Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tafsir Surah Al-Kahfi; 5
Surah Al-Kahfi ayat 5 adalah petunjuk penting dari Allah kepada kita agar berhati-hati berbicara apapun tentang Allah. Jika kita tidak berhati-hati, maka ucapan kita bisa menjadi sebab kemurkaan-Nya dan membuat kita masuk neraka selama-lamanya. Mari kita kaji.
Allah berfirman,
“Sungguh besar (keji) kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, dan tidaklah mereka berkata kecuali kedustaan” (Al-Kahfi; 5)
Dalam ayat di atas, tampak sekali betapa marahnya Allah dan murka-Nya Dia terhadap sebagian hamba-Nya yang mengucapkan kalimat keji tentang Dia.
Mereka yang dikecam Allah dalam ayat ini adalah orang-orang yang berani mengatakan bahwa “Allah itu mengangkat/punya anak”. Di zaman ayat ini turun, ada tiga kelompok manusia yang punya keyakinan seperti itu.
Pertama, orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah.
Kedua, orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah.
Ketiga, orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah.
Ini adalah ucapan yang sungguh keji tentang Allah, tidak beradab kepada-Nya, tidak punya sopan santun dalam berbicara tentang-Nya, dan berdusta tentang Dia. Maha Suci Allah dari semua kata-kata buruk semacam itu.
Kalimat seperti inilah di antara contoh kalimat kecil yang disangka orang remeh, tetapi sangat besar kejahatannya di sisi Allah. Pengucapnya bisa tercemplung ke dalam neraka yang kedalamannya sangat jauh sampai orang yang dilemparkan ke dalamnya belum akan mencapai dasarnya meski telah melayang-layang selama 70 tahun. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya ada orang berkata dengan sebuah kalimat yang dia menganggapnya enteng, tetapi dia terjerumus karena kalimat tersebut ke dalam neraka yang dalamnya 70 tahun” (H.R.At-Tirmidzi)
Penyebab mereka berbicara tentang Allah dengan ucapan yang keji seperti itu diterangkan dalam kalimat sebelumnya. Allah berfirman,
“Mereka dan nenek moyang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya-ucapan keji mereka” (Al-Kahfi; 5)
Artinya, mereka punya keyakinan seperti itu bukan didasarkan hujjah, tapi penyesatan dari pemuka-pemuka agama mereka. Tidak ada wahyu Allah yang menegaskan bahwa Uzair adalah anak Allah, Isa adalah anak Allah dan malaikat adalah putri-putri Allah. Semuanya adalah khayalan dan penyesatan pemuka agama. Dengan kata lain, mereka tidak punya hujah “qoth’i” baik yang sifatnya “tsubut” maupun “dalalah”.
Jadi, berdasarkan ayat ini, seakan-akan Allah memberi nasihat kepada orang beriman begini,
“Wahai hamba-hambaKu yang beriman. Janganlah kalian berperilaku seperti umat-umat sebelum kalian. Janganlah berperilaku seperti orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang Musyrik. Mereka dengan kurang ajar mensifati Aku dengan sifat-sifat yang tidak layak dengan keagungan-Ku. Dengan begitu mereka merendahkan-Ku dan tidak mengagungkan-Ku sebagaimana yang layak dengan kebesaran-Ku. Pangkal kesalahan mereka adalah karena mereka tidak punya ilmu yang benar tentang Aku, sehingga mereka disesatkan oleh pemuka-pemuka agama mereka”.
Memang, umat-umat sebelum umat Islam adalah contoh generasi yang tidak punya pengontrol untuk mengendalikan cara mereka berbicara dan mendeskripsikan Allah. Yahudi umpamanya. Bangsa ini terkenal sebagai bangsa yang sungguh kurang ajar dalam berkata-kata saat menggambarkan Allah.
Dalam kitab Talmud, mereka mengatakan bahwa hari itu terdiri dari 12 jam. Tiga jam yang pertama -kata mereka-, Allah menyibukkan diri dengan mempelajari Taurat. Tiga jam berikutnya Allah menghabiskannya untuk memerintah dan mengatur dunia. Tiga jam berikutnya Allah menghabiskannya untuk memberi makan seluruh makhluk. Tiga jam terakhir Allah menggunakannya untuk bermain-main dengan ikan paus!
Lihatlah betapa keji dan tak beradabnya mereka ketika menggambarkan Allah. Semua itu pangkalnya adalah karena mereka taklid buta pada tokoh-tokoh agama mereka dan tidak mencari tahu kebenaran wahyu dari ajaran serendah itu.
Begini teksnya dalam Talmud versi inggris,
“There are twelve hours in a day, three hours of which the Holy One, blessed be He, is occupied with the Torah. The next three hours, He judges the whole world, and seeing that it is liable to be destroyed, He rises from the chair of judgment and sits down on the chair of mercy. The third three hours, He supports the whole world with food, from the very largest creature to the smallest one. And the last three hours, He plays 1 with the leviathan, as it reads” [Psalm civ. 26]
Karena kekejian dalam menggambarkan Allah seperti inilah, maka sampai turun ayat khusus yang menyinggung mereka dan menolak seluruh gambaran buruk tentang Allah seperti itu. Allah yang memiliki kemuliaan itu Maha Suci dari semua sifat kekurangan yang mereka deskripsikan. Allah berfirman,
“Maha suci Rabbmu, pemilik kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan” (Ash-Shoffat; 180)
Pelajarannya bagi kita umat Islam, mari berhati-hati jika sudah berbicara tentang Allah. Kita harus super ekstra hati-hati saat membicarakan sifat-sifat Allah. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu tentang Allah yang mana kita mengira Allah ridha dengan ucapan kita, tetapi justru Allah sangat murka dan melemparkan kita ke Neraka kelak bersama-sama orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Jangan pula sekali-kali berani membuat nama Allah menjadi bahan candaan. Rasulullah ﷺ tidak pernah melarang canda. Tapi jika bercanda, sekali-kali jangan memakai bahan dien. Apalagi mencandakan Allah dan sifat-sifat-Nya. Itu sangat berbahaya dan bisa memicu murka Allah. Bercanda tidak masalah, asalkan tidak mencandakan dien, selalu jujur dalam candanya dan tidak berlebihan. Ingat, bersumpah dengan nama Allah kemudian melanggar saja dosanya hanya bisa ditebus dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi 10 pakaian mereka atau berpusa tiga hari. Ini menunjukkan bahwa nama Allah itu Maha Agung dan tidak boleh dipermainkan, apalagi dibuat bahan candaan.
Jaminan agar kita memiliki ilmu yang benar tentang Allah adalah ‘ilm (pengetahuan yang “qoth’i”/pasti/absolut). Ilmu semacam itu hanya mungkin didapatkan dari wahyu yang bisa dipastikan kevalidannya sebagai wahyu dan bisa dipastikan kevalidan pemaknaannya. Dengan kata lain, jaminan kebenaran memahami sifat Allah adalah tergantung sumber ilmu yang “qoth’i tsubut” dan “qoth’i dalalah”. Semua pengetahuan tentang Allah yang tidak mencapai taraf ‘ilm, tidak boleh dijadikan basis untuk menggambarkan Allah dengan penuh keyakinan. Semua ucapan pemuka agama pada saat menggambarkan Allah yang tidak berbasis dalil juga harus ditolak.
Buah mempelajari ilmu ma’rifatullah yang benar adalah membentuk cara pikir, olah hati dan sikap hidup seperti para Nabi, para Rasul, para sahabat, para syuhada, para shiddiqin, para wali, dan semua orang-orang salih. Kedalaman mereka mengenal Allah membentuk satu sikap yang sama pada mereka, yakni cinta luar biasa kepada-Nya yang bercampur takut luar biasa kepada-Nya. Jadi, jika ada orang yang mengajarkan sifat Allah tapi buahnya malah menjadi sombong, angkuh, ujub, “mughtarr”, merasa ahli surga, merasa yang paling selamat, gemar berdebat yang mengeraskan hati, tidak menghormati nama Allah/sifat-sifat-Nya dan malah menjadikan Allah sebagai bahan candaan maka bisa dipastikan itu bukan guru yang tepat untuk diambil ilmunya.
Para ulama sungguh berhati-hati dalam membicarakan tentang Allah. Mereka menyusun sejumlah kaidah dan contoh ucapan yang berbahaya dan sudah tergolong kekufuran. Contoh lafaz yang mereka sebut sebagai ucapan yang membuat kufur misalnya mengatakan,
• “Allah bersambung dengan Arsy”
• “Allah terpisah dengan Arsy”
• “Allah duduk”
• “Allah berdiri”
• “Tangan Allah panjang” (dengan memaksudkan tangan fisik)
• “Allah ada di mana-mana tetapi Allah tidak bertempat”
• “Allah zalim kepadaku”
• “Ini adalah akhir dari pilihan Allah dengan kehendak manusia” (ketika ada orang mati)
• Dan lain-lain.
Sebagian ulama seperti Abu Al-Ma’ali Al-Hanafi mengatakan ucapan yang berbunyi “Allah berada di langit” (dengan memaksudkan bertempat secara fisik), termasuk ucapan “Allah melihat dari langit atau dari Arsy” (dengan memaksudkan bertempat secara fisik) adalah ucapan-ucapan yang membuat pengucapnya menjadi kafir. Hanya saja, fatwa semacam ini bagi pengkritiknya akan dipandang sebagai paham Mu’atthilah dan dianggap paham bid’ah. Sebaliknya, pengkritik fatwa semacam ini, yakni mereka yang berpaham wajib melakukan itsbat (penetapan) sifat Allah sebagaimana dinyatakan dalam dalil, bagi pendukung Abu Al-Ma’ali Al-Hanafi bisa dipandang sebagai paham Mujassimah karena menyerupakan Allah dengan makhluk. Ini adalah tema yang bisa berlarut-larut perdebatannya dan menyeret pada takfir atau tabdi’ padahal bisa jadi yang terjadi hanyalah ikhtilaf lafzhi. Maksud ikhtilaf lafzhi adalah, sebenarnya makna yang dituju keduanya sama, hanya saja diungkapkan dengan lafaz yang berbeda sehingga menimbulkan salah paham dan fitnah.
Benarlah saran Asy-Syafi’i, membicarakan fikih lebih baik daripada membicarakan tema rawan seperti ini (tentang Allah dan sifat-sifat-Nya dengan memakai ilmu kalam). Salah dalam hal fikih masih dihitung pahala, tetapi salah dalam berbicara tentang Allah akibatnya adalah kekufuran. Sebagian contoh-contoh di atas selama berabad-abad menjadi sebab perdebatan yang berefek saling mengkafirkan dan membid’ahkan di antara kaum muslimin. Pertengkaran soal tersebut juga menjebak kaum muslimin pada perdebatan tak bermutu dan memalingkan dari tujuan belajar ma’rifatullah dengan benar.
Semoga Allah memberi petunjuk kita dengan ilmu yang benar tentang-Nya.
اللهم علّمْنا أسماءك حتى نعبدك حق العبادة