Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kapal laut itu diberi nama RMS Titanic. Ia dibangun hampir selama dua tahun, mulai 1909 sampai 1911. Kapal ini sangat mewah dan berukuran raksasa. Ia dilengkapi gimnasium, kolam renang, perpustakaan, restoran kelas atas dan kabin mewah. Ia juga mempunyai perlengkapan keamanan yang maju seperti kompartemen kedap air dan pintu kedap air. Daya angkutnya adalah 2.200-an penumpang.
Mungkin karena kepercayaan diri yang sangat tinggi, pemilik dan pembangun kapal ini menolak penyediaan 64 sekoci untuk keamanan. Hanya memenuhi “space” kapal saja, begitu mungkin pikir mereka. Mereka hanya menyediakan 20 sekoci dan itu hanya akan sanggup mengangkut separuh dari kapasitas total Titanic.
Keangkuhan dan kesombongan memiliki Titanic ini akhirnya mulai pecah dalam bentuk ucapan. Media-media di Eropa waktu itu menyebutnya sebagai kapal yang,
“practically unsinkable” (nyaris tak akan bisa tenggelam)
Bahkan, salah seorang karyawan perusahaan White Star Line (pemilik dan pengoperasi Titanic) mengucapkan kalimat yang jauh lebih mengerikan dan menjadi terkenal sampai hari ini, di hari pertama peluncuran Titanic ke samudra, 31 Mei 1911. Katanya,
“Not even God himself could sink this ship.”
“bahkan Tuhanpun tidak akan bisa menenggelamkan kapal ini”
Akhirnya, tibalah hari dimana Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Sekitar tengah malam, saat manusia lengah dan tidak ada yang mengingat-Nya, di Samudra Atlantik Utara, Titanic menabrak gunung es. Lambungnya robek, air masuk ke dalam kapal, lalu terpecahlah badan kapal menjadi dua dan tenggelamlah ia ke dasar laut dengan menewaskan lebih dari 1500 manusia. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 15 April 1912.
Sungguh mirip kejadian Titanic ini dengan apa yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an berikut ini,
“…hingga jika mereka telah bersuka ria dengan apa yang mereka miliki, maka Aku menghukum mereka secara mendadak…” (Al-An’am; 33)
Ibrah yang sangat besar, bahwa kita tidak bisa bermain kata-kata yang memicu murka Allah.
Ibrah yang sangat besar agar kita jangan sampai pernah merasa aman dari makar Allah.
Ibrah yang sangat besar agar kita jangan pernah merasa gembira yang berlebihan sampai lupa bahwa di atas kita masih ada Dzat yang lebih Berkuasa dan memiliki segalanya.
Sekarang bayangkan kita adalah salah satu penumpang di kapal itu. Kita adalah muslim yang hendak berlayar dari Inggris menuju Amerika untuk berdagang atau berdakwah atau silaturrahim atau menikah atau tujuan-tujuan syar’i lainnya. Kita mengikuti proses dibangunnya kapal Titanic mulai awal sampai jadi. Kita juga mengikuti pernyataan-pernyataan pemilik serta pembangun kapal di berbagai media yang penuh kemungkaran itu. Lalu kita beristighfar, mengingkari dengan hati atau mengkritik dengan tulisan dan ucapan secara terbatas, tetapi tetap tidak mengubah pendapat masyarakat yang sudah tidak peduli dengan Tuhan itu.
Lalu kitapun masuk ke dalam kapal itu, tanpa pernah tahu apa rencana Allah yang sudah diputuskan-Nya di langit. Di hari yang telah ditetapkan-Nya maka terjadilah malam kelam itu. Semua menjerit, menangis, meratap, melolong dan meminta tolong, tapi suara-suara mereka kemudian ditenggelamkaan oleh dinginnya air samudra yang menusuk-nusuk kulit bagaikan ribuan belati. Dalam hitungan menit, senyaplah semua suara-suara itu. Semua tewas ditelan ganasnya samudra.
Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kitapun bisa ikut binasa sebagai akibat kemungkaran yang dilakukan oleh hamba Allah yang lain? Ini sejalan dengan banyak riwayat, seperti kisah orang jelata yang ikut dalam pasukan gajah, kisah orang jelata yang ikut pasukan yang hendak menyerang Ka’bah lalu ditenggelamkan Allah dan lain-lain.
Pesannya jelas: Jangan dekat-dekat dengan orang yang melakukan kemungkaran yang kita kuatirkan berakibat murka dahsyat dari Allah!