Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Surah Al-Fusshilat: 30 adalah petunjuk besar dari Allah untuk mengetahui mana pemuka agama yang mengajarkan petunjuk dan mana yang menyesatkan.
Bagaimana nalarnya?
Mari kita kaji Surah Al-Fusshilat; 30 berikut ini,
{إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ} [فصلت: 30]
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka konsisten (dengan ikrar tersebut), maka malaikat akan turun kepada mereka (saat menjelang mati) dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembiralah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Al-Fusshilat: 30)
Ayat di atas sebenarnya berbicara tentang para wali-wali/kekasih-kekasih Allah. Dalam ayat itu, Allah menceritakan kondisi mereka pada saat naza’, sakarotul maut dan sudah dekat waktu ruh berpisah dengan badan.
Allah menceritakan, bahwa sikap hidup mereka selama di dunia sebenarnya hanya memegang satu kalimat sederhana yaitu “Robbunallah” (Robb kami adalah Allah), kemudian mereka konsisten/istiqomah menjalani prinsip hidup itu sampai mati.
Makna prinsip “Robbunallah” adalah siap menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang disembah. Hal ini bermakna, seorang hamba yang sudah seperti ini sikap hidupnya, maka seluruh hartanya, tenaganya, kecerdasannya, waktunya, posisinya, jabatannya, pengaruhnya, keluarganya, gerak-diamnya, bahkan hidup dan matinya semuanya dipersembahkan untuk Allah saja, dan tidak mau diberikan kepada selain Dia. Hamba yang seperti ini siap mengorbankan semua itu asal Allah senang, Allah ridha, dan Allah memujinya.
Hanya saja, hamba yang seperti ini prinsipnya, dia juga orang yang tahu diri.
Meskipun dia sudah berikrar hidup dan matinya hanya untuk Allah, akan tetapi dia juga tidak tahu apakah semua aktivitas dan perbuatan untuk memenuhi ikrar itu benar-benar sudah menyenangkan Allah ataukah belum. Dia tahu, tidak pernah ada surat turun dari langit yang menunjukkan Allah menerima semua amal salihnya sehingga dia bisa tenang dan tentram telah menjalani hidup sebaik-baiknya. Dia kuatir terlalu “gede rasa” (ge-er), yakni merasa sebagai hamba Allah yang baik, padahal sejatinya di sisi Allah dia adalah hamba yang dimurkai-Nya. Di sisi yang lain, dia juga tahu bahwa setiap hari dia melakukan dosa, baik yang sengaja maupun tidak, yang terang-terangan maupun tersembunyi. Jika sebuah dosa sudah jelas akan dihukum, sementara amal salih belum tentu diterima, lalu bagaimana dia bisa tenang dalam hidupnya?
Seperti inilah kira-kira suasana batin seorang kekasih Allah dalam menjalani hidup di dunia. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, secara implisit Allah mengajarkan ada dua sifat para kekasih Allah yang akan selalu ada seumur hidup pada batin mereka,
Pertama, Khouf (الخوف), yakni rasa takut
Kedua, Huzn (الحزن), yakni duka cita
Yang dimaksud khouf dalam konteks ini adalah rasa takut amal salih tidak diterima. Dia tahu, amal salih untuk bisa diterima Allah itu melewati banyak rintangan yang berat dan sukar. Tidak cukup orang sudah merasa beramal salih lalu dia yakin bahwa Allah pasti menerimanya.
Dia tahu, beramal salih jika tidak mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ terkait tatacaranya (PROTAP/SOP/SPO-nya) maka pasti amal tersebut akan ditolak (misalnya rukuk sujud tidak tenang, berwudhu tapi tumit ada yang tak terbasuh).
Dia juga tahu, kalaupun dia sudah beramal sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ , maka amalnya masih terancam ditolak oleh Allah karena riya’ saat melakukan amal tersebut.
Dia juga tahu, kalaupun saat beramal salih sudah berhasil ikhlas, tapi kemudian sesudahnya tergoda untuk sum’ah, maka pahala amalnya juga bisa hancur.
Dia juga tahu, kalaupun dia sudah berhasil ikhlas, bebas dari riya’ dan sum’ah, tetapi dia masih mungkin tergoda untuk ujub yang membuat pahala amalnya juga hancur.
Dia juga tahu, kalaupun dia sudah berhasil ikhlas, bebas dari riya’, sum’ah dan ujub, dia masih berpeluang untuk menghancurkan amalnya dengan “mann wa adza” (mengungkit-ungkit kebaikan dan menyakiti).
Dia juga tahu, kalupun dia sudah berhasil ikhlas, bebas dari riya’, sum’ah, ujub, dan mann, dia masih berpeluang untuk meghancurkan amalnya dengan hasad/kedengkian.
Dia juga tahu, kalaupun dia sudah berhasil ikhlas, bebas dari riya’, sum’ah, ujub, mann, dan hasad, dia masih berpeluang untuk menghabiskan amalnya dengan kezaliman terhadap hamba Allah yang lain baik terkait darah, harta maupun kehormatan.
Yang paling menakutkan dari semua itu adalah, dia sudah berhasil menjaga amal salihnya bersih seumur hidup, tapi ternyata matinya Suul Khotimah seperti Barshisho, sehingga dengan demikian terhapuslah seluruh amal salihnya seumur hidup dan tidak ada satupun yang diterima Allah.
Alangkah beratnya perjuangan untuk beramal salih yang bisa diterima Allah itu. Perjuangan untuk bisa beramal salih saja sangat berat, maka perjuangan agar amal salih diterima Allah itu jauh lebih berat dan berlipat-lipat kesukarannya. Karena itulah, hatinya seumur hidup selalu diliputi perasaan takut. Yakni, takut tidak ada satupun amalnya yang diterima oleh Allah.
Ini penjelasan khouf yang kira-kira dirasakan oleh para kekasih Allah itu.
Tentang penjelasan huzn/dukacita yang diraskaan para kekasih Allah itu, kira-kira begini gambarannya.
Kekasih Allah itu juga bersedih dan berduka cita (huzn), sebab dia tahu dosanya banyak. Dia tidak tahu, kira-kira nanti menghadap Allah dengan muka yang bagaimana saat meyadari dirinya berlumuran dosa. Memang dia sudah berusaha meminta ampun dan bertaubat, tetapi dia juga mengakui bahwa banyak sekali dosa-dosa dalam hidupnya yang ia berjanji tidak mengulanginya lagi, lalu suatu hari tergoda kembali dan mengulanginya. Dia sedih, bagaimana nasibnya kelak di akhirat. Berat dia membayangkan bagaimana kira-kira pengadilan Allah kepadanya terhadap dosa-dosanya yang tak terhitung itu.
Dia teringat ada jenis dosa berupa satu kalimat, tapi mampu menjerumuskan pengucapnya ke neraka yang kedalamannya seandainya dijatuhkan batu dipinggirnya, maka sampai 70 tahun batu itu belum akan sampai ke dasarnya.
Dia teringat satu jenis dosa yang bisa membuatnya bangkrut di akhirat, yakni dosa kezaliman kepada orang lain, karena dosa itu bisa menghabiskan amal salihnya untuk membayar kezalimannya selama di dunia, sementara dia juga tidak ingat persis adalah berapa manusia yang sudah ia gunjing, disakiti dengan kata-kata, ia rugikan hartanya dan seterusnya.
Dia teringat jenis dosa yang dinamakan ghulul, yang meskipun orangnya zahirnya mati syahid, tapi di akhirat akan masuk neraka.
Dia teringat jenis dosa pamrih, yakni beramal salih tapi ingin pujian manusia, agar dipanggil alim, dermawan, pemberani, salih, low profile, tawadu, zuhud, inshof, dan lain-lain
Dia teringat dosa membuat kucing mati sia-sia, sementara mungkin dirinya pernah atau sedang memelihara hewan, entah itu ikan, ayam, atau piaraan lain, dan sebagian dari mereka mati sementara dia tidak tahu apakah matinya itu karena kelalaiannya ataukah tidak.
Belum lagi dosa-dosa yang ia lakukan di tempat tersembunyi, yang mana hanya Allah dan dirinya saja yang tahu. Yakni dosa menampakkan kesalihan di depan umum, tapi memuaskan hawa nafsu saat sendiri.
Jadi, sekali lagi, berdasarkan ayat ini, salah satu ciri para kekasih Allah dalam menjalani hidup adalah batinnya penuh khouf (rasa takut) dan huzn (duka cita). Perasaan itu terus ada sampai menjelang kematiaannya. Yakni, hari di mana para malaikat akhirnya turun untuk menghiburnya dan memberitahu bahwa semua amalnya diterima, sehingga sudah tidak ada alasan untuk takut dan bersedih lagi. Allah menceritakan ucapan malaikat sebagai berikut,
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“…malaikat akan turun kepada mereka (saat menjelang mati) dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembiralah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu..”
Lalu bagaimana hubungannya dengan pemuka-pemuka agama?
Begini.
Orang beragama dan menjalankan ajarannya itu pasti berangkat dari aktivitas belajar dulu. Dalam belajar, pasti ada gurunya. “goal” akhir dari belajar agama dan mengamalkannya menurut petunjuk Al-Qur’an adalah sukses mendapatkan predikat hamba Allah sejati dan menjadi kekasih-kekasih-Nya. Sifat-sifat dan ciri kekasih Allah juga sudah diterangkan dalam Al-Qur’an, di antaranya yang terpenting adalah dalam ayat ini, yakni memiliki sifat khouf dan huzn.
Jadi, jika ada guru, majelis, kajian, harokah, organisasi, kelompok, aliran, tanzhim, jam’iyyah, perkumpulan, afiliasi, buku, majalah, artikel, video atau wasilah apapun untuk belajar agama yang hasil ajarannya tidak membentuk pribadi yang memiliki sifat khouf (takut amalnya tidak diterima) dan huzn (bersedih dengan nasibnya yang tidak jelas akibat dosa-dosanya), maka mereka adalah pemuka-pemuka agama yang harus diwaspadai.
Apalagi jika hasil ajaran mereka jelas-jelas membentuk pribadi yang ujub, maghrur, merasa seluruh amalnya pasti diterima, yakin dirinya masuk surga, dan membentuk hati yang keras yang sampai tidak bisa membuat hati menangisi dosa-dosanya, maka tidak ragu lagi, pemuka-pemuka agama seperti itu adalah kelompok penyesat, apapun namanya. Orang seperti itu wajib dijauhi meskipun mereka mengklaim berada dalam kebenaran.
اللهم ارزقنا خليلا صالحا
وجنبنا الكبراء والسادة الضالين المضلين
الذين يقتنصون عقول السُّذَّج والبُسَطاء ويغرّونهم غُرُوْرًا