Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hidup kaya raya, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat mungkin menjadi cita-cita banyak orang. Nalarnyapun masuk akal pula.
“Jika bisa kaya dan hartanya berguna di jalan Allah, mengapa tidak?”
“Jika bisa kaya, ahli ibadah, baik hati dan suka membantu bukankah manfaatnya lebih luas daripada miskin tabah yang masuk surga tapi manfaatnya hanya untuk diri sendiri?”
“Mengapa memilih miskin jika bisa kaya? Bukankah miskin itu malah hanya akan menyusahkan orang lain?”
Tidak ada keraguan, bahwa orang kaya yang pandai bersyukur nan beramal salih adalah salah satu di antara hamba Allah yang dicintai-Nya.
Tidak ada keraguan pula terdapat dalil-dalil dan sejumlah contoh di kalangan salaf yang menunjukkan keutamaan orang yang berharta jika dia pandai bersyukur.
Yang bermasalah adalah menjadikan dalil-dalil dan logika-logika itu untuk mendorong kaum muslimin menjadi berambisi untuk menjadi orang kaya dan menanamkan pikiran “Muslim Harus Kaya” yang sangat berpotensi membentuk insan-insan cinta dunia berbalut istilah-istilah “syar’i”.
Menjadi orang kaya dan beramal salih sesuai yang dikehendaki Allah supaya layak digelari Allah hamba yang bersyukur itu tidak semudah yang dibayangkan.
Ada banyak godaan di sana.
Di antara yang terpenting adalah perjuangan untuk menghindarkan diri dari riya’ dan sum’ah.
Sebab, amal salih apapun jika kena dua virus itu, maka ia akan hancur lebur tak bersisa dan di akhirat pelakunya tidak akan dapat apa-apa.
Contoh,
Jika ada orang kaya menyumbang untuk anak yatim, lalu di hatinya terbersit pikiran,
“Aku sumbangkan hartaku kepada mereka agar namaku selalu harum di hati mereka. Siapa tahu nanti di antara mereka ada yang jadi orang besar. Mereka akan selalu ingat siapa yang pernah menyantuni mereka di saat susah”.
Maka amal ini adalah pamrih yakni mengejar pujian manusia dan itu riya’ sehingga pahalanya hancur lebur.
Jika ada orang kaya menghutangi tetangganya yang butuh membayar biaya pendidikan, lalu di hatinya terbersit pikiran,
“Kuhutangi saja tetanggaku ini. Kita tidak tahu masa depan. Bisa jadi suatu saat aku benar-benar butuh pertolongannya. Di saat itu dia akan mengingat kebaikanku sehingga bisa kuandalkan untuk menolongku”.
Maka amal ini adalah amal tanam jasa. Pamrihnya masih ke manusia. Hancur leburlah pahala amalnya.
Jika ada orang kaya yang membangun masjid, panti asuhan, jembatan, rumah tahfiz, lalu di hatinya terbersit pikiran,
“Siapa lagi yang bisa melakukan ini kalau bukan aku? Bukankah dengan ini aku bisa berharap namaku tercatat dalam sejarah? Mudah-mudahan dengan karyaku ini masyarakat tidak lupa jasaku yang telah kuperbuat seumur hidupku. Mereka tidak lupa kedermawanan yang aku persembahkan”.
Maka amal ini adalah amal memburu pujian manusia. Hancur lebur pahala amalnya.
Muslim meriwayatkan,
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ (صحيح مسلم (3/ 1513)
Artinya,
“… Seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki oleh Allah, yang diberi berbagai macam jenis harta seluruhnya, maka dia nanti akan dipanggil, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.’ Allah bertanya: ‘Apa amalmu dengan harta itu?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya di satu pos pun yang Engkau sukai melainkan saya infakkan harta itu di pos tersebut agar Engkau rida.” Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kamu sudah mendapatkan gelar itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (H.R. Muslim)
Lihatlah, betapa mengerikannya hadis ini.
Jadi akan ada di akhirat, orang yang penampilannya di dunia kita lihat baik sekali, suka menolong, murah hati, gampang menyumbang, gemar menyantuni orang kekurangan, membangun masjid, membangun panti asuhan, membangun pondok pesantren, membangun rumah tahfizh dan lain-lain tetapi nasib akhirnya ke neraka!
Itu semua karena dia salah motivasi.
Dia tidak serius mengontrol motivasinya supaya bersih dan murni semata-mata untuk mendapatkan pujian Allah. Tetapi yang ia kejar malah nama harum di kalangan manusia, kenangan indah di masyarakat, “wow” para pengagum dan semua motivasi mencari “rida” manusia yang lain. Akhirnya amal seperti itu ditolak semuanya oleh Allah karena dia pada hakikatnya tidak mengabdi pada Allah. Dia secara halus nan tidak kelihatan “mengabdi” pada kepentingan dirinya sendiri dan butuh membesarkan namanya sendiri, bukan nama Allah. Dalam bahasa Al-Qur’an, orang-orang seperti ini menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Jika dia mencampur antara motivasi ingin mendapatkan pujian Allah sekaligus pujian manusia, maka dia dikatakan telah melakukan isyrak (menyekutukan) , meskipun jenis isyrak yang kecil yang tidak memurtadkan. Isyrak seperti itulah yang disebut riya’ dan Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai syirik kecil.
Dari sisi ini, orang yang disempitkan hartanya –harus diakui- memang lebih mudah beramal daripada orang kaya. Amal orang miskin lebih cenderung “ringan” karena “hanya” mengerahkan ketabahan saat diuji dengan kesempitan hidup.
Amal orang miskin sangat dimudahkan untuk ikhlas dan menjerit semata-mata kepada Allah.
Bagaimana? Masih adakah yang membayangkan beramal dengan menjadi orang kaya itu mudah?