Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu ciri orang salih yang berilmu adalah cinta Al-Qur’an. Saat Rasulullah ﷺ masih hidup sekalipun, ciri ini diafirmasi beliau sebagai kebiasaan orang-orang yang mengikuti jalan hidup beliau. Bukankah kita ingat Rasulullah ﷺ pernah mengatakan, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak “bernyanyi” dengan Al-Qur’an?”. Maknanya, ciri hamba-hamba salih yang beriman itu siap mengganti kebiasaan suka bernyanyi dengan kebiasaan membaca Al-Qur’an.
Begitulah perhatian Shahabat terhadap Al-Qur’an sepeninggal Rasulullah ﷺ. Kita juga mengetahui dalam sejarah bagaimana para Shahabat di masa awal-awal masih melarang penulisan hadis, karena ingin umat Islam memberikan perhatian penuh terhadap Al-Qur’an agar tidak tercampur antara Al-Qur’an dengan hadis.
Kebiasaan pribadi para Shahabat juga menunjukkan betapa cintanya mereka dengan Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud diriwayatkan mengkhatamkan Al-Qur’an sepekan sekali. Aisyah dikisahkan selalu membaca wirid Al-Qur’annya meski di atas kasur/ranjang.
Para ulama sesudah Shahabat juga demikian kebiasaannya. ‘Alqomah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 5 hari sekali. Ahmad bin Hanbal disaksikan putranya selalu mengkhatamkan Al-Qur’an di siang hari setiap 7 hari sekali. Abu Dawud tidak suka Al-Qur’an dikhatamkan lebih dari 40 hari. Asy-Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali selama Ramadan dan seterusnya.
Demikian pula An-Nawawi. Kisah hidup beliau menunjukkan bahwa An-Nawawi memang sudah cinta dengan Al-Qur’an sejak usia belia. Kisah ini sebenarnya terkenal, tapi tetap kita bawakan kembali agar semakin mantap dan semakin kokoh menjadi ibrah. Kisah ini terjadi saat An-Nawawi masih kecil. Begini kisahnya.
Suatu saat, An-Nawawi kecil diajak teman-temannya bermain. An-Nawawi menolak. Karena beliau menolak, maka teman-temannya memaksanya. An-Nawawi menangis, lalu melarikan diri dari mereka, kemudian mengambil Al-Qur’an dan membacanya. Peristiwa ini disaksikan oleh salah seorang ulama salih di zaman itu yang bernama Yasin Al-Marrokisyi. Demi dilihatnya ada anak kecil yang demikian besar cintanya terhadap Al-Qur’an, beliau langsung berfirasat bahwa An-Nawawi ini kelak akan menjadi “orang besar”.
Ibnu Al-‘Atthor menceritakan kisah ini sebagai berikut,
“Waliyullah Syekh Yasin bin Yusuf Al Marrokisyi bercerita kepada saya (Ibnu Al-‘Atthor), ‘Saya melihat Syaikh An-Nawawi saat beliau berusia 10 tahun di (kota) Nawa. Waktu itu ada sekumpulan anak-anak yang memaksa beliau untuk bermain bersama mereka sementara beliau lari dari mereka dan menangis karena paksaan itu. Beliau membaca Al-Qur’an seketika itu juga sehingga di hatiku timbul rasa cinta kepada beliau. Saat itu, ayahnya menugasi beliau untuk membantunya di toko. Kesibukan aktivitas jual beli itu tidak melalaikan beliau dari Al-Qur’an. Aku pun mendatangi pengajarnya dan aku berwasiat kepadanya. Kukatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya dia bisa diharapkan menjadi orang yang paling berilmu di zamannya, paling zuhud dan diambil manfaatnya oleh banyak orang. Pengajar itu bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau ahli nujum?’ Aku menjawab, ‘Tidak, tetapi Allah-lah yang membuat- ku berbicara hal itu’” (Tuhfatu Ath-Tholibin, hlm 44)
Ketika dewasa, cinta An-Nawawi terhadap Al-Qur’an salah satunya diwujudkan dalam bentuk mengarang kitab khusus yang mengajarkan bagaimana adab-adab berinteraksi dengan Al-Qur’an dalam karya yang berjudul At-Tibyan Fi Adabi Hamalati Al-Qur’an.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “masa kecil An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.