Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Makna sederhana tahrir mazhab (تَحْرِيْرُ الْمَذْهَب) adalah menyeleksi ijtihad ulama-ulama mazhab agar sah dinisbahkan pada mazhab. Jika kita menyebut tahrir mazhab Asy-Syafi’i, maka hal itu bermakna menyeleksi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada mazhab Asy-Syafi’i.
Pekerjaan tahrir mazhab adalah proyek raksasa. Tidak semua orang sanggup melakukannya. Untuk menggarap proyek ini, kita bukan hanya perlu kapasitas intelektual yang mendekati jenius atau bahkan memang perlu akal jenius untuk melakukannya, tetapi juga perlu kerja keras, disiplin tinggi, ketekunan, efektifitas waktu, efisiensi waktu, ketelitian, dan yang terpenting adalah taufik, inayah serta ma’unah dari Allah. Jika orang tidak memiliki hal-hal ini, maka mustahil dia bisa melakukan tahrir mazhab, betapapun keras dia berusaha melakukannya.
Ar-Rofi’i dan An-Nawawi adalah dua ulama Asy-Syafi’iyyah yang berhasil melakukannya. Kerja keras keduanya dalam melakukan tahrir mazhab diakui oleh ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah pada generasi selanjutnya, sehingga keduanya digelari syaikhan (dwi guru) dan menjadi rujukan resmi untuk mengetahui pendapat muktamad mazhab Asy-Syafi’i. (lihat catatan saya yang berjudul Ar-Rofi’i Dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi’iyyah)
Untuk lebih bisa menghayati bagaimana kerasnya kerja intelektual yang dicurahkan untuk melakukan tahrir mazhab itu, dalam catatan ini saya akan mencoba menguraikan contoh kerja tahrir mazhab yang dilakukan oleh An-Nawawi. Tujuan catatan ini adalah untuk memberi inspirasi siapapun agar lebih bersemangat dalam belajar dan berkarya dalam rangka meninggikan kalimat-Nya. Catatan ini juga diharapkan membuat kita lebih bisa menghargai karya-karya ulama di masa lalu. Selain itu, catatan ini juga diharapkan bisa membuat kita lebih tahu diri dalam menempatkan posisi, supaya tidak melampaui batas karena merasa lebih hebat daripada ulama-ulama di masa lalu yang telah mendahului kita.
Hasil kerja tahrir mazhab An-Nawawi dituliskan dalam sejumlah kitab, seperti At-Tahqiq, Al-Majmu’, At-Tanqih, Roudhotu Ath-Tholibin, Minhaj Ath-Tholibin dan lain-lain. Hanya saja, dari sekian kitab itu, karya yang komplit menuliskan semua topik fikih dalam mazhab Asy-Syafi’i, lengkap dengan semua variasi ikhtilaf internalnya adalah kitab yang bernama Roudhotu Ath-Tholibin. Sudah diketahui di kalangan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah, bahwa siapapun yang ingin mengusasi mazhab Asy-Syafi’i dalam bentuk yang paling sempurna disertai penguasaan terhadap pendapat muktamad, maka mengkaji kitab Roudhotu Ath-Tholibin-lah langkah yang harus diambil. Oleh karena itu, dalam catatan ini, saya akan mencoba menganalisis contoh kerja tahrir mazhab yang dilakukan An-Nawawi sebagaimana beliau tuliskan dalam kitab Roudhotu Ath-Tholibin ini.
ANALISIS HUKUM SALAT BERJAMAAH
Pada saat membahas hukum salat fardu berjamaah, An-Nawawi menulis sebagai berikut,
Artinya,
“Berjamaah hukumnya fardu ain dalam salat Jumat. Adapun untuk salat wajib selain salat Jumat maka ada beberapa pendapat. Yang paling kuat adalah fardu kifayah. Pendapat kedua: Sunah. Pendapat ketiga; fardu ain. Di kalangan ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang berpendapat fardu ain adalah Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Khuzaimah. Konon ini juga pendapat Syafi’i rahimahullah”
An-Nawawi mengatakan bahwa terkait hukum berjamaah untuk salat fardu ada tiga aujuh. Istilah aujuh (الأَوْجُه) adalah bentuk jamak dari wajh (الوَجْه). Dalam istilah ulama Asy-Syafi’iyyah, kata wajh bermakna ijtihad ashabul wujuh, yakni ijtihad ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang mencapai derajat mujtahid mazhab setelah masa Asy-Syafi’i sampai abad ke 4 H. Oleh karena itu, ketika An-Nawawi mengatakan bahwa dalam topik ini ada tiga aujuh, hal itu bermakna ada tiga ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah terkait hukum berjamaah dalam salat fardu dan semuanya mengklaim itu adalah mazhab Asy-Syafi’i.
Dengan kata lain, jika ada yang bertanya, “Apa hukum berjamaah untuk salat fardu dalam mazhab Asy-Syafi’i”?, Maka dalam hal ini adalah tiga klaim,
Pertama, fardu kifayah. Artinya, ada ulama Asy-Syafi’iyyah yang memfatwakan bahwa menurut mazhab Asy-Syafi’i, salat berjamaah itu hukumnya fardu kifayah
Kedua: Sunah. Artinya, ada ulama Asy-Syafi’iyyah yang memfatwakan bahwa menurut mazhab Asy-Syafi’i, salat berjamaah itu hukumnya sunah.
Ketiga: Fardu ain. Artinya, ada ulama Asy-Syafi’iyyah yang memfatwakan bahwa menurut mazhab Asy-Syafi’i, salat berjamaah itu hukumnya fardu ain. Di antara yang memfatwakan ini adalah Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Khuzaimah. Bahkan ada ulama Asy-Syafi’iyyah yang mengklaim bahwa pendapat ini adalah manshus langsung (qoul) dari Asy-Syafi’i. (agar lebih paham bedanya wajh dan qoul, silakan baca catatan saya yang berjudul Qoul, Wajh dan Thoriq dalam Istilah Ulama Syafi’iyyah)
Hanya saja, dari tiga variasi klaim ini, klaim yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan hukumnya fardu kifayah. An-Nawawi mengungkapkannya dengan kata ashohh (الْأَصَحُّ). An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Adapun untuk salat wajib selain salat Jumat maka ada beberapa pendapat. Yang paling kuat adalah fardu kifayah”
Istilah ashohh, secara bahasa bermakna yang paling sahih. Hanya saja, dalam pembahasan tahrir mazhab, istilah ashohh lebih akurat diterjemahkan dengan yang paling kuat. Alasannya, istilah ashohh adalah hasil tarjih dan penilaian final dari variasi wujuh/aujuh atau ijtihad ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin.
Konsepsi penting lainnya, pemilihan diksi ashohh (الْأَصَحُّ) bukan shohih (الصَّحِيْح), menunjukkan ikhtilaf internal ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah dalam isu ini adalah ikhtilaf yang kuat. (uraian lebih dalam perbedaan antara ashohh dengan shohih bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul Apa Bedanya Istilah “Shohih” (الصحيح), “Ashohh” (الأصح) dan “Showab” (الصواب)?. )
Kemudian perhatikan pernyataan An-Nawawi yang berbunyi,
Artinya,
“Konon ini juga pendapat Syafi’i rahimahullah”
Pernyataan di atas memakai istilah wa qila (وَقِيلَ). Ini adalah istilah khusus yang punya makna khusus dan itu berbeda dengan istilah wahukiya (وَحُكِيَ) atau wayuqolu (وَيُقَالُ) atau wa fi qoulin (وَفِيْ قَوْلٍ) atau wafi nashhin (وَفِيْ نَصٍّ) atau wafi riwayatin (وَفِيْ رِوَايَةٍ). Istilah wa qila bermakna bahwa itu wajh yang lemah, yang tidak bisa dipegang, tetapi ikhtilafnya jenis ikhtilaf kuat sehingga wajh yang kuat diberi atribut ashohh, bukan shohih. Dengan kata lain, istila wa qila adalah kontraposisi dari ashohh.
Pertanyaan besarnya adalah, “Dari mana An-Nawawi mendapatkan kesimpulan-kesimpulan ini? Bagaimana caranya An-Nawawi sampai pada kesimpulan-kesimpulan ini? Argumentasi apa yang bisa dijadikan tumpuan untuk menerima bahwa kesimpulan-kesimpulan ini bisa dipegang? Bagaimana bisa abstraksi ini sah untuk dijadikan rujukan sebagai pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i?”
Nah, untuk mengetahui jawaban pertanyan-pertanyaan ini, kita memang perlu mendapatkan gambaran singkat bgmn kerja tahrir mazhab yang dilakukan oleh An-Nawawi. (bersambung)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين