Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Bisa jadi banyak faktor yang membuat ilmu waris Islam terlihat sulit dan tidak banyak dimengerti oleh para pelajar ilmu-ilmu syar’i.
Hanya saja, dalam pendapat saya, dari sisi metode belajar dan mengajar, ilmu ini terlihat sulit terutama sekali karena dua hal,
Pertama; Cara pengorganisasian informasi.
Kedua: Pilihan kata untuk terjemah istilah tertentu yang ambigu.
Terkait sebab pertama, harus diakui bahwa informasi dan konsepsi dalam ilmu waris itu memang padat. Masing-masing infomasi itu juga saling berjalin-berkelindan satu sama lain, sehingga satu saja informasi/konsepsi yang luput dipahami, maka akan berpengaruh pada pemahaman konsepsi yang lain. Akibatnya, gagal memahami satu informasi bisa berakibat gagalnya memahami seluruh konsepsi ilmu waris Islam sebagai satu kesatuan.
Pembahasan ilmu waris Islam di kitab-kitab besar biasanya dilakukan dengan cara yang mendalam, detail, rinci, dan komprehensif. Hanya saja, semua konsepsi itu diajarkan dengan cara yang terserak-serak. Pelajarlah yang harus bekerja keras menyusun sendiri semua “puzzle” informasi itu menjadi satu kesatuan sistem sehingga siap dipakai untuk memecahkan kasus-kasus waris praktis. Masih sangat jarang pengajar ilmu waris Islam yang mengajarkan konsepsi-konsepsi ilmu waris dalam bentuk materi yang sistematis, membentuk urutan berpikir yang praktis dan bisa digunakan langsung untuk memecahkan kasus riil.
Untuk problematika kedua, harus dipahami bahwa ilmu waris Islam itu banyak sekali istilah-istilahnya. Beberapa istilah Arab itu bahkan harus direnungi secara khusus bermenit-menit atau bahkan berjam-jam sampai bisa membayangkan dan mempersepsikan dengan jelas. Sayangnya, istilah yang beragam itu masih belum banyak pengajar yang menggarap serius untuk menemukan padanan kata yang mudah ditangkap oleh para pelajar.
Kita ambil contoh istilah yang berbunyi “asal masalah”. Beberapa kali saya menemukan penulis ilmu waris Islam yang mengajarkan ilmu waris menggunakan istilah “asal masalah”.
Istilah ini problematik, sebab orang indonesia jika mendengar frasa “asal masalah”, maka dia akan spontan membayangkan bahwa di sana ada problem, dan masalah yang harus dipecahkan dan problem itu memiliki asal-usul atau sumber yang melahirkannya.
Tentu saja, persepsi dan bayangan seperti ini tidak tepat dalam pembicaraan ilmu waris Islam.
Kalau begitu, apa pengertian istilah “asal masalah” itu?
Istilah “asal masalah” sebenarnya adalah terjemahan dari ungkapan bahasa arab yang berbunyi “ashlul mas-alah” (أَصْلُ الْمَسْأَلَةِ).
Para fukaha menggunakan istilah ini untuk kasus seperti ini misalnya.
Ada seorang wanita wafat menginggakan dua ahli waris, yakni suami dan ibunya. Bagian suami dalam kasus ini adalah ½. Bagian ibu adalah 1/3.
Agar pembagian harta bisa lebih mudah dibayangkan, maka pecahan ½ dan 1/3 itu disamakan penyebutnya. Angka paling sederhana yang bisa menjadi penyebut untuk kasus ini adalah 6.
Dengan demikian bagian suami adalah 3/6 sementara bagian dari ibu adalah 2/6.
Nah, angka 6 inilah yang dimaksud oleh para fukaha dengan istilah “ashlul mas-alah”
Kalau begitu, apa padanan yang tepat untuk istilah ini dalam bahasa kita, bahasa Indonesia?
Dalam pandangan saya, daripada diterjemahkan “asal masalah”, istilah “ashlul mas-alah” lebih komunikatif jika diterjemahkan kelipatan persekutuan terkecil (KPK). Istilah ini lebih familiar bagi siapapun yang sudah pernah diajari matematika dengan bahasa Indonesia.
Jadi bisa kita katakan, kasus ahli waris berupa suami dan ibu, KPK-nya adalah 6.
Lebih mudah dan lebih komunikatif, bukan?
Bagaimana menurut Anda?