shobi-in (orang yang keluar dari Yahudi dan Nasrani lalu membuat agama sendiri/sempalan Yahudi dan Nasrani) maupun muslim, selama Anda percaya kepada Tuhan, percaya adanya hari akhir dan berbuat baik di dunia, maka Anda akan selamat di akhirat, masuk surga, terhindar dari neraka dan tidak mengalami kesedihan maupun duka cita”. Dengan kata lain, pemikiran ini mengajak kepada kepercayaan bahwa jalan keselamatan itu bukan hanya Islam. Agama selain Islam itu juga bisa menjadi jalan keselamatan. Oleh karena itu, tidak perlu mengkafirkan Yahudi, Nasrani, Shobi-in atau pemeluk agama-agama lain seraya meyakini bahwa hanya Islam yang paling benar dan yang menjamin keselamatan.
Saya katakan, pemikiran seperti ini punya potensi untuk memurtadkan orang awam secara tidak sadar karena siapapun yang meragukan status kekafiran non muslim seperti Nasrani misalnya, maka dengan lugas bisa kita katakan orang tersebut telah murtad dan keluar dari Islam. An-Nawawi berkata,
Artinya :
“…Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang beragama dengan agama selain Islam seperti Nasrani, atau ragu kekafiran mereka atau membenarkan doktrin/ajaran mereka maka dia kafir meskipun menampakkan dirinya Islam dan meyakininya…(Roudhotu Ath-Tholibin, juz 10 hlm 70)
Kalau begitu, bagaimana analisis kesalahan tafsir dan pemikiran di atas?
Paling tidak ada empat argumentasi untuk menunjukkan kesalahan pemikiran di atas.
Pertama, dari sisi analisis makna iman secara syar’i.
Kesalahan utama tafsir dan pemikiran di atas adalah tidak tertib dalam memaknai sebuah lafaz dalam dalil. Lafaz dalam dalil pertama-tama harus dimaknai dengan makna syar’i. Jika tidak bisa, baru dengan makna ‘urfi. Jika tidak bisa, baru dengan makna lughowi. Tidak boleh sebuah lafaz dalam Al-Qur’an langsung dimaknai secara lughowi/bahasa atau secara urfi/tradisi/kebiasaan. Cara pemaknaan yang tidak tertib seperti itu akan berakibat kekacauan pemahaman, bahkan penyesatan. Penjelasan lebih detail tentang tertib dalam memaknai lafaz dalam dalil bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Urutan Memahami Makna Lafaz Dalam Dalil”.
Terkait makna iman, memang benar makna iman secara bahasa adalah “tashdiq” (mempercayai/membenarkan). Hanya saja, makna iman secara syar’i adalah “mempercayai utusan Allah terkait wahyu dengan dibawanya dari Allah” . Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan makna iman secara syar’i adalah,
“Mempercayai sang Rasul terkait yang dibawanya dari Rabbnya” (Fathu Al-Bari, juz 1 hlm 46)
Setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus, maka iman secara syar’i bermakna “mempercayai Nabi Muhammad terkait Al-Qur’an yang dibawanya dari Allah”.
Jadi, lafaz yang berbunyi,
Yang diterjemahkan “Sesungguhnya orang-orang mukmin” dan mendapatkan janji Allah surga dan selamat dari neraka dengan ayat yang berbunyi,
“..tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati..”
Makna mukmin dalam ayat di atas adalah “orang-orang yang mempercayai Nabi Muhammad terkait Al-Qur’an yang dibawanya dari Allah”.
Dengan kata lain, lafaz yang berbunyi,
Jika diterjemahkan dengan bahasa panjang maknanya adalah “Sesungguhnya orang-orang mempercayai Nabi Muhammad terkait Al-Qur’an yang dibawanya dari Allah”… mereka itu nanti akan mendapatkan janji Allah berupa surga dan selamat dari neraka sehingga “..tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati..” selama mereka melaksanakan hakikat iman sejati yakni beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal salih.
Dengan demikian, berdasarkan analisis makna iman secara syar’i, maka ayat di atas adalah bermakna jaminan keselamatan di akhirat kepada orang-orang yang beriman terhadap Nabi Muhammad ﷺ atau dengan kata lain masuk Islam. Maknanya, umat Yahudi, Nasrani dan Shobi-in tidak mungkin selamat karena tidak merealisasikan makna iman secara syar’i, yakni mempercayai Nabi Muhammad ﷺ dan mengikuti beliau.
Kedua, dari sisi analisis makna iman terhadap Allah.
Dalam ayat di atas, Allah mensyaratkan orang yang selamat adalah orang yang merealisasikan sifat “aamana billah” (beriman kepada Allah). Allah berfirman,
Artinya,
“…siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah…”
Makna beriman kepada Allah itu tidak sekedar percaya bahwa Allah ada, karena jika ini pengertiannya maka kafir Quraisy juga percaya akan keberadaan (wujud) Allah, padahal mereka disebut kafir dan musyrik dalam Al-Qur’an. Makna beriman kepada Allah itu adalah mempercayai keberadaan-Nya yang mencakup keyakinan terhadap keesaan-Nya. Dengan kata lain, beriman kepada Allah itu maknanya harus mentauhidkan Allah. Menjadikannya sebagai satu-satunya yang disembah, meyakini hanya dia yang menciptakan dan mengurus makhluknya dan meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia. Saat ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang satu kalimat yang akan ia pegang seumur hidupnya, Rasulullah ﷺ mengajarkan “qul robbiyallahu tsummastaqim” (katakan, Robbku adalah Allah lalu istiqomahlah). Perintah beriman kepada Allah dalam hadis Nabi ﷺ ini tidak mungkin hanya dimaknai beriman kepada keberadan Allah. Yang benar, iman kepada Allah itu mencakup keyakinan akan keberadaan Allah dan keyakinan akan keesaan Allah. Artinya, Rasulullah ﷺ memerintahkan lelaki tersebut untuk mengimani Allah dengan cara menghabiskan umur hanya untuk mengabdi kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya tumpuan dalam hidup. Jika orang hidup seperti ini dan istiqomah sampai mati, maka di akhirat dia pasti akan selamat. Nah, mengimani Allah dengan cara mengesakannya dan bertauhid hanya menyembah-Nya hanya mungkin dilakukan oleh orang yang mempercayai Nabi Muhammad ﷺ dan mengikutinya. Umat Yahudi, Nasrani dan Shobi-in tidak mungkin tergolong dalam definisi “iman kepada Allah” dalam ayat ini karena mereka musyrik, tidak mengesakan Allah dan tidak bersedia beriman kepada Nabi Muhammad dan mengikutinya.
Ketiga, dari sisi analisis makna iman terhadap hari akhir.
Dalam ayat di atas, Allah mensyaratkan orang yang selamat adalah orang yang merealisasikan sifat “aamana bil yaumil akhir” (beriman kepada hari akhir). Allah berfirman,
Artinya,
“dan (Siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada) hari kemudian”
Beriman terhadap hari akhir/akhirat maknanya mempercayai hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Hal ini termasuk hal yang gaib. Tidak mungkin bisa mencapai kebenaran paling tinggi untuk mempercayai hal yang gaib kecuali dengan bertumpu kepada informasi dari para Nabi dan Rasul. Tidak mungkin kita bisa percaya adanya surga, neraka, hisab dan hari pembalasan melalui percobaan di laboratorium. Jadi, iman dan percaya kepada utusan Allah adalah kuncinya. Dengan mengimani utusan Alah, maka kita akan mendapatkan saluran resmi yang menjamin kebenaran informasi terkait berita tentang hal gaib seperti hari akhir dan kehidupan akhirat. Untuk mendapatkan informasi ini, mustahil jika tidak mau beriman kepada nabi Muhammad ﷺ. Yahudi dan Nasrani tidak mungkin dipegang informasi dalam kitab suci mereka karena kitab suci mereka sudah tidak bersanad sehingga sudah tidak valid lagi. Umat Shobi-in lebih jelas lagi tidak mungkin dipercaya karena mereka tidak punya kitab suci yang bersambung pada utusan Allah (atau maksimal kitab suci mereka kembali pada kitab suci nabi-nabi yang sudah tidak valid lagi kondisinya). Oleh karena itu, jaminan informasi valid tentang hari akhir hanya mungkin diperoleh jika beriman kepada Nabi Muhammad karena beliau telah terbukti sebagai utusan Allah dan Al-Qur’an sampai hari ini tetap valid, terjaga sanadnya secara mutawatir dan tidak pernah mengalami perubahan satu hurufpun selama berabad-abad. Dengan kata lain, untuk melaksanakan perintah Allah beriman kepada hari akhir dalam ayat ini, mustahil itu dilakukan secara sempurna tanpa mengimani Nabi Muhammad ﷺ dan mengikutinya.
Kempat, dari sisi analisis makna beramal salih.
Dalam ayat di atas, Allah mensyaratkan orang yang selamat adalah orang yang merealisasikan sifat “wa’amila shoolihan” (beramal salih). Allah berfirman,
Artinya,
“…dan beramal saleh…”
Amal salih adalah amal yang disukai Allah. Tidak mungkin kita mengetahui secara akurat amal apa saja yang disukai Allah jika hanya bertumpu dengan akal dan perasaan saja. Berperang dan berjihad di jalan Allah itu jika memakai ukuran akal serta perasaan adalah hal yang tidak disukai manusia karena beresiko kehilangan nyawa. Tapi sudah jelas bahwa Allah menyukai jihad. Merajam pezina muhshon, yakni melempari kepalanya dengan batu sampai mati tanpa terhalang rasa kasihan menurut perasaan adalah kejam dan tidak manusiawi. Tetapi sudah jelas bahwa menegakkan hudud adalah perbuatan yang disukai Allah. Oleh karena itu, tidak mungkin mengetahui amal yang disukai Allah jika hanya bertumpu pada akal dan perasaan. Mengetahui perbuatan yang disukai Allah hanya mungkin jika melalui saluran Nabi dan Rasul. Konsekuensinya, kita harus mengimani Nabi Muhammad ﷺ yang telah terbukti bahwa beliau utusan Allah. Tidak mungkin bertumpu pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an untuk mengetahui amal salih karena kitab mereka sudah tidak valid, tidak bersanad dan sudah banyak diubah-ubah oleh pemuka-pemuka agama mereka. Jaminan mengetahui amal yang disukai Allah secara akurat hanyalah beriman kepada Nabi Muhammad dan megikuti Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sajalah satu-satunya kitab suci di dunia yang paling otentik, paling terjaga sanadnya, dan paling terjamin kebersihannya sehingga bisa dipastikan kebenarannya saat menginformasikan kehendak Allah. Dengan demikian, untuk melaksanakan ayat ini, tidak mungkin orang mempertahankan dirinya dalam agama Yahudi, Nasrani atau Shobi-in. Agar bisa melaksanakan ayat ini dengan sempurna, orang harus masuk Islam, mengimani Nabi Muhammad ﷺ, mengikuti Al-Qur’an dan menjalankan seluruh petunjuk Islam.
Jadi, dari empat analisis ini jelaslah bahwa iman yang dipuji Allah dalam ayat ini adalah iman sejati, iman yang benar-benar tulus arahnya untuk menyembah hanya kepada Allah dan itu hanya mungkin dilaksanakan jika orang beriman kepada nabi Muhammad dengan sebenar-benar makna iman dengan cara masuk Islam. Dengan kata lain, iman yang dipuji Allah dalam ayat ini semuanya menggiring pada makna iman syar’i, yakni beriman terhadap Nabi Muhammad ﷺ atau dengan kata lain, masuk Islam.
Ayat ini secara implisit juga mengajarkan inti-inti dari ilmu yang diajarkan oleh para utusan Allah yang wajib diimani itu. Inti ilmu agama yang diajarkan oleh para Rasul itu sebenarnya hanya tiga yakni ilmu tentang,
- Ma’rifatullah, yakni ilmu mengenal Allah yang darinya lahir ilmu ketuhanan, kajian terhadap sifat-sifat Allah dan semisalnya.
- Berita gaib, seperti ilmu tentang akhirat, surga, neraka, hisab, setan, jin, malaikat, sejarah masa lalu, ramalan masa depan dan semisalnya.
- Perintah dan larangan, yakni ilmu yang mengatur perbuatan manusia, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dan seterusnya yang dengannya lahir ilmu fikih
Lafaz “aamana billah” (beriman kepada Allah) mewakili ilmu jenis pertama, lafaz “wal yaumil akhir” (beriman kepada hari akhir) mewakili ilmu jenis kedua, dan lafaz “wa ‘amila sholihan” (beramal salih) mewakili ilmu jenis ketiga. Semua macam ilmu ini mustahil didapatkan dalam bentuk yang paling valid, sempurna, tanpa cacat dan persis seperti yang dikehendaki Allah jika tidak beriman kepada nabi Muhammad ﷺ setelah beliau diutus.
Kesimpulannya, setelah diutusnya nabi Muhammad, semua orang Yahudi, Nasrani dan Shobi-in yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad (baik yang hidup di zaman Nabi Muhammad ﷺ maupun sesudahnya sampai datang hari kiamat) maka dia kafir dan tidak selamat di akhirat meskipun mereka mengklaim percaya Allah, akhirat dan beramal salih.
Inilah tafsir yang sesuai dengan banyak ayat dan hadis, misalnya apa yang ditegaskan dalam hadis ini,
“Dari Abu hurairah dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda: “Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim)
Pertanyaannya, jika iman dimaknai mempercayai dan membenarkan Muhammad sebagai utusan Allah sekaligus Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang dibawanya yang berkonsekuensi masuk Islam, mengapa lafadz iman dalam ayat tersebut disebut dua kali yakni di awal ayat dan di tengah? Apa gunanya? Mengapa di awal ayat tidak cukup disebut Yahudi, Nasrani dan Shobi’in saja misalnya biar lebih jelas?
Jawaban dari pertanyaan di atas adalah sebagai berikut.
Disebutkannya iman dua kali dalam ayat di atas justru untuk mempertegas bahwa iman itu tidak cukup hanya sekedar klaim dan ucapan saja. Orang mengaku beriman dan mengaku menjadi pengikut Nabi Muhammad sekalipun belum tentu selamat di akhirat dan diridhai Allah jika tidak melaksanakan tuntutan-tuntutan iman sejati. Buktinya orang-orang munafik. Orang-orang munafik di zaman Nabi ﷺ seperti Abdullah bin Ubay adalah orang-orang yang bisa disebut orang-orang beriman secara zhohir karena mengakui dengan lisannya bahwa nabi Muhammad utusan Allah. Tetapi orang munafik tidak selamat di sisi Allah karena tidak melaksanakan tuntutan iman sejati karena tidak meyakini dengan hati dan tidak melaksanakan tuntutan iman dengan perbuatan. Dengan kata lain, iman munafik itu tidak merealisasikan tuntutan iman yang mengharuskan iman itu diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Jadi bisa kita katakan, orang yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ sudah pasti di akhirat tidak selamat. Adapun orang yang mengaku beriman kepada nabi Muhammad, maka nasibnya diakhirat bisa selamat dan bisa juga tidak, tetapi punya harapan selamat. Dia selamat jika melaksanakan tuntutan iman sejati dengan baik, tetapi dia akan celaka jika dia imannya hanya pada lisan dan tidak melaksanakan tuntunan iman sejati dengan baik. Asy-Syaukani berkata,
Artinya,
“Makna ayat ini, dengan mengasumsikan bahwa yang dimaksud dengan lafaz ‘orang-orang beriman” (pada awal ayat) adalah orang-orang munafik sebagaimana telah saya nyatakan sebelumnya, (dengan asumsi tersebut makna ayat ini) adalah, ‘Siapapun di antara kelompok-kelompok ini yang beriman dengan iman yang murni sesuai dengan cara yang dituntut dan beramal sholeh, maka dialah yang (akan mendapatkan janji) tidak ada rasa takut untuk mereka dan tidak ada duka cita (dengan masuk surga)” (Fathu Al-Qodir, juz 2 hlm 339)
Kalaupun lafaz iman di awal ayat tetap kita pahami bahwa itu mencakup mukmin sejati juga, maka penyebutan iman kedua sama sekali tidak menimbulkan “isykal” (problem pemikiran) apapun, karena makna lafaz iman yang kedua adalah terus istiqomah dalam menjalankan iman sejati (bagi yang imannya sudah benar) dan bertaubat dari iman palsu (bagi mereka yang imannya masih iman di lisan saja seperti orang munafik). Asy-Syaukani berkata,
Artinya,
“Adapun dengan mengasumsikan bahwa maksud lafaz ‘orang-orang beriman” (di awal ayat) adalah seluruh orang Islam, yakni orang-orang yang ikhlas maupun munafik, maka yang dimaksud dengan orang-orang beriman (di tengah ayat) adalah orang yang memiliki sifat iman murni dan istiqomah di situ juga mencakup orang yang bisa mewujudkan iman murni setelah (mengawali dengan) iman munafik” (Fathu Al-Qodir, juz 2 hlm 339)
Intinya, tafsir apapun terhadap lafaz iman pada awal ayat atau di tengah tidak masalah, selama lafaz “aamaana” dipahami dengan makna syar’i, bukan makna bahasa.
Tinggal masalah terakhir sekarang.
Jika makna iman dalam ayat di atas adalah mempercayai kenabian Nabi Muhammad ﷺ , menjadi pengikutnya dan masuk Islam, lalu bagaimana nasib umat Yahudi, Nasrani dan Shobi-in yang beragama sebelum diutusnya dengan Nabi Muhammad setelah wafatnya Nabi Musa dan Nabi Isa? Apakah mereka semua juga ke neraka dan tidak selamat?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Yahudi yang hidup setelah wafatnya Musa dan melaksanakan iman sejati seperti diperintahkan dalam ayat di atas dengan mengikuti Nabi Musa, maka mereka selamat di akhirat.
Nasrani yang hidup setelah diangkatnya Nabi Isa dan melaksanakan iman sejati seperti diperintahkan dalam ayat di atas dengan mengikuti nabi Isa, maka mereka selamat di akhirat. Yahudi yang hidup di masa ini juga dituntut megimani Nabi Isa. Jika mereka ngotot hanya mengimani Nabi Musa saja dan ingkar terhadap Nabi isa, maka Yahudi seperti ini tidak selamat di akhirat.
Shobi-in yang hidup setelah diangkatnya Nabi Isa dan melaksanakan iman sejati seperti diperintahkan dalam ayat di atas dengan mengikuti nabi Isa, maka mereka selamat di akhirat. Jika Shobi-in ngotot hanya mengimani nabi-nabi yang ditentukan oleh pemuka-pemuka agama mereka saja dan ingkar terhadap Nabi isa, maka Shobi-in seperti ini tidak selamat di akhirat.
Jawaban singkat seperti di atas semakain konsisten dengan keharusan memaknai lafaz dalam dalil dengan makna syar’i sehingga akan mendapatkan pengertian yang tepat terhadap ayat dan konsisten diterapkan dalam kondisi apapun.
Bagaimana nalarnya?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa makna iman secara syar’i adalah “mempercayai/membenarkan Rasul/utusan Allah terkait wahyu yang dibawanya” sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Hajar Al-‘Asqolani sebagai berikut,
“Mempercayai sang Rasul terkait yang dibawanya dari Rabbnya” (Fathu Al-Bari, juz 1 hlm 46)
Artinya orang yang hidup di zaman Nabi Musa, ia dikatakan beriman jika mempercayai nabi Musa sebagai utusan Allah, mempercayai Taurat yang dibawanya berasal dari Allah, dan melaksanakan seluruh tuntutan iman yang mencakup meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Jadi, manusia manapun di kalangan bani Israel yang lahir setelah nabi Musa wafat dan melaksanakan tuntutan iman seperti itu, maka dia adalah orang beriman sejati dan selamat di akhirat.
Ketika Nabi Isa diutus, maka dikatakan beriman adalah jika mempercayai Nabi Isa sebagai utusan Allah, mempercayai Injil berasal dari Allah, dan melaksanakan seluruh tuntutan iman yang mencakup meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Jadi, manusia manapun di kalangan bani Israel yang lahir setelah Nabi Isa diangkat Allah dan melaksanakan tuntutan iman seperti itu, maka dia adalah orang beriman sejati dan selamat di akhirat. Mereka yang beriman dengan nabi Musa tetapi tidak mengikuti Nabi Isa setelah Nabi Isa diutus maka mereka kafir karena sebab ini.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ diutus, maka dikatakan beriman adalah jika mempercayai Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah, mempercayai Al-Qur’an berasal dari Allah, dan melaksanakan seluruh tuntutan iman yang mencakup meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Jadi, manusia manapun yang lahir setelah Nabi Muhammad ﷺ di utus dan melaksanakan tuntutan iman seperti itu, maka dia adalah orang beriman sejati dan selamat di akhirat. Mereka yang beriman dengan Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi tidak mengikuti Nabi Muhammad ﷺ setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus maka mereka kafir karena sebab ini.
Ibnu Katsir menulis,
“As-Suddi berkata, ayat ‘innaladzina aamanu walladziina haaduu… dst’ ini turun terkait dengan sahabat-sahabat Salman Al Farisi. Ketika dia bercerita kepada Nabi ﷺ , tiba-tiba dia teringat sahabat-sahabatnya. Maka dia menceritakan kepada beliau tentang kisah mereka.
Salman mengatakan, ‘Mereka itu terbiasa berpuasa, salat, beriman kepadamu (wahai Rasulullah) dan bersaksi bahwa engkau akan diutus sebagai nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, ‘Wahai Salman, sesungguhnya mereka adalah penghuni neraka’. Maka hal tersebut membuat Salman menjadi bersedih sehingga Allah menurunkan ayat ini.
Jadi, imannya orang Yahudi adalah berpegang teguh terhadap Taurat dan Sunnah Musa Alaihissalam sampai datang Isa. Tatkala datang Isa , ada orang yang tetap berpegang teguh dengan Taurat, mengambil sunnah Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti Isa. Orang seperti ini akan binasa.
Imannya orang-orang Nasrani adalah berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa. Dia dikatakan beriman dan diterima amalnya. Ketika datang Muhammad ﷺ maka barangsiapa yang tidak mengikuti Muhammad ﷺ seraya meninggalkan sunnah Isa dan Injil maka dia akan binasa” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1 hlm 284)
Di tempat lain Ibnu Katsir berkata,
“Apa yang dikatakan Ibnu Abbas ini adalah informasi bahwasanya Allah tidak akan menerima cara hidup atau amal dari siapapun kecuali sesuai dengan syariat Muhammad ﷺ setelah Allah mengutusnya dengan wahyu yang dibawanya. Adapun sebelum itu, maka semua orang mengikuti Rasul di zamannya sehingga dia berada dalam petunjuk, jalan lurus dan keselamatan” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1 hlm 285)
Atas dasar ini bisa disimpulkan, setelah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, hanya orang yang masuk Islam-lah yang memiliki harapan untuk selamat di akhirat. Orang yang masih beragama Yahudi, Nasrani dan Shobi-in (dan semua agama yang lainnya) setelah nabi Muhammad diutus, maka mereka bisa dipastikan tidak selamat di akhirat dan menjadi penghuni neraka. Wallahua’lam