Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hukum asalnya, seluruh amal saleh itu diberi janji Allah balasan indah di akhirat. Jika kita mengharapkan janji Allah di akhirat ini, maka saat itu kita disebut beramal karena Allah, beramal karena percaya janji Allah, berihtisab, dan melakukan amal saleh secara ikhlas.
Adapun jika orang melakukan amal saleh karena mengharap keuntungan duniawi, misalnya bersedekah agar disebut dermawan, berdakwah agar dikenang sebagai pengemban dakwah, berceramah agar disebut ustaz, berhaji agar disebut abah (atau ummik atau pak haji atau bu haji) dan semisalnya, maka amal seperti ini jelas bukan amal ikhlas, bahkan ia termasuk riya’, syirik kecil, tergolong dosa besar, bahkan bisa tergolong kekufuran (karena dia pamrih kepada selain Allah) jika dia benar-benar hanya menarget dunia, tanpa ingat Allah sama sekali.
Hanya saja, ada sejumlah dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa Allah memberikan janji duniawi terkait amal-amal tertentu. Janji-janji duniawi ini misalnya,
- Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka dia akan diberi jalan keluar dan solusi dari setiap permasalahan dan kesulitan hidupnya. Bahkan dia akan diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (wamayyattaqillāha yaj’al lahū makhrajā wayarzuqhu min haiṡu lā yaḥtasibu)
- Barangsiapa mau bertaubat dan memohkn ampun kepada Allah, maka Dia akan mengirimkan hujan lebat, memberi harta yang banyak, memberi anak, mengkaruniai kebun-kebun dan sungai-sungai (istagfirū rabbakum innahū kāna gaffārā. Yursilissamā’a ‘alaikum midrāra. Wayumdidkum bi amwāliwwabanīna wayaj‘al lakum jannātiwwayaj‘al lakum anhārā)
- Barangsiapa beramal saleh, maka Allah akan membuat kehidupannya nyaman dan enak (man ‘amila ṣaliḥan min żakarin au unṡā wahuwa mu’minun falanuḥyiyannahū ḥayātan ṭayyibah)
- Barangsiapa beriman dan bertakwa maka Allah akan membuka berkah langit dan berkah bumi (walau anna ahlal qurā āmanū wattaqau lafataḥnā ‘alaihim barakātin minas samā’i wal arḍ)
- Barangsiapa minta ampun kepada Allah, maka dia kan diberi ganjaran di dunia maupun di akhirat (fa ātāhumullāhu ṡawābaddunyā waḥusna ṡawābil ākhirah)
- Tidak masalah orang berhaji sambil membawa barang dagangan dan berniat sekalian berdagang di musim haji (laisa ‘alaikum junāḥun an tabtagū faḍlan min rabbikum)
- Berdoa minta kebaikan dunia tidak terlarang asalkan bukan hanya dunia saja. Kebaikan akhirat harus tetap utama (rabbanā ātinā fiddunyā ḥasanah wafil ākhirati hasanah waqinā ‘ażābannār)
- Harta tidak akan pernah berkurang karena sedekah (mā naqaṣat ṣadaqatun min mālin)
- Haji dan umrah itu bisa menghilangkan kemiskinan (tābi‘ū bainal ḥajji wal ‘umrah fa’innahumā yanfiyānil faqra ważżunūb)
- Sikat gigi itu disamping membersihkan mulut, ia juga membuat Allah rida (al-siwāk maṭharatun lil fam marḍatun lirrabb)
- Orang yang berjihad dan bisa membunuh musuh maka dia berhak salabnya –yakni harta yang dibawa musuhnya itu-(man qatala qatīlan falahū salabuhū)
- Dan lain-lain.
Demikian pula syariat salat istikharah, salat hajah, salat minta hujan dan semisalnya.
Pertanyaannya,
“Bolehkah beramal saleh dengan niat mengharap janji duniawi tersebut?”
“Jika boleh, apa bedanya dengan riya’ yang tercela?”
“Jika tidak boleh, apa sebenarnya makna janji-janji duniawi untuk amal saleh tersebut?
“Bagaimana sebenarnya memahami dengan tepat dalil-dalil seperti itu?”
DUNIA BUKAN MOTIVASI UTAMA
Jika kita kaji semua dalil yang terkait topik ini, baik dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah, maupun praktek generasi al-salaf as-ṣālih, maka kita akan mendapati bahwa semua keuntungan duniawi yang dijanjikan dalam sejumlah dalil itu sesungguhnya tidak pernah diposisikan agar menjadi motivasi dalam beramal saleh, apalagi motivasi utama. Sebab tidak ada satupun dalil yang bisa dipakai untuk menunjukkan bahwa seorang muslim diizinkan Allah menjadikan dunia sebagai motivasi amal saleh. Bahkan hanya sekedar motivasi utama saja juga tidak ada. Yang ada justru dalil-dalil mengerikan yang menunjukkan betapa murkanya Allah jika menjadikan dunia sebagai motivasi amal saleh. Misalnya dalil celaan riya’, dalil celaan sum’ah, dalil 3 orang muslim yang masuk neraka karena dulu beramal ingin dipuji sebagai ulama atau orang dermawan atau orang pemberani, dan lain-lain.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan, bahwa dalil-dalil seperti itu bukan untuk dijadikan pembenaran bolehnya beramal saleh dengan menjadikan motivasi dunia. Tetapi hanya menunjukkan dimaafkannya motivasi demikian jika kadarnya sedikit, agar lebih semangat dalam melakukan amal saleh. Standar sedikit ini adalah selama tidak mencapai 50% atau lebih. Jika motivasi duniawi itu sudah mencapai 50% atau lebih, maka binasalah hamba tesebut. Dia sudah tidak ditoleransi lagi, pahala amal salehnya menjadi hancur, dan semua amal salehnya tidak dihitung kebaikan lagi, tetapi menjadi maksiat, bahkan bisa jadi dihitung sebagai kekufuran.
Terkait kehancuran pahala amal jika motivasi dunia sepenuhnya 100%, Al-Qurṭubi berkata,
فأما إذا كان الباعثُ عليها غير ذلك من أعراض الدُّنيا؛ فلا يكونُ عبادة، بل يكون مصيبة موبقة لصاحبها، فإما كفرٌ، وهو: الشرك الأكبر، وإما رياء، وهو: الشركُ الأصغر. ومصيرُ صاحبه إلى النار، كما جاء في حديث أبي هريرة في الثلاثة المذكورين فيه. (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 742)
Artinya,
“Adapun jika motivasinya adalah selain itu yakni untuk memperoleh keuntungan dunia maka itu tidak menjadi ibadah bahkan menjadi musibah yang membinasakan pelakunya. Bisa jadi statusnya adalah kekufuran yakni syirik akbar dan bisa jadi juga hanya riya’, yakni syirik asghar. Nasib akhir pelakunya adalah ke neraka sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah terkait 3 orang yang diceritakan dalam hadis tersebut” (Al-Mufhim, juz 3 hlm 742)
Terkait kehancuran pahala amal jika motivasi dunia sebesar 50% atau lebih Al-Qurṭubi berkata,
فأما لو انبعث لتلك الحالة لمجموع الباعثَينِ- باعث الدنيا وباعث الدين-؛ فإن كان باعثُ الدنيا أقوى، أو مساويًا ألحق القسم الأول في الحكم بإبطال ذلك عند أئمة هذا الشأن، (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 743)
Artinya,
“Adapun jika dia beramal berdasarkan dua motivasi yakni motivasi dunia dan motivasi agama, maka jika motivasi dunia lebih kuat atau sama (dengan motivasi agama) maka status hukumnya disamakan dengan jenis pertama yakni sia-sianya amal tersebut sebagaimana menjadi pendapat para imam dalam topik ini” (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Terkait dimaafkannya amal saleh jika motivasi dunia kurang dari 50% Al-Qurṭubi berkata,
فأما لو كان باعثُ الدِّين أقوى؛ فقد حكم المحاسبي (3) رحمه الله بإبطال ذلك العمل؛ متمسكًا بالحديث المتقدِّم، وبما في معناه، وخالفه في ذلك الجمهور، وقالوا بصحة ذلك العمل، (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 743)
Artinya,
“Adapun jika motivasi agama lebih kuat, maka Al-Muhasibi menghukumi sia-sianya amal tersebut dengan berpegang teguh memakai hadits sebelumnya termasuk juga hadis yang semakna dengannya. Jumhur ulama berbeda pendapat dengannya. Mereka mengatakan amal tersebut sah -mendapatkan pahala- (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Ciri bahwa motivasi dunia dominan (lebih dari 50%) adalah jika kecewa saat sudah melakukan amal saleh tapi tidak mendapatkan dunia yang diharapkan kemudian meninggalkan amal saleh tersebut. Jika dia tidak kecewa, tetap melanjutkan amal salehnya dan husnuzan kepada Allah bahwa keinginan dunianya tidak dikabulkan mungkin karena dosanya yang lain atau karena Allah menganggap pengabulan doanya tidak baik untuk dia dan itu semua atas takdir Allah maka berarti motivasi dunianya tidak dominan.
HIKMAH JANJI DUNIAWI UNTUK AMAL SALEH
Paling tidak ada dua hikmah penting adanya janji duniawi untuk amal saleh yang dilakukan orang beriman.
Pertama, menenangkan dan memantapkan orang yang masih merangkak menuju kesempurnaan untuk bersegera melakukan amal saleh.
Seringkali orang hendak bertaubat atau beramal saleh itu dibuat setan ragu atau dihalang-halangi dengan memakai dunia. Saat hendak sedekah dia dibisiki pikiran khawatir harta berkurang, khawatir miskin, khawatir modal habis, khawatir tabungan susut dan lain-lain. Saat hendak silaturrahim dia diganggu pikiran selalu direpoti keluaraga, khawatir “disambati”, khawatir air susu dibalas air tuba, dan lain-lain. Saat hendak menaati Allah khawatir miskin, khawatir hidup susah, khawatir sengsara, khawatir “terpenjara”, khawatir tidak bebas, khawatir tidak punya teman, khawatir koneksi terbatas, khawatir pergaulan sempit, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Allah “menenangkan” hamba-hamba yang sudah punya niat baik seperti ini, akan tetapi masih diganggu dengan bisikan setan semacam itu. Allah menenangkan dan menjamin bahwa bertaubat atau beramal saleh itu tidak akan mengurangi dunia yang sudah ditetapkan Allah baginya. Orang yang hendak sedekah ditenangkan bahwa harta tidak pernah berkurang karena sedekah. Orang yang hendak silaturrahim ditenangkan bahwa rezeki akan semakin melimpah dan akan mendapatkan nama harum sampai setelah mati. Orang yang ragu hendak menempuh jalan Allah ditenangkan bahwa dia oleh Allah akan diberi ḥayātan ṭayyibah (kehidupan yang enak nyaman), dan seterusnya
Jadi dalil-dalil yang memberi janji duniawi untuk amal saleh itu memang seakan-akan menjadi “penenang” bahwa orang yang bertekad menempuh jalan Allah itu dijamin Allah bahwa dia tidak akan dibuat rugi dunianya oleh Allah. Dalil-dalil seperti ini sangat bermanfaat untuk kita yang masih tertaih-tatih dan merangkak menuju Allah, yang masih sering jatuh bangun dalam menempuh jalan menuju Allah. Yang masih lebih cepat bersemangat dengan balasan nyata seketika di dunia sebelum akhirat.
Di antara dalil yang menunjukkan hikmah ini adalah hadis berikut ini,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ص:125] عَنِ النَّذْرِ، وَقَالَ: «إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ البَخِيلِ» صحيح البخاري (8/ 124)
Artinya,
“Dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma mengatakan: Nabi ﷺ melarang nażar dan bersabda: “sesungguhnya nażar tidak menolak apa-apa, dan hanya berfungsi mengeluarkan harta dari orang bakhil.” (H.R. Al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas, kita bisa memahami contoh bagus amal saleh yang diharapkan mendapatkan balasan duniawi. Nazar adalah contoh orang hendak beramal saleh, tapi mengharap balasan duniawi dan dinyatakan langsung kepada Allah dengan ucapan. Misalnya dia mengatakan, “Saya berjanji kepada Allah, jika saya bisa menikahi fulan, maka saya akan bersedekah 10 juta”. Dalam ketentuan fikih, orang yang sudah bernazar, maka dia wajib melaksanakan nazarnya.
Ternyata, nazar seperti ini tidak disukai Rasulullah ﷺ. Mazhab Al-Syāfi‘ī mengatakan bernazar itu hukumnya makruh. Kata Nabi ﷺ , kalaupun Allah mengabulkan keinginan dunianya, maka tidak mengubah takdir apapun. Nazar itu kata Nabi ﷺ hanya mengeluarkan harta dari orang pelit.
Hadis itu secara implisit menunjukkan amal saleh dengan motivasi mendapatkan balasan dunia itu tidak dipuji, karena bertentangan dengan makna ikhlas. Hukum asal melakukan amal saleh dengan motivasi dunia dicela keras, tetapi dimaafkan pada kasus-kasus tertentu asalkan jumlahnya sedikit dan tidak dominan seperti kasus nazar ini.
Kedua, sebagai tanda bahwa janji Allah di akhirat itu haqq, bahwa Allah Maha memenuhi janji, bahwa Allah Maha benar dengan seluruh firmannya.
Dalam banyak dalil kita diajari bahwa orang beramal saleh itu akan mendapatkan janji-janji baik di akhirat. Dia akan dipuji Allah, dipuji malaikat, dimuliakan bidadari dan diberi kenikmatan fisik yang tak terkira.
Tidak semua orang bisa mencapai level keyakinan sebagaimana level keyakinan para nabi untuk percaya janji-janji ini. Terutama orang-orang dengan level iman seperti kita. Oleh karena itu hikmah Allah berkehendak, “mencipratkan” sebagian janji-janji itu di dunia, sehingga bisa dilihat hamba beriman yang melakukan amal saleh itu dan juga hamba Allah lain sebagai ibrah.
Oleh karena itu Anda bisa melihat, ketika seorang hamba melakukan amal saleh, kadang Allah “mencipratkan” sebagian pahala akhiratnya itu di dunia dalam bentuk pujian baik manusia kepada dia. Dia dikagumi, dipuji-puji, disanjung-sanjung dan dihormati. Hamba saleh tersebut tidak mengharapkan semua itu, tetapi Allah memberinya sebagai kabar gembira bahwa amalnya diterima Allah dan di akhirat dia pasti akan mendapatkan balasan sisanya lebih besar dan lebih sempurna.
Kita juga bisa melihat bagaimana seorang hamba saat bersedekah lalu Allah semakin memperbanyak hartanya, dibuat nyaman hidupnya dan diberi kenikmatan bermacam-macam. Hamba saleh tersebut tidak mengharapkan semua itu, tetapi Allah memberinya sebagai kabar gembira bahwa amalnya diterima Allah dan di akhirat dia pasti akan mendapatkan balasan sisanya lebih besar dan lebih sempurna.
Semua itu disebut dalam hadis nabi dengan istilah ‘ājilu busyrā (kabar gembira yang disegerakan). Dengan begini orang semakin semangat beramal saleh, dan semakin optimis karena dia punya dugaan kuat bahwa Allah telah menerima amalnya. Muslim meriwayatkan,
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: «تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ» صحيح مسلم (4/ 2034)
Artinya,
“Dari Abu Dzar dia berkata: Rasulullah ﷺ pernah ditanya: ‘Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang beramal kebaikan lalu orang-orang pun memuji kepadanya? ‘ Beliau menjawab: “Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang Mukmin.” (H.R. Muslim)
اللهم اجعلنا من عبادك المخلصين