Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Adab terhadap Rasulullah ﷺ tidak bisa disamakan dengan adab terhadap hamba Allah yang lain. Adab terhadap Rasulullah ﷺ itu sifatnya khusus, istimewa, dan extraordinary.
Kita diperintahkan untuk mencintai karena Allah, tetapi cinta kepada Rasulullah ﷺ tidak seperti cinta-cinta kepada selain beliau.
Kita diperintahkan untuk menghormati orang tua, tetapi hormat kita kepada Rasulullah ﷺ tidak seperti hormat kita kepada orang tua.
Kita diperintahkan taat kepada ulil amri, tapi taat kita kepada Rasulullah ﷺ tidak seperti taat kepada ulil amri.
Pendeknya, adab terhadap Rasulullah ﷺ itu sifatnya khusus, istimewa dan luar biasa.
Contoh kewajiban dasar bagi setiap hamba beriman dalam kaitannya beradab terhadap Rasulullah ﷺ adalah mencintai Rasulullah ﷺ melebihi cinta kepada dirinya, orang tuanya, anaknya, bahkan seluruh manusia. Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (صحيح البخاري (1/ 24)
Artinya,
“Dari Anas ia berkata, Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya“. (H.R. Al-Bukhari)
Al-Hishni bahkan berfatwa bahwa siapapun yang mengatakan bahwa dia lebih mencintai anaknya atau istrinya daripada Rasulullah ﷺ, maka sesungguhnya dia telah kafir murtad. Al-Hishni berkata,
قَالَ عَن وَلَده أَو زَوجته هُوَ أحب إِلَيّ من الله أَو من رَسُوله (كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار (ص: 493)
Artinya,
“.. (Demikian pula jika dia) berkata tentang anak atau istrinya, ‘Dia lebih aku cintai daripada Allah atau Rasul-Nya (maka dia dihukumi kafir)” (Kifayatu Al-Akhyar, hlm 493)
Oleh karena itu, memperlakukan Rasulullah ﷺ harus ekstra hati-hati, penuh adab, penuh sopan santun dan penuh akhlak mulia. Tidak boleh orang mengaku muslim dan mengaku beriman sementara dia tidak tahu bagaimana memperlakukan Rasulullah ﷺ dengan layak. Kekeliruan memperlakukan Rasulullah ﷺ baik dalam hal i’tiqod (keyakinan), qoul (ucapan), maupun fi’il (perbuatan) bisa berakibat yang sangat fatal, yakni jatuh dalam kekufuran dan terkena hukum murtad.
ADAB-ADAB TERHADAP RASULULLAH ﷺ
Ada banyak adab terhadap Rasulullah ﷺ. Hanya saja, di antara adab yang terpenting adalah sebagai berikut.
Pertama: Bersikap hormat, takzim, sopan, khidmat, menghargai dan memuliakan beliau. Dalil dari perintah ini adalah firman Allah sebagai berikut,
{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا} [الفتح: 8، 9]
Artinya,
“Sesungguhnya Aku mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, menghormatinya (Rasulullah ﷺ), dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang.” (Al-Fath; 8-9)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan untuk bersikap tauqir kepada Nabi ﷺ . Makna tauqir adalah tabjil wa ta’zhim, yakni bersikap hormat, takzim, sopan, khidmat, menghargai dan memuliakan.
Dengan demikian, sikap yang melanggar kewajiban ini, yakni sikap meremehkan Rasulullah ﷺ atau merendahkannya, adalah dosa besar, bahkan Al-Hishni menegaskan bahwa siapapun yang merendahkan dan meremehkan seorang nabi (termasuk Nabi Muhammad ﷺ ), maka dia langsung dihukumi kafir. Al-Hishni berkata,
وَلَو سبّ نَبيا من الْأَنْبِيَاء أَو استخف بِهِ فَإِنَّهُ يكفر بِالْإِجْمَاع (كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار (ص: 493)
Artinya,
“Seandainya dia mencaci salah seorang nabi atau meremehkannya/merendahkannya maka dia kafir berdasarkan ijmak” (Kifayatu Al-Akhyar hlm 493)
Contoh terbaik yang menunjukkan bahwa penghormatan para Shahabat terhadap Rasulullah ﷺ adalah yang diceritakan ‘Urwah bin Mas’ud pada saat masih belum masuk Islam berikut ini,
فَوَاللَّهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ (صحيح البخاري (9/ 256)
Artinya,
“Demi Allah, tidaklah Rasulullah ﷺ membuang dahak lalu dahak beliau tepat jatuh di telapak tangan salah seorang dari sahabat melainkan orang itu menggosokkannya pada wajah dan kulitnya. Bila beliau menyuruh mereka, merekapun segera begegas melaksanakan perintah beliau. Apabila beliau hendak berwudhu’, selalu mereka hampir berkelahi karena berebut untuk menyiapkan air untuk wudhu’ beliau. Bila beliau berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan beliau dan mereka tidaklah menajamkan pandangan kepada beliau sebagai pengagungan mereka terhadap beliau.” (H.R. Al-Bukhari)
Konteks ucapan ini adalah apa yang dilihat Urwah bin Mas’ud pada saat membuat kesepakatan dengan Rasulullah ﷺ pada perjanjian Hudaibiyah. Dengan membawa kesan ini, Urwah bin Mas’ud yang waktu itu menjadi duta Quraisy kembali ke Mekah dan bercerita kepada kawan-kawannya dengan penuh kekaguman memakai kalimat-kalimat sebagai berikut,
أَيْ قَوْمِ وَاللَّهِ لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِيِّ وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّدًا (صحيح البخاري (9/ 256)
Artinya,
“Wahai kaumku, demi Allah, sungguh aku pernah menjadi utusan yang diutus mengahadap raja-raja, juga Kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Parsia) juga kepada raja an-Najasiy. Demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang rajapun yang begitu diagungkan seperti para sahabat Muhamad mengagungkan Muhammad.”
Kedua: Tidak mengeraskan suara di hadapan Nabi ﷺ baik saat hidup maupun sudah wafat.
Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah ayat berikut ini,
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ } [الحجرات: 2]
Artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari” (Al-Hujurat; 2)
Umar pernah hendak memukul dua orang yang bertengkar di masjid Nabawi karena mereka bersuara keras, sementara di dekat masjid itu ada makam Rasulullah ﷺ.
Ketiga: Tidak memanggil nama beliau tanpa gelar Nabi atau Rasul.
Dalil ketentuan ini adalah firman Allah sebagai berikut,
{ لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا } [النور: 63]
Artinya,
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (An-Nur; 63)
Jadi, tidak selayaknya kita memanggil beliau dengan nama Muhammad langsung. Yang beradab adalah menyebutnya Nabi Muhammad ﷺ atau Rasulullah ﷺ.
Keempat: Mengucapkan salawat saat mendengar nama beliau,
Dalil adab ini adalah firman Allah berikut ini,
{ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [الأحزاب: 56]
Artinya,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab; 56)
Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa Allah berjanji, bahwa siapapun yang bersalawat kepada Rasulullah ﷺ satu kali maka Allah akan bersalawat kepadanya 10 kali.
Kelima: Khidmat saat mendengar sabda beliau,
Ini berlaku baik saat Rasulullah ﷺ masih hidup maupun saat beliau sudah wafat. Praktek terkait adab ini saat Rasulullah ﷺ sudah wafat adalah pada saat mendengar hadis Rasulullah ﷺ dibacakan, sikap yang benar adalah khidmat, tenang, khusyuk dan tidak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kita ada burung yang bertengger sementara kita tidak ingin burung itu terbang karena gerakan kita. Begitulah sikap para Shahabat saat mendengar sabda Rasulullah ﷺ. Al-Baihaqi meriwayatkan,
إِذَا تَكَلَّمَ أَطْرَقَ جُلَسَاؤُهُ كَأَنَّمَا عَلَى رؤسِهُمُ الطَّيْرُ (شعب الإيمان (3/ 32)
Artinya,
“ Jika beliau (Rasulullah ﷺ ) berbicara, maka para audien beliau menunduk seakan-akan ada burung di atas kepala mereka” (Syu’abu Al-Iman; juz 3 hlm 32)
Keenam: Tidak berpendapat dalam urusan apapun dalam din sebelum mengetahui bagaimana petunjuk Rasulullah ﷺ terhadap persoalan tersebut.
Artinya, jika ada seorang muslim bertanya tentang suatu persoalan, jangan lekas ikut menjawab “Menurut saya”, “Menurut pendapat saya”, “Opini saya”, “sikap saya” dan semisalnya. Yang benar, urusan agama semua harus dicari tahu terlebih dahulu bagaimana petunjuk Rasulullah ﷺ terhadap hal itu.
Dalil adab ini adalah firman Allah berikut ini,
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ } [الحجرات: 1]
Artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Ketujuh: Menghormati istri-istri beliau dan keturunannya.
Seorang muslim wajib menghormati istri-istri Rasulullah ﷺ, karena Allah menyebut istri-istri nabi ﷺ sebagai ibu orang-orang beriman. Allah berfirman,
{ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ} [الأحزاب: 6]
Artinya,
“Istri-istri beliau (Rasulullah ﷺ) adalah ibu mereka” (Al-Ahzab: 6)
Seorang ibu tentu saja harus dihormati oleh anak-anaknya. Siapapun yang merendahkan atau menghina ibunya, maka dia durhaka.
Demikian pula wajib menghormati keluarga Nabi ﷺ . Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menghormati keluarganya, menjaga mereka, berteladan kepada yang salih di antara mereka dan mengambil petunjuk kepada yang alim di antara mereka. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ». فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِىٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ (صحيح مسلم – م (7/ 122)
Artinya,
“…Keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua untuk menjaga keluargaku.” (Beliau ucapkan sebanyak tiga kali). Husain bertanya kepada Zaid bin Arqarn; “Hai Zaid, sebenarnya siapakah ahlul bait (keluarga) Rasulullah ﷺ itu? Bukankah istri-istri beliau itu adalah ahlul bait (keluarga) nya?” Zaid bin Arqam berkata; “Istri-istri beliau adalah ahlul baitnya. tapi ahlul bait beliau yang dimaksud adalah orang yang diharamkan untuk menerima zakat sepeninggalan beliau.” Husain bertanya; “Siapakah mereka itu?” Zaid bin Arqam menjawab; “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil. keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” (H.R. Muslim)
Kedelapan: Sekali-kali jangan mencela Rasulullah ﷺ, meremehkannya, merendahkannya, menisbahkan aib pada beliau, mengucapkan kata-kata tidak pantas kepada beliau dan semisalnya, sebab semua ini dihukumi mencaci Rasulullah ﷺ yang hukumannya adalah hukuman mati. Al-Qodhi Iyadh berkata,
اعْلَم وفقنا اللَّه وإياك أَنّ جَمِيع من سَبّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْه وَسَلَّم أَو عَابَه أَو ألْحَق بِه نَقْصًا فِي نَفْسِه أَو نَسَبِه أَو دِينه أَو خَصْلَة من خِصَالِه أَو عَرّض بِه أو شبهة بشئ عَلَى طريق السَّبّ لَه أَو الأِزْرَاء عَلَيْه أو التَّصْغِير لِشَأْنِه أَو الْغَضّ مِنْه وَالْعَيْب لَه فَهُو سَاب لَه وَالْحُكْم فِيه حُكْم السَّابّ يقْتَل كَمَا نُبَيّنُه وَلَا نَسْتَثْنِي فَصْلًا من فُصُول هَذَا الْبَاب عَلَى هَذَا المقصد وَلَا يمترى فِيه تصريحا كَان أَو تلويحا وَكَذَلِك من لعنه أَو دعا عَلَيْه أَو تمنى مضرة لَه أو نسب إليه مَا لَا يليق بمنصبه عَلَى طريق الذم أَو عبث فِي جهَتِه العَزِيزَة بسُخْف مِن الْكَلَام وَهُجْر وَمُنْكَر مِن الْقَوْل وَزُور أَو عيره بشئ مِمَّا جَرَى مِن الْبَلَاء والْمِحْنَة عَلَيْه أَو غَمَصَه بِبَعْض الْعَوَارض الْبَشَرِيّة الْجَائِزَة وَالْمَعْهُودَة لَدَيْه وَهَذَا كُلُّه إجْماع مِن الْعُلمَاء وَأئِمَّة الْفَتْوَى من لَدُن الصَّحَابَة رِضْوَان اللَّه عَلَيْهِم إِلَى هَلُمّ جَرّا الشفا بتعريف حقوق المصطفى – وحاشية الشمني (2/ 214)
Artinya,
“Ketahuilah, -semoga Allah memberi pertolongan kepada kita semuanya- bahwa semua orang yang mencaci Nabi ﷺ atau menisbahkan aib pada beliau atau menyebutkan kekurangan pada beliau baik pada diri beliau, nasab beliau, agama beliau, atau salah satu dari karakternya atau menyindirnya atau menyerupakannya dengan sesuatu dengan nada mencela atau menghina atau mengecilkannya atau merendahkannya atau mencacinya, maka dia dihukumi mencaci dan hukumannya adalah hukum seorang pencaci yang dibunuh sebagaimana yang akan kami jelaskan. Kami tidak mengecualikan satu babpun dari topik semacam ini dengan kaidah ini.
Tidak boleh juga meragukan beliau baik secara lugas maupun secara sindiran. Demikian pula (terkena hukum mencaci yang harus dibunuh) orang yang melaknat beliau atau mendoakan buruk beliau atau mengangan-angankan bahaya bagi beliau atau menisbahkan pada beliau sesuatu yang tidak layak dengan kedudukannya dengan cara mencela atau mempermainkan kemuliaan beliau dengan ucapan yang yang rendah atau tidak pantas atau kemungkaran atau kepalsuan atau mencela beliau dengan sesuatu yang termasuk bala atau ujian atau merendahkan beliau dengan penyakit-penyakit manusiawi yang mungkin terjadi pada beliau… Ini semua adalah hukum yang disepakati para ulama dan para imam fatwa semenjak zaman sahabat Radhiallahu anhum dan genarasi seterusnya” (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqi Al-Mushthofa, juz 2 hlm 214)
Tentu saja masih banyak adab-adab yang lain. Di antara kajian berharga yang cukup dalam untuk membahas adab terhadap Rasulullah ﷺ dan memenuhi hak beliau adalah apa yang ditulis oleh Al-Qodhi ‘Iyadh (w. 544 H) dalam kitab beliau yang berjudul Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqi Al-Mushthofa.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد