Bagaimana hukum tahlilan kematian dalam timbangan madzhab syafii (+62 xxx-xxxx-9526)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ada dua isu utama yang dibahas saat mengupas hukum tahlilan, pertama tentang hukum bersedekah atas nama mayit. Kedua, status pahala membaca Al-Qur’an dan dzikir apakah bisa dikirim ke mayit dan sampai ataukah tidak.
Perdebatannya di situ dan ikhtilafnya di situ.
Di antara tokoh dan kyai NU yang menjelaskan argumentasi kesyar’i-an tahlilan adalah apa yang ditulis dalam buku “Amaliyah NU dan dalilnya”, yang diterbitkan oleh PP LTM-NU masa bakti 2010-2011. Tepatnya pada pembahasan “Pahala bacaan Al-Qur’an untuk mayit” (hlm 38-41)
Termasuk juga buku khusus yang mengupas hujjah-hujjah tidak tercelanya tahlilan yang berjudul “Tahlil Bid’ah Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah” yang ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Ma’ruf Khozin.
Kalau dalam referensi-referensi ulama Asy-Syafi’iyyah di masa lalu, tidak ada pembahasan lugas tentang tahlilan dengan makna istilah yang ma’ruf di Indonesia. Yang ada adalah pembahasan beberapa hukum amalan spesifik yang terkait dengan tahlilan. Misalnya terkait hukum membuat makanan khusus untuk orang yang bertakziyah. Menurut Al-Bakri dalam I’anatu Ath-Tholibin, itu hukumnya makruh meski tetap berpahala. Al-Bakri berkata,
“Dimakruhkan duduk-duduk guna bertakziah bagi keluarga mayit dan membuat makanan yang mengumpulkan orang-orang untuk menyantapnya berdasarkan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah Al Bajali. Beliau berkata, ‘Kami memandang kumpul-kumpul ke keluarga mayit dan makanan yang dibuat mereka sesudah memakamkan mayit termasuk niyahah/ratapan” (I’anatu Ath-Tholibin, juz 2 hlm 165)
Fatwa ini juga menjadi keputusan muktamar Nahdlatul Ulama (NU) keputusan masalah diniyyah no: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 h / 21 Oktober 1926 di Surabaya.
Fatwa senada juga disebutkan oleh Al-Haitami,
“Beliau ditanya -Semoga Allah memberi manfaat kepada kita dari berkah beliau- terkait binatang ternak yang disembelih dan dibawa beserta garam di belakang mayat menuju kuburan kemudian disedekahkan cuma kepada para penggali kubur. Beliau juga ditanya terkait makanan yang dibuat pada hari ketiga setelah kematian mayit, yakni menyiapkan makanan dan memberi makan orang-orang miskin dan selain mereka. Beliau juga ditanya tentang apa yang dibuat pada hari ke-7 seperti itu. Beliau juga ditanya tentang kue yang dibuat pada akhir bulan yang dikirimkan ke rumah-rumah para wanita yang turut menghadiri jenazah. Pelaku kebiasaan tersebut tidak memaksudkan hal itu kecuali karena tuntutan adat penduduk setempat, karena orang yang tidak melakukannya akan dibenci dan dianggap hina dan tidak dipedulikan. Apakah jika tujuan mereka hanya menuruti adat dan bersedekah selain untuk kasus terakhir atau sekedar mengikuti adat apakah hukumnya boleh dan bagaimana ? Apakah boleh jatah-jatah warisan dibagi-bagi pada saat pembagian harta warisan meskipun sebagian dari mereka tidak ridho? Beliau juga ditanya tentang hukum bermalam di keluarga mayit sampai berlalu 1 bulan dari kematiannya, karena yang demikian itu adalah seperti wajib bagi mereka, bagaimana hukumnya? Maka beliau menjawab dengan pernyataannya, ‘Semua hal yang dilakukan berdasarkan apa yang telah disebutkan dalam pertanyaan adalah termasuk bid’ah tercela, akan tetapi tidak ada keharaman di dalamnya kecuali jika dilakukan perbuatan seperti niyahah (tangisan tak rela dengan takdir) atau ritsa’ (ratapan)” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz 2 hlm 7)
Ditempat lain Al-Bakri menyebutnya sebagai bid’ah munkar,
“Apa pendapat para Mufti yang mulia di tanah suci -semoga Allah senantiasa memberikan manfaat terus-menerus kepada para makhluk melalui mereka sepanjang masa – terkait dengan tradisi khusus di sebuah negeri yang ditinggali oleh sejumlah orang bahwasanya jika ada orang yang meninggal dunia, lalu kenalan-kenalan dan tetangga-tetangganya hadir untuk melakukan takziah, maka terjadi sebuah tradisi yang mana para tamu tersebut menunggu makanan. Oleh karena dominannya rasa malu pada keluarga mayit, maka mereka memaksa-maksa diri dengan cara yang berlebihan, menyiapkan makanan beraneka rupa untuk para tamu itu, menghidangkannya dengan kesulitan yang berat. Apakah seandainya penguasa ingin mencegah kebiasaan ini secara total -dengan motivasi kasih sayangnya terhadap rakyat dan rasa kasihannya terhadap para keluarga korban tradisi itu- agar mereka kembali untuk memegang teguh sunnah yang luhur yang diperoleh dari makhluk paling mulia yakni Nabi Muhammad ﷺ karena beliau bersabda, ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah penguasa yang seperti ini akan diganjar karena perbuatannya itu? Berilah kami jawaban yang bisa di nukil dan dituliskan. (Maka beliau menjawab) Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan semua orang yang meniti jalan beliau. Ya Allah aku meminta kepadaMu petunjuk terhadap kebenaran. Betul, apa yang dilakukan oleh orang-orang berkumpul di tempat keluarga mayit dan dibuatkan makanan untuk mereka adalah termasuk bid’ah mungkar yang mana penguasa akan diganjar jika mencegahnya” (I’anatu Ath-Tholibin, juz 2 hlm 165)
“Apa yang sudah menjadi tradisi, yakni keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang orang-orang untuk datang adalah bid’ah yang dimakruhkan. Demikian pula memenuhi undangan mereka” (I’anatu Ath-Tholibin, juz 2 hlm 165)
Tradisi yang membebani masyarakat sampai level takalluf, kata beliau menyeret hukum tersebut bisa menjadi haram,
“Tidak ada keraguan bahwasanya mencegah masyarakat untuk melakukan bid’ah mungkar seperti ini adalah menghidupkan sunnah dan mematikan Bid’ah. (Tindakan tersebut juga akan) membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup banyak pintu-pintu keburukan, karena masyarakat (dalam menjalankan tradisi itu) memaksa-maksa diri dengan cara yang berlebihan sehingga membuat perbuatan seperti itu menjadi haram” (I’anatu Ath-Tholibin, juz 2 hlm 166)
Wallahua’lam